Lita menunjukkan senyum manisnya saat tiba di tempat tujuan. Seseorang memintanya menemani mencari hadiah ulang tahun untuk kekasihnya. Meski mereka hanya sebatas teman, jika tidak tahu pasti akan mengira mereka sepasang kekasih.
Mencari keberadaan orang itu, Lita menengok kanan-kiri sambil sesekali melihat gambar di ponsel, menyamakan posisi baris pakaian yang dikirimkan oleh teman seagensinya. Saat menengok ke sebelah barat, Lita tersenyum lebar, yang dicari-cari muncul juga.
"Lita, udah lama?" tanya pria itu mendekat. Tangannya sudah memegang dua pakaian yang pasti bingung dipilihnya.
Usai menggeleng, Lita turut memeriksa gaun di tangan pria itu sambil memberi penilaian. "Kayaknya kurang pas, deh. Biya tuh anaknya suka yang simple-simple."
"Sesekali pake yang agak mewah enggak pa-pa kali, buat rayain ulang tahunnya."
Berusaha memahami, pria bucin di depannya, Lita teringat sesuatu yang sejak tadi mengganggu pikiran. "Lo udah baikan sama dia?"
Revi terdiam. Pertanyaan Lita sedikit mengusiknya. Perlahan, ia menatap wanita yang selama ini ia mintai pertolongan mencarikan hal-hal yang disukai Sabiya. "Kenapa?"
"Udah belum?" tanya Lita terus.
Revi mendengkus. "Belum." Fokusnya kembali ke pakaian yang berderet rapi, membuatnya kebingungan mencari yang cocok.
"Lo ngajak dia liburan ke Korea?" Lita terus-terusan merecoki Revi dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Revi sendiri ingin tutup telinga.
Revi tampak mulai kehilangan mood, terbukti dari lirikan matanya yang tajam menembus bola mata Lita. "Pertanyaan lo aneh."
Lita semakin dibuat bingung. "Terus Biya dapat tiket liburan dari siapa?"
"Biya dapet tiket ke Korea?" Revi kini memasang raut penasaran, melupakan sesi pilih gaun untuk sang kekasih.
Sudah beberapa hari dirinya tak bisa menghubungi Sabiya, sebenarnya bukan tak bisa, melainkan Sabiya tampaknya enggan membalas atau sekadar membaca pesan WhatsApp-nya. Selama itu juga, ia tak tahu apa yang dilakukan oleh sang kekasih. Tiba-tiba mendengar kabar ini, tentu Revi sedikit berprasangka buruk. Takut jika kekasihnya memiliki pria baru.
Lita menggeleng pelan, sebenarnya ia sendiri tak yakin sebab sudah lama tidak mendengarkan curhatan kedua sahabatnya. Sekalinya mereka bertemu, cerita mereka sungguh tak Lita pahami. Sabiya bagaikan memiliki kekasih baru, diberi tiket ke Korea pula untuk liburan bersama.
Meski tak tahu pasti, Lita juga manusia yang penuh dengan pikirannya yang mudah menduga-duga. Ia merasa ada yang aneh dengan hubungan Revi dan sahabatnya itu. "Enggak mungkin, kan, kalau dia punya cowok lain?"
Revi tersenyum miring menanggapi ucapan ngawur teman ceritanya itu. "Kerjaan dia cuma layanin pelanggan, pergi juga enggak bisa pulang malem. Kerjaannya nonton drakor doang seharian kalau libur. Mana mungkin punya pacar selain gue?"
"Emang lo tahu belakangan ini dia ngapain aja? Dia susah dihubungin, males ketemu sama lo." Lita menjeda ucapannya, mengingat apa saja yang Sabiya lakukan kepada Revi saat ini. "Ah! Dia juga bohong bilangnya mau nemenin ibunya di toko, ternyata dia juga bohong ke ibunya kalau mau main sama lo. Lo enggak curiga?"
Ucapan Lita masuk akal, tapi sulit untuk dipercaya saat ini. Mana mungkin Sabiya menduakannya hanya karena masalah tempo hari lalu? Perkelahian antara hati dan otak kembali muncul. Di satu sisi, alasan yabg sempat diungkap Lita tak sepenuhnya salah. Namun, di sisi lain Sabiya bukan orang yang suka macam-macam, setidaknya itu yang Revi tahu.
"Gue enggak percaya dia main main di belakang gue. Mana mungkin. Gue tahu Biya kayak apa."
Mereka saling diam, pikiran mereka tiba-tiba sedikit sesak. Lita melanjutkan mencari baju meski otaknya tak seratus persen ada di sana. Apalagi Revi, pria itu hanya bisa menerka-nerka tentang ucapan Lita barusan.
Berbeda dengan Lita dan Revi yang memikirkan hal yang mengganggu perasaan mereka di mall besar, Sabiya justru menggalau di kasur empuk kesayangannya. Sudah pukul satu dini hari tetapi matanya enggab terpejam. Bukan menonton drama atau sekadar mengulir video reels di Instagram, ia justru dipusingkan oleh tiket liburan yang sungguh membuatnya stress.
Apa ia harus mengajak Devan agar kembami berunding tentang perjanjian itu? Apa sebaiknya jujur langsung ke Bagas bahwa dirinya hanya kekasih pura-pura Devan? Yang Sabiya takuti adalah semakin dalam membohongi banyak pihak, tak hanya Bagas melainkan orang yang ada di sekitarnya.
Larut memikirkan hal itu, lama kelamaan kantuk mulai menyerang. Beberapa kali Sabiya menguap sebelum akhirnya pulas masuk ke alam mimpi.
Pagi tak lama datang, alarm yang sengaja dipasang tak pernah berhasil membangunkan siempunya sesuai waktu yang diatur. Bukan hanya satu menit atau dua menit, melainkan berjam-jam Sabiya baru terbangun dari jarak waktu alarm yang dipasang.
"Anjir, kesiangan!" Sabiya menepuk jidatnya, saat sadar, baru ia tepuk juga mulutnya yang sepagi ini bukannya berdoa bangun tidur, malah mengucapkan hal yang sia-sia. "Astaghfirullah, maaf ya Allah."
Bangun kesiangan belum tentu membuatnya terlambat sampai di kafe, tetapi jarang tsrjadi hal itu berlaku padanya. Ia mengisi presensi terakhir, pak bos juga sialnya datang lagi. Alhasil, Sabiya ditugaskan untuk pergi mengantar minuman pesanan dari perusahaan besar yang tak begitu jauh dari kafe.
Tidak ada pilihan untuk menolak, anggapnsaja ini hukuman untuknya. Namun, jika dipikir-pikir lumayan juga. Perusahaan besar itu ramai dikunjungi banyak orang yang ingin tahu tentang sepatu-sepatu lokal yang tak kalah bagusnya dari brand luar negeri sebab dengar-dengar, pemiliknya lulusan universitas luar negeri bergengsi, pasti punya banyak inspirasi dan relasi.
"Mba, ini pesanan dari perusahaan ini ke kafe kami. Katanya dikasih ke resepsionis aja," ucap Sabiya sesampainya di resepsionis sembari meletakkan beberapa dus kopi di meja layanan.
Perusahaan ini sungguh besar. Sabiya kira tak sebesar ini saat melihatnya dari luar. Sungguh pemilik perusahaan pasti keren parah, buktinya bisa membuat sebuah brand lokal tetapi serasa internasional.
Ditengoknya lagi, resepsionis bernama dada Afna itu masih sibuk entah mengurus kopinya atau lainnya yang tentu saja ia tak tahu. Mengedarkan pandangan ke tempat yang sungguh luas, matanya menangkap seseorang yang dikenalnya berjalan memasuki lift. Sabiya mengucek mata, takut salah melihat.
Orang itu pun menatapnya juga sekilas sebelum memalingkan pandangan ke arah lain. Sabiya mematung. Otaknya seperti beku tiba-tiba, tak bisa diajak kerja sama.
"Mba?" Sabiya menoleh ke belakang, Afna si resepsionis itu memanggilnya. Ia kira memanggil sebab akan menyerahkan sejumlah uang sesuai struk yang sudah ia berikan.
Bukan uang yang didapat, ia justru mendapat instruksi aneh. "Mba, kata pak pemilik, Anda langsung menemui di lantai enam belas."
Apa? Menemui pemilik perusahaan? Dirinya yang berantakan itu? Untuk apa pemiliknya meminta bertemu dengannya langsung untuk membayar kopi? Kan, dapat dititipkan ke resepsionis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Little Words✔
RomanceIni bukan kisah Cinderella yang harus pulang sebelum pukul dua belas malam sebab kesempurnaan yang akan sirna, melainkan tentang Sabiya yang tidak diperbolehkan keluar rumah lewat dari jam sepuluh malam jika tak ingin dijodohkan oleh sang ayah. Dia...