Sejak pergi liburan bersama, Sabiya merasakan hal yang aneh dari Devan. Dulu pria itu sungguh dingin dan menyebalkan setengah mati, sekarang justru kebalikannya. Bertanya-tanya dalam pikiran sendiri takkan bisa menjawab titik penasaran. Namun, ia pun tak tahu harus melakukan apa untuk mencari tahu perubahan sifat dan sikap Devan padanya.
Keanehan Devan berlanjut hingga hari ini, pria itu mengajaknya makan malam sepulang kerja. Apa-apaan? Jangan sampai Devan melakukannya karena punya suatu dendam kepada Sabiya. Jika ternyata iya, habis sudah. Wanita yang tak pernah pantang menyerah itu sudah terlanjur sedikit demi sedikit membuka hati.
Tak mau ambil pusing, Sabiya mengiakan saja. Pulang dari kafe, Devan sudah menunggu di halte, bersama mobil mahalnya tentu saja. Kadang Sabiya dibuat bingung, Devan tampak begitu cuek sekaligus mengesalkan. Namun, jika sudah asyik, sungguh membuat Sabiya sendiri betah.
Dengan langkah santai, Sabiya berjalan menghampiri pacar pura-puranya yang entah kapan memutuskan kontrak. Ia harap, jangan segera diputuskan, pekerjaan itu lumayan membantu keuangannya hanya dengan mengeluarkan tenaga kecil. Bayangkan saja, hanya menemui Bagas sebentar saja, ia diberi dua hingga tiga jutaan, lumayan sekali bukan?
"Kenapa jemput segala? Gue bisa--"
Devan menyuruh Sabiya segera masuk mobil, tak perlu mengoceh panjang lebar, waktunya akan terbuang sia-sia. "Enggak usah banyak ngoceh," ucapnya saat Sabiya masuk.
"Basa-basi aja sebenarnya, mah," balas Sabiya mencari posisi nyaman.
Tanpa berlama-lama, Devan langsung tancap gas menuju tempat makan yang sudah ia pesan. Biasanya Sabiya akan bermain ponsel saat Devan menyetir, tetapi kali ini tidak. Si pekerja keras itu memilih tidur kali ini. Devan tersenyum tipis melihat Sabiya. Perempuan tangguh yang berusaha menutupi hutang-hutang orang tuanya sungguh hebat di matanya. Sabiya berbeda. Kebenciannya terhadap wanita bagai tak berlaku untuk Sabiya.
Dua puluh menit membelah jalanan yang cukup ramai, mobil memarkirkan diri di halaman restoran besar yang tak sedikit pengunjung.
"Bi," panggilnya menepuk lengan Sabiya satu kali.
Tak ada sahutan. Sekali lagi ia tepuk lebih keras. Hal tak terduga terjadi, tubuh Sabiya terhuyung hingga hampir membentur jendela mobil jika Devan tak segera manahan kepala perempuan itu. Posisinya rumit. Devan menyamping di depan tubuh Sabiya dengan tangan menempel jendela mobil, menahan kepala Sabiya. Beberapa detik berikutnya Sabiya mulai mengerjap, tatapan mereka bertemu. Sabiya mengernyit, Devan menelan ludah.
"Ngapain?"
Devan langsung kembali ke posisinya dan membuat Sabiya yang tak siap, terbentur kaca cukup keras. "Aw!"
"Lo enggak pa-pa?"
Sabiya mengusap kepalanya sambil tersenyum kambing. "Cie ... khawatir, nih?"
Decakan keluar dari mulut Devan yang memilih segera meninggalkan Sabiya. Menurut Sabiya, Devan sungguh lucu. Ia paham betul pria itu salah tingkah dan hal demikian sangat menghibur hati. Tatapan yang taka jelas, pipi yang sedikit kemerahan, napas yang terdengar tak normal. Sabiya suka.
👠👠👠
"Mau pesan apa?"
Sudah tiga kali Devan bertanya sambil sesekali melirik pelayan restoran yang sabar menunggu pelanggannya menyebutkan menu yang diinginkan. Devan tak enak hati sendiri melihat Sabiya terus-terusan sibuk membolak-balik buku menu.
Daftar menu ditutup, Sabiya menatap pelayan wanita yang langsung menunjukkan senyum manis kepadanya. "Enggak ada yang ramah di kantong apa?"
Bukan hanya pelayan bernama Sindi yang terkejut, Devan bahkan sampai tersedak saat meminum air mineral yang dipesannya saat tiba. Tahu pelayan itu bingung menjawab apa, Devan memilih membuka mulut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Little Words✔
RomansIni bukan kisah Cinderella yang harus pulang sebelum pukul dua belas malam sebab kesempurnaan yang akan sirna, melainkan tentang Sabiya yang tidak diperbolehkan keluar rumah lewat dari jam sepuluh malam jika tak ingin dijodohkan oleh sang ayah. Dia...