Tiga belas hari terasa seperti tiga belas tahun jika terus diingat dan ditunggu-tunggu. Sabiya merasakannya sendiri untuk menunggu hari ini. Gaji setengahnya turun, tanpa pikir panjang ia bawa ke kantor Alines, menemui Devan agar bisa mengurangi utang yang ia punya.
Awalnya Sabiya ditolak oleh resepsionis kala meminta bertemu Devan tanpa perjanjian, ditambah lagi pria itu baru selesai rapat, butuh istirahat. Sabiya terus memohon, memberi ide agar menelepon Galan kemudian menyampaikan pesan bahwa dirinya ada di bawah.
Meski sedikit ragu, Afna menuruti permintaam Sabiya. Daripada perempuan berpakaian sedikit berantakan dengan keringat tampak jelas di dahi itu terus mengganggu, sebaiknya diiakan saja. Namun, setelah menghubungi Galan, ia mendapat jawaban aneh sekaligus langka. Iya langka, tak pernah bosnya mau diganggu di saat selesai meeting. "Katanya pak Devan sudah menunggu Anda cukup lama. Silakan, pak Devan di lantai enam belas."
Hanya mengucapkan terima kasih, Sabiya langsung pergi menuju lift, menunggu giliran mesin berat itu mengangkat tubuh dan mengantarnya ke ruangan Devan.
Meski enggan, Sabiya masih punya sopan santun. Diketuknya tiga kali pintu ruangan presdir perusahaan yang pernah ia datangi sekali. Tentu Galan datang menyambut, lalu mempersilakan Sabiya masuk.
"Gue mau nyicil. Sejuta dulu, gaji gue kepotong gara-gara lo waktu itu." Sabiya to the point, tak ingin bertele-tele hanya untuk membayar utang.
Devan hanya menatap amplop putih persegi panjang di mejanya sejenak, kemudian kembali menatap Sabiya datar. Sambil membenarkan posisi duduk, Devan berkata, "Gue enggak butuh duit lo."
Sabiya melempar senyum miring, ia melupakan fakta bahwa pria menyebalkan itu tak butuh uang receh darinya. "Mau lo apa?"
"Tetap jadi pacar pura-pura gue."
Tertegun, tentu saja. Bahkan Galan pun turut terkejut dengan penuturan Devan. Tidak biasanya pria dingin itu menahan seseorang yang ingin lepas darinya.
Ditolak pun, Sabiya tak peduli. Amplop putihnya masih terletak rapi di meja, tak dilirik Devan sama sekali. Segera ia melangkah ke arah pintu, memilih pergi meski belum disuruh.
Saat Sabiya sudah tak terlihat lagi oleh mata, Galan mendapat pesan SMS dari kakeknya bahwa beliau sudah hampir sampai di ruangan Devan. Matanya mendelik, meski panik, sebisa mungkin Galan terlihat sedikit santai.
"Van, kakek lo di luar," ucapnya menunjukkan pesan yang dikirim Bagas tadi.
Devan yang awalnya duduk bersandar pada kursi kerja, langsung bangkit, membenarkan dasinya sembari berjalan cepat menyusul Sabiya. Untungnya perempuan itu belum begitu jauh, tetapi suara kakeknya sudah terdengar dari sisi kanan tembok tempatnya dan Sabiya berdiri.
Kuatnya genggaman Devan membuat Sabiya begitu mudah dibawanya lari mengikuti. Sempat Sabiya memberontak, tetapi tangan Devan sungguh kencang. "Kenapa, sih?"
Devan melirik Sabiya di samping kirinya sambil terus menarik pacar pura-puranya. "Ada kakek gue."
Refleks Sabiya menghadap belakang dan benar saja, kakeknya sudah terlihat dari kejauhan. Devan yang sama-sama melihat Bagas sudah terlihat oleh mata, kali ini tidak lagi menarik Sabiya dengan berjalan cepat, melainkan lari ke ruang kerjanya.
Galan menyaksikan sahabatnya dan Sabiya kembali masuk ruangan. Sekarang, mereka sama-sama bingung harus bersembunyi di mana. Ketiganya menoleh kanan-kiri, mencari tempat.
Kamar mandi! Tanpa pikir panjang apalagi meminta persetujuan, Devan mengajak Sabiya masuk ke kamar mandi dalam ruang kerjanya. Sabiya memelotot, tak setuju dengan ide Devan. Lagi-lagi Devan menarik tangannya, lalu berkata, "Enggak mungkin kontrak kita berakhir gitu aja. Ayo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Little Words✔
RomanceIni bukan kisah Cinderella yang harus pulang sebelum pukul dua belas malam sebab kesempurnaan yang akan sirna, melainkan tentang Sabiya yang tidak diperbolehkan keluar rumah lewat dari jam sepuluh malam jika tak ingin dijodohkan oleh sang ayah. Dia...