19) Terungkap

27 5 1
                                    

Zora dan Sabiya bertemu di lobi. Sebelumnya, Sabiya juga sudah izin kepada Galan, dirinya pergi menengok sahabatnya sebentar, toh, di rumah sakit yang sama dan Devan pun masih tertidur pulas.

Syukurlah, kondisi Lita tak begitu parah meski kini belum siuman juga. Keduanya berdiri di samping ranjang. Sabiya menoleh ke Zora. "Gercep banget lo, padahal ribut mulu kalau ketemu dia," sindir Sabiya menunjuk Lita dengan dagu.

"Gue masih punya hati dan perasaan, ya! Lagian, dia aja tuh, yang rese duluan. Sok sibuk banget. Liat, kalau sakit siapa yang dateng pertama? Pasti kita."

Sabiya mengangguk. Benar juga yang dikatakan Zora. Sabiya pun sering kali merasa Lita sok sibuk, meski ia sendiri tak tahu apa benar sahabatnya sungguhan sibuk, atau hanya alibi semata.

"Kok lo cepat sampai ke sini? Tumbenan juga udah bangun?" Giliran Zora bertanya.

Sabiya melirik Lita sejenak. "Pacar lo, tuh, pagi-pagi jemput gue, terus nganter ke si--"

"Siapa pacar gue?" tanya Zora mendelik.

"Galan, dong. Siapa lagi?"

Zora mendengkus. Hubungannya belum pasti, masih terjebak friendzone. Sabiya menebuk bahu Zora. "Buruan jadian, deh, kaian. Greget gue liatnya."

Zora berdecih. "Ngapain Galan bawa lo ke sini?" tanya Zora mengalihkan topik.

Perubahan pembicaraan tentu sangat kentara. Sabiya tertawa mengejek. "Dih, ngalihin topik."

"Omong kosong, sih, lo. Mana ada gue sama Galan. Gue kena PHP mulu, Anjir."

"Berarti lo ngarep?"

Skakmat. Zora mati kutu, tak tahu harus menjawab apa sekarang. Sabiya memang pandai bicara, apalagi dalam hal seperti ini. "Enggak." Zora tetap teguh pada pendiriannya. Memang begitu adanya, tak ada apa-apa di antara dirinya dan Galan.

Teringat dengan Devan, Zora kembali membuka suara. "Devan kenapa?"

"Mencret."

"Anjir, bahasa lo enggak bisa diperhalus dikit apa?"

Sabiya mendengkus. "Ya emang mencret. Orang abis makan pedes terus mules sampai dibawa ke sini. Kenapa lagi coba kalau bukan mencret?"

"Bisa kali lo nyebutnya diare," tukas Zora sedikit greget dengan kosakata yang dipilih Sabiya.

"Alah, sama aja."

👠👠👠

Menunggu sekitar satu jam, Lita tak kunjung bangun. Galan beberapa kali mengirim pesan menanyakan kondisi Devan. Mau tidak mau, Sabiya berpamitan kepada Zora, dengan alasan yang sebenarnya. Tanpa ditahan, Sabiya dibiarkan pergi. Lagipula tak tahu juga kapan Lita akan siuman.

Dari lantai dua sampai lantai empat, jaraknya sungguh jauh. Kakinya pegal jika terus-terusan begini. Semoga saja Devan lekas sembuh, agar dirinya tak ikut kerepotan mengurusnya.

Sampai di depan ruang rawat, Sabiya menarik san mengembuskan napasnya terlebih dahulu. Sungguh melelahkan. Sekitar satu menit menormalkan degup jantung, Sabiya masuk ruangan tanpa ketukan pintu ataupun permisi.

Betapa terkejutnya Sabiya saat melihat Devan sedang tidak memakai baju. Gila! Sabiya langsung berbalik badan sambil menutup mata. Jantung yang sudah normal, kini berdetak cepat lagi. Sepagi ini ia disuguhkan perut putih mulus dengan perut sedikit berbentuk .... astaga.

"Lo ngapain buka baju, sih?"

"Lah? Lo masuk enggak pake salam."

Sabiya meruntuki kebodohannya sendiri. Mengapa ia tak mengetuk pintu padahal sangat mudah untuk melakukannya? Sungguh memalukan saja.

Three Little Words✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang