22) Jalan Berdua

17 2 0
                                    

Malam semakin larut, dua jagung bakar sudah habis menyisakan bonggolnya saja. Awalnya berniat membuat api unggun di depan tenda, tetapi Sabiya malas, masih sedikit badmood dengan kejadian bertemu teman SMA tadi. Devan yang masih lumayan lapar, mengambil Pop Mie untuk diseduh dari dalam tas. Baru selesai menuang air panas, hujan turun lumayan deras.

Devan menelan ludah, napasnya sedikit tercekat. Cup yang dipegangnya langsung diletakkan asal sebab tangannya gemetar tak karuan. Rintik yang makin besar menggiring Sabiya masuk tenda setelah bergalau ria sendiri di luar. Ia sedikit terkejut ketika melihat Devan duduk memeluk lutut.

"Lo enggak pa-pa?" tanya Sabiya mendekat.

Belum sampai, Devan mengangkat wajah dan langsung mengusir Sabiya agar pergi. "Keluar!"

Tentu Sabiya bingung dengan situasi ini. Apa maksudnya keluar? Hujan mengguyur deras, tak mungkin, bukan, ia harus menunggu di luar? Dinginnya malam sungguh menusuk.

Tak mau menyerah, ia kembali mendekat. "Lo kena--"

"Lo tuli, hah? Cepat lo keluar!"

Jika keluar, arah mana yang harus Sabiya tuju? Tak ada yang bisa ditumpangi olehnya. Tenda temannya dulu? Tentu saja tak mau, Sabiya memiliki gengsi cukup tinggi. Pondok! Sabiya bisa pergi ke pondok terdekat. Tempat itu cukup aman jika air hujan turun tak menyamping, bawa saja selimut atau apapun yang bisa menghangatkan tubuh meski Sabiya pun tak begitu yakin akan mengurangi hawa dingin yang merasuk ke tubuh.

"Gue pergi."

👠👠👠

Harapan Sabiya sungguh terkabul. Hujan turun lurus, tak terbawa angin malam sepertinya, dingin pun sedikit teratasi dengan jaket tebal yang membungkus tubuh. Hanya dengan bantuan penerangan dari lampu kuning di tengah atap pondok, ia bisa sedikit lebih aman sebab bisa melihat sekitaran tempat itu.

Tiga puluh menit berlalu, hujan tak kunjung reda. Sabiya menghela napas panjang. Memang di pondok dirinya cukup aman, hanya dingin yang menjalar dari telapak kakinya, kini sudah sampai ke bahu. Ia terus memikirkan Devan, tak tahu apa yang terjadi dengan pria itu sehingga tega mengusirnya pergi saat hujan deras.

Teringat dengan ucapan Galan saat di kafe, Devan trauma hujan dan ambulans. Sabiya membodoh-bodohkan diri sendiri sebab tak cepat mengingat hal penting yang satu itu. Tanpa pikir panjang, ia mengambil payungnya dan kembali ke tenda.

Devan masih di posisi yang sama, Pop Mie di samping tubuhnya tumpah tak dipedulikan oleh yang punya. Sabiya segera mencari sesuatu di tasnya dan ketemu. Kini ia berjongkok di depan Devan. Tangannya terulur menyentuh punggung tangan Devan yang dingin. "Devan," panggilnya lembut.

Cukup lama di posisi itu, akhirnya Devan mengangkat wajah, menatap kosong ke arah Sabiya yang tersenyum kepadanya. Langsung saja Sabiya pasangkan earphone di kedua lubang telinga Devan, untungnya pria itu tak melawan, hanya diam memperhatikan.

"Tidur yang bener, gih. Nanti badan lo sakit semua kalau begitu posisinya," ucap Sabiya menyetel lagu dari ponselnya.

Tak hanya bicara, ia membantu Devan merebahkan tubuh di sisi yang tidak terkena tumpahan kuah mie instan. Setelahnya, ia membersihkan tumpahan itu, barulah semuanya selesai, ia mencari posisi untuk tidur.

👠👠👠

Ia kira akan cepat memejamkan mata setelah hujan reda dan malam semakin merenggut hari. Nyatanya tidak, kantuk memang sudah sejak tadi, tetapi mata sulit tertutup. Justru Devan yang terus-terusan ia tatap. Baru kali ini melihat pira itu lemah, sungguh Sabiya tak tega. Sesempurna apapun manusia, pasti ada saja kurangnya.

Menjelang subuh, Sabiya baru bisa memejam. Dua jam setelahnya, ia kembali dibangunkan oleh suara pengumuman yang tersiar dari luar tenda. Vibes-nya seperti sedang berkemah dalam rqngja lomba, pagi-pagi sudah mendengar keributan dari tenda lain yang entah sibuk melakukan apa. Saat bangun, Devan masih tertidur pulas. Pemalas juga pria yang satu ini.

Three Little Words✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang