35. Tak Akan Pernah Sama

624 53 4
                                    


Daun kering berguguran dari ranting pepohonan menjulang yang terdapat pada halaman sebuah rumah sakit swasta. Pemandangan hilir mudik perawat dan keluarga pasien tampak di sepanjang koridor.

Trisha terduduk di samping ranjang pasien yang baru saja selesai mendapat penanganan medis oleh dokter. Gadis itu menatap hening   Ervan yang tergolek lemah setelah mendapat beberapa jahitan di perut.

Telapak tangan Ervan kini berada dalam genggaman Trisha. Ia masih mengingat betul peristiwa beberapa saat yang lalu. Sebuah pengalaman buruk yang mungkin akan membekas dalam memorinya. Juga pria ini, tindakan penyelamatan yang dilakukannya membuat Trisha merasa berhutang nyawa. Dengan apa Trisha harus membalasnya?

Trisha terkesiap mendapati Ervan yang perlahan-lahan membuka mata. "Van?"

Ervan mengumpulkan kesadarannya, mengedarkan pandangan ke sekitar. Sempat tidak sadarkan diri, tiba-tiba ia sudah berada di ranjang rumah sakit sekarang. Nyeri langsung terasa pada luka bekas tusukan.

"Apa kamu butuh sesuatu? Mau makan atau minum?"

Ervan bergeming menatap Trisha.

"Van ...?"

Ervan berpikir ia akan tewas pada saat itu juga. Ia jadi merasa harus mengatakan perihal perasaannya pada Trisha yang sesungguhnya, sebelum tidak ada lagi kesempatan. Kini keheningan meliputi keduanya.

"Maaf, udah bikin kamu kayak gini, Van," ucap Trisha kemudian. "Terima kasih kamu udah datang nyelametin aku dan kakakku. Aku nggak tahu dengan apa aku harus membalasnya."

"Apa kamu terluka, Tris?"

Trisha menggeleng. "Untungya polisi cepet datang waktu kamu nggak sadarkan diri. Kamu langsung dilarikan ke rumah sakit."

Ervan meloloskan napas pelan kemudian menatap langit-langit kamar rumah sakit.

"Komplotan itu udah ditangkap."

"Kakakmu?"

"Kakakku ... dia juga dirawat di rumah sakit ini."

Keheningan mendadak menyergap.

"Maafin kakakku ya, Van."

Ervan memusatkan perhatiannya ke arah Trisha.

"Walaupun maaf aja nggak cukup untuk menebus kesalahannya." Hanya itu yang mampu diucapkan Trisha, selebihnya ia diam.

Suara pintu berderit membuat Ervan maupun Trisha menoleh bersamaan. Claudya menganyun langkah mendekat.

"Kamu sudah sadar, Ervan?" tanyanya.

"Sudah, Tante."

Claudya mengangguk, merasa tidak banyak yang bisa ia bicarakan dengan anak muda itu.

"Tris, pulanglah dulu. Gantilah gaun malammu, itu sangat mencolok. Istirahlah, kamu pasti juga lelah. Biar Mama yang jaga Ervan, sekalian Mama jaga kakakmu."

"Tapi, Ma, aku masih mau di sini."

"Pulanglah, Tris." Ucapan Ervan kemudian membuat Trisha menoleh penuh.

"Benar, kamu bisa ke sini lagi besok. Ervan baik-baik saja, kamu dengar sendiri apa kata dokter, kan?"

Trisha terdiam sesaat, merasa berat harus meninggalkan Ervan. Ia masih ingin berada di sisi pria idamannya itu.

"Ayo, supir kita udah siap mengantarmu pulang."

Trisha akhirnya bangkit. "Aku pulang dulu, ya, Van," pamitnya.

Ervan hanya mengangguk.

Trisha dan Claudya berlalu dari hadapan Ervan. Ruangan lengang. Tatapan Ervan kosong terarah pada tetesan cairan infus yang menggantung pada tiang besi penyangga. Setelah ia mengatakan tentang perasaannya yang sesungguhnya pada Trisha, Ervan merasa semua tidak akan pernah sama.

Jagat Raya Trisha (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang