Part 1 Harapan

48 10 4
                                    

Ruangan berbentuk kotak itu tampak sederhana dengan sumber cahaya hanya berasal dari satu lampu yang tergantung di tengah ruangan. Sebuah jendela di salah satu sisi sengaja ditutup rapat, hingga ruangan terasa sesak. Beruntung, kipas angin yang tergantung di sisi lainnya bekerja keras menyejukkan. Sebuah sekat kaca membagi ruangan menjadi dua. Tampak di dindingnya sebuah layar lebar menampilkan garis lurus tak terputus. Di dalamnya tampak duduk seorang pria jangkung dengan baju kemeja polos yang digulung bagian lengannya. Seorang perempuan muda duduk tak jauh di belakangnya. Wajah keduanya tampak serius. Lelah tampak jelas menggantung di kedua mata mereka.

"Seed." Suara lelaki yang mantap dan tegas menggema di ruangan kaca.

"Semen." Suara itu lagi mengulang sinonim dengan nada yang sama. Sejenak dia mengambil jeda. Sekali lagi dipijitnya tombol mikrofon sembari mengambil napas, menguatkan harap dan mengucapkan kata lainnya dengan mantap lagi.

"Biji..." Jari telunjuknya tak beranjak dari tombol mikrofon, matanya menatap tajam pada layar yang menampilkan garis lurus. Tak ada yang berubah dalam pandangannya itu. Bahkan tidak satu gelombang pun. "Ah, gagal!" katanya seraya mengangkat telunjuknya dari mikrofon dan beralih dengan mengepalkan tangannya. Lelaki itu tak sanggup menahan emosinya, kepalan tangannya dihantamkannya ke atas meja hingga mikrofon dihadapannya terjatuh.

"Xavier..." Suara lembut seorang perempuan terdengar berusaha menenangkan.

Xavier mengangkat wajah tampannya yang kusut. Kedua tangannya masih mengepal di atas meja menahan beban berat tekanan yang dirasakannya di kepala. "Tidak ada balasan, Zi!"

"Sudahlah, bisa jadi kemarin hanya noise." Perempuan yang sedari tadi mengamati di balik punggung Xavier itu mencarikan alasan.

"Tidak ada noise sebelumnya Ziyi!" Xavier mendengus kesal. "Gelombang suara kemarin itu adalah respon aktif!" Xavier mengambil gulungan kertas berwarna kelabu dan menunjukkannya pada Ziyi. "Semua kata dalam daftar itu telah aku coba. Sama persis seperti kemarin, dan hasilnya adalah nol!"

"Kenapa tidak coba percaya pada cara lain itu?" Ziyi menawarkan solusi.

"Mutasi bukanlah jawaban, Zi!" Xavier mendebat keras.

Raut wajah perempuan bermata sipit dan berkulit hitam manis itu tak mampu menyembunyikan rasa tersinggungnya. Kesabarannya menemani Xavier sudah sampai batasnya. Ziyi menyilangkan tangannya di dada. Dia mengambil napas dalam, bibirnya mengatup rapat. "Baik, jika itu pikirmu, terserah!" Ziyi berbalik mengambil tas tote-nya yang terbuat dari anyaman daun lalu berjalan ke arah pintu.

Xavier menyadari kesalahannya. Ziyi, si gadis manis itu adalah seorang ahli rekayasa genetika. Xavier segera memburunya ke arah pintu. "Zi, maafin aku!" Beruntung, Xavier berhasil meraih lengan Ziyi sebelum gadis itu melewati pintu. "Aku perlu kamu di sini sebagai saksi. Ki Tambleg, Benih Amreta itu ada. Aku yakin. Maafin, aku melewati batas atas kekalahanku hari ini."

Ziyi bergeming.

"Zi, aku minta maaf. Kamu seorang ahli, makanya aku pilih kamu di program ini," Xavier mengiba sekali lagi. Dia menyadari betul kemampuan rekannya itu. "Aku sungguh berharap rekayasa genetika Ki Tambleg berhasil menghasilkan biji. Kamu bisa membalikkan keadaan seedless ini, sungguh Zi."

Ego Ziyi mulai runtuh mendengar Xavier sang peneliti utama Program Amreta ini mengaku memang benar memilihnya langsung. "Kamu tahu, mutasi bukanlah ilmu dukun. Kamu tak bisa seenaknya menyalahkan kegagalan penelitian yang kami coba sebagai suatu yang sia-sia. Ki Tambleg adalah tanaman kuno di Bumi. Setelah musnahnya benih Amreta dan berkembangnya teknologi kultur jaringan di Morphosa ini, hampir mustahil menemukannya saat ini." kata Ziyi tanpa memandang lawan bicaranya. Dia tak marah lagi, hanya saja memandang wajah Xavier memang memerlukan kekuatan khusus. "Kamu harus mengakui, mutasi gen tetap pilihan yang harus dicoba," Ziyi dengan cerdas memaksa Xavier mengaku.

Xavier menghela napas. "Sayangnya, tidak kali ini. Waktu kita tak cakup. Aku tidak melihat pertumbuhan..." Xavier menghentikan kalimatnya.

"Sss..." Suara mendesis pelan keluar dari pengeras suara di dekat layar. Xavier dan Ziyi refleks mengalihkan pandangan mereka. Tampak oleh mereka, layar besar di ruangan itu menampilkan riak kecil gelombang yang tak lama kemudian menghilang.

Xavier segera lari memburu letak mikrofon yang sedari tadi tak berubah. Tangannya sigap menekan tombol mikrofon.

"Seed." Suaranya sedikit cepat terburu-buru. Xavier segera menyesalinya. Dia segera mengatur napas, lalu mengucapkan ulang kata-kata dalam daftar yang dia ingat satu per satu.

"Seed."
Ruangan hening. Jantung Xavier berdegup cepat. Ziyi merasakan ketegangan tadi berulang lebih hebat.

"Semen."
Xavier mengulang daftar kata dari huruf 'S' yang dia ingat. Xavier memberi waktu seorang di seberang sana memberikan respons. Layar masih menampilkan garis lurus. Benaknya masih berharap banyak.

"Biji."
Xavier mengatakannya dengan mantap. Dia menghitung dalam hati, memberikan tempo untuk jawaban.

Ziyi kini tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya. Tanpa sadar, dia mulai menggigit bibir bawahnya. Perlahan dia mengambil posisinya kembali di depan layar, lalu mendekati Xavier yang kini tepat membelakanginya.

"Benih."
Suara Xavier tidak semantap tadi. "Tuhan, tolong aku. Sembuhkan Melodi." Sebait doa terucap dalam sanubarinya yang terdalam. Dia pasrah.

"In.."

Xavier terlonjak bahagia bahkan sebelum kata itu terucap sempurna. Xavier tak ingin membuat kesalahan seperti tadi. Kali ini dia menunggu. Menunggu dengan harapan setinggi langit. Ziyi segera menghampiri Xavier lebih dekat memastikan suara yang dia dengar adalah nyata.

"... Cre...mentum" Suara di seberang sana selesai mengucapkan kata dengan utuh. Tampak gelombang memenuhi layar seiring suara itu bergema di lab.

"Incrementum" Xavier mengulang kata itu lagi, seolah memastikan. Lalu dia melonjak bahagia sejadinya. "Eureka... Ziyi! Eureka...".

Ziyi ikut terlonjak, momen penelitian yang ditunggu hampir selama  19 bulan memberikan titik terang.

"Tumbuh," kata suara di seberang sana lagi.
Xavier dan Ziyi tersadar dari euforianya. Dia segera menekan kembali tombol mikrofon. Baru saja dia hendak mengucapkan kata berikutnya, suara di seberang sana menyuarakan kata lainnya.

"Orellana..."
Xavier dan Ziyi terdiam seribu bahasa. Mereka terpaku oleh kata yang terdengar barusan. Suaranya menggema hingga ke masa lalu. Masa kedatangan pertama leluhur mereka di Morphosa.

Ziyi sigap menekan tombol mikrofon mendahului Xavier. "Alpha... Morphosa"
Hening, tak ada jawaban. Ziyi mengulang sekali lagi, "Alpha Morphosa".

Layar tak menampilkan garis bergelombang. Lab sunyi. Ziyi putus asa, ditekannya lagi tombol mikrofon. Tapi belum sempat dia mengucapkan kata, Xavier menutupi mikrofon dengan tangannya seraya menggelengkan kepalanya perlahan.
"Kata yang salah."

Ziyi tersadar. Xavier benar. "Kenapa aku bisa memilih nama leluhur kita? Ah, sial! Xavier bisa ngamuk," sesal Ziyi dalam hati. "Padahal tadinya dia memilih kata Morphosa sebagai orang yang dekat dengan Orellana"

"Benih Amreta" Xavier memantapkan suaranya, dikuatkan harapannya yang setinggi langit itu agar tak runtuh.

Ruangan hening. Tak ada suara balasan. Ziyi makin mengutuki pilihan katanya tadi.
Xavier sudah tak mempedulikan pilihan Ziyi. Dirinya tak boleh berhenti berharap demi Melodi.
"Ya, semua ini demi Melodi. Tolong sembuhkan anakku, Tuhan," pinta Xavier sekali lagi. Tak terasa air matanya mengalir dalam kepasrahan mengikuti hukum gravitasi. Butir bening itu menetes hingga jatuh di dekat tombol mikrofon yang ditekan penuh keyakinan.

Menyaksikan itu, Ziyi ikut tersentuh."Kumohon, berikan jawaban itu sebagai obat untuk kami di Dunia Morphosa."

"Hidup," jawab suara di seberang sana.

***

"Hah! Kau dengar tidak tadi, Omuci?" Seorang gadis muda berambut ikal merah oranye membelai seekor tikus berhidung besar yang diberi nama Omuci. Saking besarnya, ukuran cuping hidungnya lebih besar dari matanya. Hidung itu tak berhenti mengendus ke sana ke mari. "Ayo, kita temui Ayah Hansa!"

Baru saja dia hendak beranjak dari batu pipih yang dia duduki tadi, pikirannya berubah seketika. "Tidak Omuci! Ayah Hansa akan balik memarahi Lily. Bagaimana ini?"
Omuci mengendus-endus pipi gadis yang memanggil dirinya Lily itu seolah paham rasa galau yang menderanya.

IncrementumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang