Part 5 Ayah

18 1 0
                                    


Ayah adalah kepala dari keluarga. Seorang karakter kuat bertanggung jawab yang difigurkan oleh seisi rumah. Dari mulutnya-lah setiap keputusan itu dikeluarkan dan dari tangannya-lah semangat berjuang diturunkan. Tulang punggungnya kuat karena seorang ayah adalah pelindung bagi seluruh anggota keluarga. Bulir keringatnya adalah bukti dari energi yang disalurkan kepada anak-anaknya. Tak terkecuali, seorang ibu pengasih di dalamnya.

Ayah Hansa adalah seorang lelaki tua dengan janggut putih-abu. Matanya yang tajam sekaligus teduh dibingkai alis yang sewarna dengan janggutnya. Keriput di wajahnya menandakan tua, tapi rahang yang kuat masih menunjukkan bahwa jiwanya belum renta. Suaranya yang berat dan dalam menambah wibawa. Semua penghuni Orellana memanggilnya 'Ayah' karena dia adalah seorang pelindung yang dicintai warganya.

"Siapa yang nakal?" tanya Ayah Hansa sekali lagi.

"O... O... Omuci, Ayah. Dia nakal selalu kabur." Lily menjawab dengan sedikit terbata. Entah karena dia kaget atau takut atau kombinasi keduanya.

Ayah menatap Omuci hingga tikus pencari air itu ciut dibuatnya. Omuci menggeliat berusaha melepaskan diri dari tangan Lily. Omuci tak mau ikut dalam sandiwaranya. Akhirnya, usaha tikus itu berhasil. Saat Lily melonggarkan genggaman tangannya, Omuci berlari menyusuri tangan Lily yang jenjang dan masuk ke dalam saku bajunya.

"Ah, lihat! Dia kabur kan?" kata Lily sambil tersenyum, memanfaatkan ulah Omuci.

"Bukannya kamu yang nakal?" Ayah Hansa tak ingin dikelabui.

"A... Aku tidak nakal, Ayah. Hehehe... Kenapa aku nakal? Lily gadis yang baik. Iya, kan, Omuci?" Lily berkilah sambil menggoyangkan saku bajunya yang bergelayut berat karena beban Omuci. Omuci yang diminta menguatkan argumen memutuskan untuk tetap sembunyi di dalam saku.

"Lalu apa yang kau lakukan di sini, Lily?" suara Ayah Hansa sedikit meninggi. "Bukannya Ayah sudah melarangmu keluar dari batas Hanjuang Merah?" Ayah Hansa berang.

Tera yang berdiri di belakang Ayah Hansa sedari tadi mengulum senyum. Lily menangkap raut mukanya yang puas melihat kondisinya terpojok seperti ini. Rasa kesalnya tumbuh. "Lihat nanti pembalasanku Penjaga Kebun!" Lily mendendam dalam hati.

Paman Mahoni dan Nona Meranti memilih diam seribu bahasa. Mereka sudah paham setiap komunikasi yang mereka sampaikan pada Lily akan terbaca oleh Ayah Hansa lewat permata hijau Lily yang berkilat. Diam adalah bukti rasa hormat mereka pada Ayah Hansa dan rasa sayang pada Lily.

"Ayah aku tidak akan keluar, kalau Omuci tidak lari mencari air sampai ke sini. Aku sendiri tak mengerti alasannya."

Ayah Hansa menatap tajam mencari kejujuran di mata anak gadisnya itu. "Kamu tahu risiko apa yang sedang kamu hadapi?" katanya sejurus kemudian.

"Ya, Ayah," jawab Lily pelan.

"Lalu mengapa kamu mempertaruhkan nyawa demi datang ke tempat ini?" Suara Ayah Hansa menggelegar.

Hening datang bersama pertanyaan Ayah Hansa. Lily merasa dilema. Apakah kejujuran itu harus ditumpahkan saat ini? Apakah ayahnya akan percaya atau berbalik menuduhnya berbohong. Lily mengaku bersalah karena telah keluar dari Zona Hanjuan Merah yang dibuat ayahnya. Tapi, rasa ingin tahunya tentang perilaku Omuci tak bisa dibendungnya.

Tera yang sedari menahan senyum, berubah iba melihat air muka Lily yang bingung.
"Maafkan, Ayah Hansa. Senja sebentar lagi tiba. Sebaiknya kita segera masuk ke Zona Hanjuang Merah," Tera membuat jeda yang mengurai ketegangan antara Lily dan Ayah Hansa.

Lily melirik ke arah Tera dengan ujung matanya hingga pandangan mereka bertemu. Tampak olehnya wajah Tera yang mengulum senyum kemenangan. "Huh, jangan merasa jadi pahlawan kesiangan. Aku tak berhutang budi padamu!" Lily bersungut-sungut, meski dia tahu yang dikatakan Tera telah mengalihkan kekesalan Ayah Hansa barang sejenak.

IncrementumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang