Part 2 Waktu Bergulir

13 2 0
                                    


Lembap udara terasa menguasai ruangan yang dibatasi batu berlumut. Akar pohon tampak tumbuh lalang melintang di dinding batu. Beberapa yang berfluorosensi menunjukkan bahwa ruangan yang terbentuk secara alami itu cukup luas. Sedikit banyak pendarnya membantu menerangi ruangan. Tetapi tetap saja, ruangan itu masih terasa lembap karena cahaya matahari hanya bersumber dari mulut gua sebagai pintu utama. Mungkin inilah mengapa tempat itu dinamakan Ki Poek. Penguasa kegelapan.

Sebuah obor yang terbuat dari kain asbes menempel di salah satu dinding batu. Pendar cahayanya menyinari batu pipih yang kini kosong tak diduduki Lily lagi. Nyala apinya bergoyang lembut perlahan digerakkan aliran udara yang mengenainya. Bayangan tak utuh bergerak di dinding seberang sana. Pemilik bayangan sedang berpikir keras. Permata hijau sebesar biji semangka yang menempel di dahinya berkilat-kilat terkena cahaya obor. Warnanya tampak kontras dengan rambut Lily yang merah-oranye menyerupai nyala api. Tapi isi kepalanya tampak gelap tanpa ide, segelap ruangan Ki Poek. Leluhur penduduk Orellana yang kebanyakan adalah pujangga, petani dan naturalis menyebut istilah itu sebagai, Oberus.

Suara tetesan air yang mengalir melalui salah satu akar di pojok ruangan jatuh tetes demi tetes ditampung batu hingga cekung permukaannya. Tetesan air dengan frekuensi tetap itu menemani Lily yang berjalan mondar mandir berpikir keras soal kejadian tadi. Ritme suara percikannya hampir bersamaan dengan suara langkah kakinya. Dia sengaja melakukannya. Berbeda dengan Lily, Omuci sibuk mengendus-endus dinding di belakang batu yang ditempa tetesan air itu.

"Morphosa, apa itu? Bagaimana aku menceritakannya pada Ayah Hansa?" gumam Lily. "Kalau ayah tahu aku datang ke tempat ini, ayah pasti marah besar." Lily menghentikan langkahnya. Matanya mengamati Omuci yang mengendus-endus dinding batu. "Tapi Omuci ingin datang ke sini terus. Hah! Ada apa dengan binatang satu itu?" Lily bertanya pada dirinya sendiri. "Aku akan bilang, Omuci lepas dan mengejarnya ke sini," Lili kembali melangkahkan kakinya sambil memikirkan sebuah rencana. "Hmm... sepertinya akan berhasil. Nah, supaya ayah percaya, kita harus kompak. Iya kan Omuci?" Lily menghentikan langkahnya lalu segera mengarahkan pandangannya pada Omuci. "Omuci??"

Omuci tidak ada di tempatnya semula. Tikus berhidung besar itu tak lagi mengendus dinding batu. Rasa khawatir dan panik segera menyerang Lily. Dia segera berlari ke arah batu cekung. Nihil. Tak tampak olehnya hidung besar tikus itu. Lily mengarahkan pandangannya ke segala arah. Percuma, ruangan terlalu gelap. Segera diambilnya obor yang tak jauh jaraknya dari tempat dia berdiri.

Lily menyusuri dinding, matanya menyapu dari batas dinding dan lantai ruangan. Tikus memang senang menyusuri bagian itu. Lily tahu pasti keistimewaan Omuci yang suka menggali tanah, maka menurutnya percuma jika mencari ke tempat yang tinggi.

Jatung Lily berdegup kencang. Omuci harus segera ditemukan. Dia dalam bahaya besar. "Ssssss... Ssssss... Sssss" Lily mendesis seperti ular. Cara itu digunakannya untuk memanggil Omuci. Bersamaan dengan desisan Lily, permata hijau sebesar biji semangka di dahinya tampak berkilat. "Ssssss... Ssssss... Sssss" Lily mulai tak sabar. Suara desisnya mulai tak beraturan. "Hah! Omuci. Kamu menyebalkan. Yang benar saja?! Masa mau hilang dua kali di hari yang sama? Kemarin pun begitu. Ssssss... Ssssss... Omuci, kamu dimana?" Lily panik total.

Ujung matanya menangkap sekilat gerakan tak jauh dari batu pipih tadi. Dia segera berlari ke tempat semula dia mencari. Lily menyenderkan obornya ke dinding batu, lalu dengan sigap berjongkok dan mengambil batu-batu yang menutupi permukaan tanah. Dia meraba-raba tanah dengan jemari tangannya berharap menemukan lubang yang di buat Omuci. Dapat! Tangannya merogoh ke dalam lubang itu dengan cepat. Rasa was was mulai menyerang. Lily tahu yang dia lakukan ini sangat berisiko. Lily hanya berharap ujung tangannya bisa menyentuh benda empuk dengan segera.

"Hah!" Lily tersenyum. Tak menunggu waktu, Lily segera menarik tangannya ke permukaan tanah.
"Hah! Kamu nakal Omuci! Dasar makhluk pencari air. Tak cukupkah air di batu itu?" Lily memarahi Omuci sambil menunjuk batu cekung yang tak jauh darinya. "Kamu bisa membuat kita dalam bahaya besar, tahu?!" Lily menumpahkan kekesalannya sambil membersihkan bulu halus makhluk itu dari sisa tanah yang menempel.

IncrementumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang