Part 3: Seorang Teman

8 2 0
                                    


Ruang tunggu di Gedung Dewan Tinggi Morphosa sama membosankannya dengan ruang tunggu di mana pun juga. Menunggu bukanlah pekerjaan yang mudah, diperlukan kesabaran di dalamnya. Seperti halnya Ziyi. Gadis itu memang istimewa. Ketekunan bangsa Cina dan kekuatan insting bangsa Afrika menjadikannya seorang yang cerdik secara intelektual dan cerdas secara emosional. Dia duduk dengan tenang sambil membaca gulungan yang dikeluarkannya dari tas tote daun pandannya. Matanya serius membaca halaman demi halaman.

Kesabaran bukanlah milik semua orang. Xavier sedang mempertahankan itu. Xavier adalah seorang pemberontak dengan kecerdasan tinggi. Ayahnya yang berdarah Perancis dan ibunya seorang Arab dengan didikan tradisional, dia mampu memburu data dengan ketelitian tinggi dilengkapi kemampuan diplomasi. Terbukti dengan kepercayaan Tuan Arga yang memberikan Proyek Amreta ke tangannya.

Pernikahan antar ras manusia Bumi bukan hal yang aneh di Morphosa. Leluhur mereka berasal dari berbagai ras bangsa membuka celah antar dimensi dengan kekuatan nuklir.  Jumlah yang datang tidak seberapa banyak. Mereka adalah para ilmuwan, politisi dan pengusaha yang tersisa dari kehancuran Bumi. Dengan mimpi yang tinggi dan berpegang pada kemampuan intelektual mereka memilih meninggalkan Bumi dan orang-orang yang dicintainya di sana. Ideologi mereka sangat kuat hingga mempu mengesampingkan ikatan kasih sayang. Seperti pemimpin mereka, Alpha Morphosa yang meninggalkan Amreta, istrinya di Bumi. Orellana sendiri adalah anak semata wayang mereka yang memilih tinggal bersama Sang Ibu.

Penyakit akibat bakteri ini benar-benar membuat penderitanya seperti kesurupan. Hidup tidak, mati pun tidak. Mereka menolak makanan, demam, control terhadap gerakan lemah, dan yang paling menyakitkan adalah mendengar mereka mengerang kesakitan tercabik-cabik dari dalam. Andai ini virus, mungkin Ziyi bisa segera membuat vaksinnya. Tapi, ini mikroba yang jahat. Mereka pintar beradaptasi. Permukaannya selnya bisa beradaptasi dengan atau tanpa lapisan lemak menyertainya. Penyakit jahat ini sepertinya bersumber dari setan langsung.

Xavier berdiri memandang lalu Lalang jalan dari jendela. Bintang Merah sumber cahaya di Morphosa sudah redup. Tanda Sang pemilik cahaya sudah beralih ke belahan Morphosa yang lain. "kita diburu waktu, Zi," kata xavier sambil menyandarkan badannya pada tembok tanah liat bercat putih.

"Ya, aku tahu," Ziyi menanggapi tanpa mengalihkan perhatiannya dari gulungan kertas-kertasnya.

"Seharusnya mereka mengajak kita berdiskusi. Dengan demikian kita bisa menghemat waktu. Apa yang mereka lakukan di dalam sana, sama seperti leluhur kita dulu. Bumi keburu hancur. Apakah mereka akan melakukan hal yang sama dengan Morphosa? Seharusnya mereka bertindak cepat. Buat apa mereka membuat proyek ini jika hasil yang kita berikan tidak didiskusikan sedikit pun. " Xavier menggerutu sendiri. Xavier kesal melihat Ziyi tampak sibuk dengan gulungannya dan tak mengindahkannya.

"Ah, kwaci!"Xavier mengumpat dalam Bahasa Morphosa karena kesal menunggu.

Ziyi mendongakkan kepalanya. Dia heran mengapa Xavier sekesal itu. "Sabarlah! Mereka sedang berdiskusi." Ziyi kembali mengamati gulungan kertasnya.

"kita sudah menunggu lebih dari seratus jam karbon di sini." Xavier mereferensikan satuan waktu yang digunakan Morphosa.

"Ingatlah Xav! Kamu sendiri mengatakan ini mempersingkat waktu. Jadi, tunggu saja," terlintas ada rasa puas saat Ziyi mengembalika​n kata-kata Xavier. "Ada apa sebenarnya? Hari ini kamu gelisah sekali. Tadi di lab kamu kesal hampir tanpa kontrol sama sekali. Apakah hal ini tentang Melodi?" telisik Ziyi.

Xavier membuang napas sampil mengalihkan pandangannya ke luar jendela. "Dia anak yang kuat. Seperti ibunya." Bayangan Xavier kembali ke masa lalu, sebelum Melodi dan hampir sepertiga Morphosa menderita Difixio.

"Indi memang perempuan yang kuat. Selama pertemanan kami, dia yang selalu menyemangati kami untuk mengeksplorasi sumber daya alam di Morphosa. Kau tahu mimpinya? Morphosa sehijau Bumi. Dia seorang pemimpi besar!" Ziyi mengenangnya dengan dalam. Seulas senyumnya menutup memorinya, kemudian dia kembali mengarahkan fokus pada gulungan kertasnya.

IncrementumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang