Part 7 Erabos

10 3 0
                                    


"Difixio bermutasi."

Xavier tercengang mendengarnya. Andai informasi ini bukan dari Tuan Arga, mungkin Xavier sudah mendebatnya. Meski demikian rasa tak percaya tetap memenuhi benaknya. ini sudah tiga kali sejak enam bulan terakhir. Perjalanan antar dimensi ini semakin berat di pundaknya. Sekaligus menjadi bahan bakar baginya untuk segera menuju Orellana.

"Karakter yang dominan?" tanya Ziyi sejurus kemudian.

"Kemampuan membelah diri semakin cepat pada kondisi asam. kabar ini tentunya menjadi bahan bakar semangat tambahan buat kalian." Tuan Arga berkata dengan tegas

"Kita tidak punya banyak waktu. Aku percaya kita bisa menemukan Ki Tambleg." Xavier optimis.

"Aswin?" Xavier beralih pada rekannya yang sedari tadi sibuk di belakang meja kontrol.

"Siap. Tapi sebelumnya, saya perlu menunjukkan sesuatu." Aswin mendekati Xavier dan tim. "Benih yang sudah saya kemas di dalam tabung vacuum ini adalah penunjuk waktu. Ini akan menjadi acuan waktu karbon Morphosa untuk mengantisipasi perbedaan kecepatan waktu antara dua dimensi kita. Aku telah menghitung biji ini akan meluruh sepenuhnya hanya dalam 40 hari saja. Selepas itu tim tidak akan punya acuan waktu Morphosa. Jadi, saya akan mengaktifkan gerbang pada hari ke-40."

"Bagaimana dengan antena Roux ini?" tanya Xavier menunjukkan benda melengkung hitam mengilat dengan ujung bulat.

"Antena Roux sangat kokoh. Diprediksi akan bertahan hingga ratusan tahun. Benda itu dibandingkan penunjuk waktu lebih tepat sebagai penanda dimensi saat pulang nanti," jawab Aswin.

"Baik, kita tidak punya banyak waktu. Tuan Aswin, silakan disiapkan. Kami bergantung padamu," Xavier menepuk pundak Aswin.

Aswin segera kembali ke meja kontrol. Tak lama sebuah  cahaya hijau terang tampak menyilaukan terbentuk di dinding tak jauh dari layar di ruangan lab tersebut, semakin lama semakin melebar hingga hingga tampak gelap di sisi seberang. Tuan Arga menepuk bahu Xavier, "ini waktu yang kau tunggu. Pergilah, selamatkan Morphosa."

Tuan Arga benar, ini adalah momen yang ditunggu. Xavier mengangguk dan dengan Langkah pasti Xavier berjalan menuju pintu antar dimensi tersebut disusul oleh Ziyi dan Kenzo.

***

"Apa maksudmu dengan benih Ayah Hansa?" Lily tak mengerti dengan ucapan Omuci.

"Ki Poek, Omuci menghirup bau benih dan air kotor!" Omuci bersikukuh ingin dipercaya.

"Gelap Omuci! Aku tak melihat apapun selain sinar itu. Apakah ada hubungannya?" tanya Lily ragu.

"Di dalam tanah, kotor!" Omuci berusaha meyakinkan Lily sekali lagi. Moncongnya kembang kempis penuh semangat.

"Nix di dalam tanah. Dia memakan sesuatu yang kotor! Apakah seperti yang Nona Meranti katakan?" Lily mengingat perkataan Nona Meranti. "Tapi benih? Aku tak melihatnya. Maafkan, bukan maksudku tak percaya padamu. Tapi sepertinya Ayah tak kan memberikan kita kesempatan lagi. Aku tak tahu hukuman apa yang akan diberikannya kali ini. Huft! Erebos menguasai otakku!"

Omuci tertunduk, lesu. Kali moncong binatang pengerat itu tampak lunglai berat tertarik gravitasi.
"Erabos memang selalu menguasai otakmu, Ly!" suara Tera terdengar sinis. Pria yang berbadan tegap itu tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Lily.

Lily segera menguasai rasa terkejutnya. Dia segera bangkit berdiri mensejajari, tapi gagal. Tera memang tergolong tinggi untuk usia sebaya Lily. "Apa yang kamu tahu soal gua Ki Poek?" tanya Lily polos langsung pada pokok permasalahan.

"Aku tak mengerti. Harusnya aku yang bertanya. Gadis sepertimu bisa menyebabkan chaos. Tidakkah terpikir Nix bisa menyerangmu di sana?" Tera tampak kesal.

Nada khawatir terbaca dalam kalimatnya, tapi Lily berusaha tak mempedulikannya. Lily membuang muka.

"Ly, aku tahu kamu masih marah padaku soal kebun raya. Aku sendiri tak mengerti mengapa Ayah Hansa memilihku, dibanding kamu yang anak kandungnya." Tera berusaha meluruskan kesalahpahaman.

"Ini tidak ada hubungannya dengan itu," Lily kesal mengingatnya. Dia sebagai pemilik permata Orellana hanya diberi tugas mengecek tanaman siap panen saja, sedang Tera diberi jabatan tinggi di Kebun Raya.

"Lalu kenapa kamu mencari perhatian dengan pergi ke gua itu?" tuduh Tera.

"Mencari perhatian? Perhatian siapa?" Emosi Lily semakin menuju level maksimal. "Aku ada urusan lebih penting!"

"Apa itu? Mengapa kamu mengambil risiko masuk ke gua itu demi apa?"

Lily terpojok.
"Bukan u-ru-san-mu!" Lili sambil berlalu. Bahkan Omuci yang ada di tangan gadis itu saja bisa membaca wajah Tera sangat kesal mendengar jawaban Lily. Lily benar-benar tak peduli dan segera munuju ke tengah aula menemui Ayahnya.

"Apapun yang kau minta, ayah akan menolaknya," Ayah Hansa berkata dengan nada dingin.

"Ah, Ayah. Dengarkan Lily dulu!" Meski Lily kesal dengan sikap ayahnya itu, gadis itu pantang menyerah mendekati Ayahnya.

Ayah Hansa bergeming.

"Ayah ada sesuatu di gua Ki Poek. Omuci bisa merasakannya. Nix adalah makhluk tanah yang muncul karena memakan sesuatu yang kotor di dalam sana." Lili menjelaskan tanpa diminta.

Ayah Hansa memandang Lily. "Artinya perkataan Tera benar. Kamu datang ke gua itu?"

"Ayah, yang aku bicarakan ini lebih penting dibandingkan dengan perkataan Tera tentang aku," Lily kesal.

"Menurut Ayah, kamu itu penting di atas segalanya. Jadi, mulai besok kamu di hukum diam di rumah."

"Ayah, aku pemegang permata Orellana! Aku punya tanggung jawab terhadap Orellana," Lily protes.

"Sebelum itu, jadilah anak yang bertanggung jawab! Turuti perintah Ayah! Biar Tera yang mengurusi masalah Nix. Memiliki Permata Orellana tidak menjadikanmu menguasai permasalahan sepenuhnya." Kata-kata Ayah hansa tampaknya tak bisa ditawar lagi.

***

Lily berjalan pulang menyusuri jalan tanah yang ditaburi garam tadi. Langkahnya tampak gontai. Omuci yang sedari tadi bersembunyi di dalam sakunya merayap ke atas pundak Lily dengan cekatan. "Sudahlah, Lily. Tak perlu bersedih. Ayahmu sangat menyayangimu lebih dari cintanya pada Orellana," bisik Omuci.

Lily berusaha untuk mengerti. Tapi di dalam hatinya, dia merasa Ayahnya menyumbunyikan sesuatu yang besar.

Erebos = gelap (latin)

IncrementumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang