Haidar sadar ia harus menghubungi kedua orang tua Farsha sebelum para petugas medis menyelesaikan tugasnya. Namun, keanehan muncul saat ia tak menemukan satu kontak pun di ponsel Farsha. Tak kehabisan akal, tangannya dengan cepat menggulir layar, mencari aplikasi berwarna hijau yang menjadi penghubung masyarakat Indonesia. Dalam hati ia berdoa semoga sikap kurang ajarnya akan diberi ampunan oleh Farsha dan Yang Maha Kuasa.
Bibirnya tanpa sadar mengucap syukur saat di kontak teratas terdapat pesan yang belum terbaca. Dilihat dari beranda, terdapat pesan singkat yang berisi 'Kamu di mana? Papa sudah di rumah ...'. Siapapun nomor tak bernama itu, Haidar menyakininya sebagai salah satu saudara Farsha.
"Farsha, gue izin buka pesannya, ya!"
"Iya, Dar. Buka aja!
"Oke, makasih, Acha!"
Haidar terkikik sendiri karena kekonyolan yang ia lakukan. Ia tambah terbahak saat membayangkan reaksi Farsha setelah mengetahui ponselnya telah ia jarah. Amarah perempuan itu tak menakutkan, malah terlihat lucu baginya.
"Semoga Farsha enggak kenapa-kenapa deh," doa Haidar.
Haidar lantas membuka pesan itu. Sebelumnya ia tak bermaksud membaca lima pesan yang dikirim, ia benar-benar ingin memberi kabar tanpa mau melanggar privasi Farsha lebih jauh. Namun, saat netranya tak sengaja menangkap tulisan kapital, mau tak mau ia membaca satu kalimat.
"Dasar anak kurang ajar?"
Haidar tak dapat menahan rasa penasaran dan akhirnya ia memilih kembali kurang ajar dengan membaca pesan yang lain. Meski hanya membaca, rasa sakit turut menghantui lelaki berusia 17 tahun itu. Ia memang tak mengenal Farsha, tetapi hatinya mengatakan kalau Farsha bukanlah gadis yang buruk. Ia hanya gadis kesepian yang tengah rapuh. Namun, mengapa kontak yang memanggil dirinya sebagai 'papa' malah mengatakan sebaliknya?
Belum sempat ia berpikir lebih dalam, seorang perawat perempuan menghampirinya. Memberi informasi bahwa penanganan Farsha sudah selesai dan perempuan itu tengah tertidur karena obaf bius.
"Sus, saya mau nanya. Apa lukanya parah? Tadi dia mengeluh sakit di kepala."
Lagi-lagi rasa syukur Haidar haturkan saat mendengar kabar kondisi Farsha yang terpantau baik meski masih harus menjalani beberapa pemeriksaan lagi. Setidaknya Haidar tidak perlu panik sendiri sekarang.
Haidar masih berada di pintu UGD saat suster tersebut kembali, tangganya masih memegang ponsel dengan layar menampilkan pesan WhatsApp. Informasi yang ia dapat, sosok yang dipanggil Farsha abang juga berada di rumah sakit ini karena demam tinggi. Berarti setidaknya ada salah seorang kerabat Farsha yang tengah berada di bilik rawat inap, tetapi rasa ragu menghampiri Haidar. Ia menyadari betapa beratnya kehidupan keluarga Farsha meski ia tak tahu kesalahan apa yang telah diperbuat gadis itu.
Ia terdiam beberapa saat. Masih menimbang-nimbang apa jalan terbaik yang harus ia pilih. Di satu sisi ia butuh keluarga Farsha untuk mengurus administrasi, di sisi lain ia takut kalau kabar Farsha malah menyulut emosi keluarga Farsha yang tampaknya tak ramah.
Di tengah pergulatan pikiran, seseorang menepuk pundaknya. Ibu paruh baya yang matanya sembab dengan raut panik.
"Dek, saya mau nanya. Anak gadis korban kecelakaan tadi di bawah ke rumah sakit ini, ya?"
Tak langsung menjawab, Haidar malah balik bertanya demi kejelasan. "Kecelakaan di mana, ya, Bu?"
"Jalan Sudirman, Dek. Yang ditabrak anak saya."
"Ah, mobil berwarna hitam, ya, Bu? Benar, Bu."
"Kalau boleh tahu keluarganya di mana, ya, Dek? Saya mau ngejumpain buat minta maaf sama mau bayarin administrasinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gambarasa (revisi)
General Fiction"Hidup segan mati tak mau." Farsha tidak pernah meminta kebahagiaan pada Tuhan, karena semakin banyak doanya, realita terasa semakin menyakitkan. Di usia 20 tahun, satu-satunya hal yang bisa ia percaya hanyalah waktu yang terus berputar. Tak pernah...