8.0 Katanya

19 3 0
                                    

Dengan dalih beristirahat, Haidar memaksa Farsha untuk berada di kamarnya saja sementara ia mengurung teman-temannya di ruang bawah tanah. Namun, alih-alih tertidur seperti saran Haidar, Farsha malah melakukan room tour dadakan karena tak merasa ngantuk. Farsha menelusuri seisi ruang kamar yang menurutnya cukup rapi. Tidak banyak perabotan yang disimpan Haidar di sana, hanya sebuah lemari, meja belajar dan ranjang yang saat ini ia duduki. Lelaki itu menggambarkan dirinya di kamar ini melalui tata letak penempatan barang. Saat Farsha melihat seisi ruangan, wajah Haidar dan perangainya yang ceria ikut masuk ke dalam pikirannya.

Farsha bangkit dari duduknya dan berjalan menuju meja belajar yang menyimpan banyak peralatan. Buku detik-detik UN kontan membuat senyum Farsha tertarik seketika, penyebabnya ia jadi mengingat betapa jauh perbandingan usia mereka.

"Sampai lupa kalau Haidar itu masih bocil," ujar Farsha. Tangannya meraba buku tebal yang masih tampak baru itu, pertanda kalau sebelum ini Haidar sangat jarang membacanya.

Farsha kembali berujar. "Si bocil itu sesekali harus diingatkan untuk belajar baru memedulikan kehidupan orang lain."

Barang lain yang tersimpan di atas meja belajar ialah foto anak kecil yang Farsha tebak ialah Haidar di masa lalu. Mata lelaki itu sama sekali tak berubah, kegembiraan yang terpaut di sana pun tak hilang hingga saat ini. Rasa iri mendadak hinggap di hati perempuan itu, iri akan kebahagiaan Haidar yang rasanya seperti tak menemukan kata habis. Berbanding terbalik dengan dirinya yang seperti dikutuk untuk tak bahagia.

"Tersenyum tidak bikin duniamu hancur, tapi bisa bikin dunia orang lain utuh."

"Seandainya matahari tidak tersenyum, biarkan bulan yang membawa canda."

"Jadi tua itu keharusan, bahagia itu pilihan."

Farsha membaca kutipan yang dipajang Haidar di tembok meja belajar. Dari sini Farsha tahu satu hal, Haidar adalah orang yang mampu mengendalikan lukanya dengan tawa yang selalu ditampilkan.

Pandangan Farsha jatuh kepada sebuah bingkai foto yang ditempel di sisi kiri tulisan tadi. Haidar kecil tampak setengah memeluk seorang anak perempuan yang hanya menampilkan punggungnya. Farsha tak bisa mengatakan jika Haidar tengah memeluk adik atau kakaknya karena ia jelas tahu lelaki itu menjadi tunggal sejak lahir. Entah mengapa, rasa penasaran menggerogoti hati Farsha.

"Aneh."

~Gambarasa~

Selama ini, Haidar mengartikan broken home sebagai keluarga yang mengalami perceraian. Akan tetapi, hari ini ia sadar kalau jelek hubungan antara anak dan orang tua juga disebut demikian. Di usianya yang menginjak tujuh belas tahun, ia tak pernah merasa kekurangan kasih sayang. Sebagai anak tunggal, kedua orang tuanya memberi banyak cinta.

Selain itu, ia juga kerap dianggap anak oleh orang tua teman-temannya karena terlalu akrab dengan mereka. Seperti saat ayah Rendi membelikan anaknya oleh-oleh dari perjalanan dinas, maka ia dan yang lainnya juga akan mendapatkan hal yang sama atau saat ia mendapati kado ulang tahun spesial yang dibuat khusus oleh tangan ibu Juan yang terkenal sebagai pemilik toko kue terkenal di kotanya.

Keluarga cemara--sebutan yang dipakai Narendra untuk keluarga mereka-membuat ia menutup mata mengenai kasus yang dialami Farsha. Awalnya ia mengira hal seperti ini akan terjadi jika si anak yang sukar diatur, tetapi Farsha tidak mungkin melakukan hal seperti itu mengingat cerita pilu yang ia dengar sepanjang perjalanan tadi.

Helaan napasnya terdengar keras. Mengundang atensi penghuni lain ruang bawah tanah rumahnya. Tiga lelaki seusianya tampak terhanyut dalam euforia bermain PS tanpa menghiraukan si pemilik rumah. Setelah habis diomeli oleh Haidar karena datang di saat Farsha baru tiba, ketiganya memutuskan untuk beristirahat di basecamp yang disiapkan oleh orang tua Haidar agar anak-anaknya tak perlu menongkrong di luar.

"Lagian takut amat si teteh gue embat, Dar! Tenang sebajingan apa pun gue, gak bakal makan punya temen," ujar Juan saat Haidar masih terus mengomelinya saat ketiganya suda berdiri selama lima belas menit.

"Si teteh ada di kamar pun lo gegana, Dar. Apalagi kalau udah balik ke rumahnya, bisa setres kali lo, ya?" Narendra yang hanya menonton temannya yang lain bersuara. Matanya menatap Haidar yang masih di kasur kecil di pojok ruangan.

"Salah kalau ngobrol sama si Haidar pas lagi gelisah galau merana begitu, Na. Mending lo bantuin gue atur strategi ngalahin si curut Rendi," sahut Juan.

Rendi yang tengah fokus hanya berdeham. Mereka tengah berada di pertarungan bola, Juan yang menantang karena merasa tak terima dikalahkan tiga hari lalu. Mereka berempat memang sering menghabiskan waktu bersama di tempat itu, menyenangkan pikiran di masa-masa sulit seperti masa akhir sekolah yang membuat tumpukan tugas kian bertambah. Di pertandingan kali ini, Juan dan Rendi sepakat untuk mengadu nasib dengan memberi hukuman. Siapa saja yang kalah wajib beliin makan malam tambahan, itu hukumannya.

Haidar yang dua hari ini sulit dihubungi karena alasan Farsha hanya berdiam diri di pojok ruangan, meski raganya ada di ruang bawah tanah, tak bisa ia elakkan kalau pikirannya selalu mengarah pada sosok yang sekarang tengah berada di kamarnya. Ia tak bisa berbincang dengan Farsha selepas turun dari taksi karena ketiga temannya yang mencoba berinteraksi. Juan—si playboy kelas kakap—bahkan semoat menggoda Farsha dengan pujian cantik yang direspon senyum tipis.

Haidar sempat hampir melempar ketiga temannya dengan tutup botol saat bertingkah seakan-akan telah mengenal Farsha lebih dulu. Belum lagi Juan memeluk dan menghapus air mata yang belum sempat ia hapus. Untung saja Halwa lebih dulu menahan dan meminta kelimanya untuk segera berkumpul di meja makan.

"Tapi, ya, Ren. Menurut lo kalau gue sama si teteh cocok gak?" tanya Juan. Ia melirik Haidar yang langsung duduk di ranjang dan menatapnya tajam, memberi peringatan keras.

"Cocok aja sih, si teteh cantik, lo-nya jelek, melengkapi."

"Sialan!"

Gelak tawa Haidar dan Narendra langsung menggelegar. Melihat rasa percaya diri Juan dihancurkan Rendi adalah kesenangan yang tidak pernah basi bagi mereka berdua, apalagi saat ini Rendi berbicara tanpa tertawa seperti biasanya, membuat ucapannya seakan-akan adalah kenyataan.

"Maneh nanya, urang jawab," sahut Rendi.

Narendra menggeleng pelan melihat perdebatan keduanya. Ia beranjak dari sofa saat melihat pergulatan antara dua temannya itu dan memilih bergabung dengan si tuan galau, Haidar Nataprawira.

Ia hanya diam saat melihat lamunan Haidar yang terasa melambung sangat jauh. Haidar masih menatap ke arah Juan dan Rendi yang saat ini masih beradu mulut, tetapi tatapan mata yang kosong membuat Narendra sadar pikiran Haidar tengah berkelana jauh. Mengenal sejak kecil membuat mereka paham polah masing-masing. Tak mungkin seorang Haidar mau bersusah payah memikirkan seseorang jika seseorang itu tak memiliki daya tarik yang kuat.

"Na, menurut maneh kalau urang suka sama si teteh, dosa gak?"

Bersambung ...
Hari ke 8 12 April 2022
Jumlah kata : 1030 kata.

Baru sadar kalau ternyata part ini kepotong semalam, so sorry buat yang udah baca jadi enggak nyaman😭

Gambarasa (revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang