5.0 Kebahagiaan (?)

18 3 0
                                    

"Farsha, enggak baik anak gadis ngelamun terus."

Kalimat itu sudah sering Farsha dengar, tetapi baru kali ini terasa berbeda maknanya. Perempuan paruh baya yang baru menemui si anak tunggal di luar ruangan seperti memiliki daya magis yang kuat. Kehadirannya sejak pagi mampu membuat hidup Farsha seharian ini berwarna.

Sedari pagi, sudah beberapa kali ia diberi peringatan agar tak lagi membahayakan diri. Namun, bukannya merasa kesal seperti biasa, Farsha malah merasa gembira. Hari ini kehidupannya seperti permen Nano-Nano, beragam rasa.

Kebingungan, Farsha mengakui jika ia kesulitan memaknai perasaan yang membuncah di dalam dada. Harus seperti apa ia mengutarakan isi hatinya? Yang ia tahu, hari ini ia sangat gembira. Karena semua hal yang terjadi pada hari ini adalah hal baru. Di usianya yang menginjak kepala dua, akhirnya ia merasakan bentuk perhatian seutuhnya dengan jelas.

Sebelumnya Farsha sudah sering berada di rumah sakit. Ia pernah dilarikan ke rumah sakit karena ditemukan pingsan oleh supir taksi yang membawanya pulang sekolah, saat itu ia masih memfosir tubuh untuk belajar setiap saat demi mendapatkan nilai terbaik agar dapat masuk ke perguruan tinggi yang diincar. Ia juga pernah terdorong oleh seorang teman yang membuatnya mendapatkan dua jahitan di siku. Namun, sebelumnya ia selalu sendirian. Mereka si penolong hanya siap mengantar hingga pintu UGD. Meninggalkan sisanya untuk Farsha urus sendiri.

"Neng, ini kalau kamu ketabrak lagi mah gak heran, doyan banget ngelamun. Apa itu yang dipikirin? Cerita sok sama Bunda," ujar Halwa seraya mencolek bahu Farsha. "Jangan-jangan lagi kesakitan, ya? Yang mana atuh? Bunda panggilin dokter, ya?"

"Enggak kok, Bun. Farsha cuma lagi kepikiran sesuatu," ujar Farsha dengan senyum tipis. "Haidar enggak mampir, Bun?"

Farsha tahu ia salah memilih topik baru, apalagi saat mendapati senyum lebar di wajah anggun Halwa. Kentara sekali ia akan mendapat godaan. Sebisa mungkin ia mendatarkan wajahnya agar tak ketahuan menahan malu.

"Oh, lagi kangen sama anak Bunda ternyata," ujarnya dengan nada antusias. "Dia bilang mau biarin kamu berduaan sama Bunda dulu, takutnya nanti kalau dia ada di sini kamu makin gemes terus malah minta nikah."

Farsha mengutuk di dalam hati saat merasa kedua pipinya memanas. Upayanya sia-sia. Entah mengapa seharian ini ia seperti remaja yang tengah mabuk asmara, semua perkataan Haidar yang menjurus pada gombalan mampu membuatnya terganggu. Padahal lelaki itu sedang tidak berada di dekatnya. Rasanya terlalu sering bersama Haidar dan keluarga akan baik untuk kesehatan jiwanya.

"Aneh, ya, dia?"

Farsha mengangguk dua kali. "Haidar orang paling aneh yang pernah Farsha temui, Bun."

"Dia persis ayahnya, ramah banget sama orang. Kadang terlalu peduli sampai nyakitin diri sendiri."

"Keluarga Bunda enggak rame, kami cuma bertiga dari dulu. Bahagianya Haidar jelas jadi bahagianya Bunda, pun sebaliknya. Tadi malam, pertama kalinya dia belum pulang padahal udah jam 12 malam. Pas mau ditelpon sama ayahnya, dia udah nelpon lebih dulu, tapi suaranya panik." Farsha menatap lekat perempuan di depannya, menunggu kelanjutan cerita yang bisa dibilang disebabkan oleh dirinya. "Enggak ada penjelasan apa-apa, cuma nyebutin alamat rumah sakit."

"Bunda panik dong?" tanya Farsha cepat.

Halwa menggeleng pelan. "Bunda tahu anak itu baik-baik aja, dia adalah anak yang dirawat langsung dengan sepuluh jari ini, Cha. Bunda bisa bedain beragam ekspresi yang ditunjukkan Haidar meski lewat suara, maka dari itu kami baru tiba pagi tadi." 

Dalam pandangannya, Farsha tahu betapa Halwa mencintai anak lelakinya itu. Bahkan, Halwa mau membantunya hanya karena permintaan Haidar yang tak ingin meninggalkanku sendirian. Seandainya yang ada di sini adalah keluarganya, Farsha tak yakin jika ia akan mendapatkan tindakan medis. Mengingat betapa tak acuhnya kedua orang tuanya dalam pertumbuhannya selama ini. 

Bagi kedua orang tuanya, pekerjaan adalah hal yang paling utama. Mereka sanggup berada di kantor berhari-hari, tetapi tak nyaman berbincang bersama di ruang keluarga lebih dari sejam. Hal yang sering membuat Farsha sedih, karena meski tak dirawat, ia juga ingin melihat keharmonisan keluarganya sendiri.

"Maaf udah ngerepotin, ya, Bun. Farsha malu banget udah bikin keluarga Bunda jadi repot padahal kita enggak saling kenal."

"Haidar yang memperkenalkan kamu kepada kami udah membuat kamu dianggap sebagai puteri kami, Cha. Dari cerita tadi, kamu pasti paham kalau kami kesepian. Rasanya Haidar enggak cukup untuk menemani hari-hari tua Bunda dan ayah."

"Maksud Bunda?"

"Mulai hari ini, kamu boleh menganggap Bunda sebagai orang tua kamu. Sesingkat apa pun perkenalan kita, itu bukan penghalang untuk dua orang memadu kasih sayang. Setidaknya, kamu enggak perlu berjalan sendirian seperti tadi malam. Datang ke Bunda kalau memang hidupmu lagi enggak baik-baik aja, okay?"

Farsha merengkuh tubuh Halwa erat. Tangisannya tidak dapat bendung hingga menciptakan air terjun dari kedua bola mata. Di dalam hati ia bersyukur untuk hari yang terlampau bahagia. Meski tubuh terasa remuk dan kesakitan, ia tak masalah karena baginya merasakan bahagia adalah fenomena langka.

"Bun, Farsha janji untuk tetap hidup hingga 100 tahun lagi!"

~Gambarasa~

Malam harinya Haidar datang bersama sang ayah, mereka membawa sekantong cemilan yang disambut hangat oleh Halwa dan Farsha. Haidar hanya bisa menggelengkan kepala saat melihat Farsha dan ibunya yang semangat membuka bungkus martabak manis. Malam ini ia menemukan kesamaan antara dua wanita beda usia itu, pecinta makanan manis.

"Pelan-pelan aja, Bun. Cuma Farsha kok saingannya," tutur Haidar saat melihat ibunya makan dengan tergesa. Kentara takut kehabisan. "Lo juga, Cha. Makan sampai belepotan begitu."

"Ini besok yang bersihin kamar mesti bingung, kok di ruang inap banyak semutnya," timpal sang ayah. "Eh, taunya karena topping martabak manisnya Farsha sama bunda."

"Terus nanti Farsha sama bunda bentol-bentol gara-gara semutnya menjelajahi kasur, besoknya makin gendut deh soalnya bengkak semua," sahut Haidar.

Halwa yang tak terima dikatain gendut lantas melepaskan potongan martabaknya dan berjalan mendekati Haidar yang duduk lesehan bersama sang ayah. "Terus kalau Bunda gendut kenapa? Kamu mau cari bunda baru?"

Haidar menggelengkan kepalanya dua kali, menolak pemikiran aneh sang ibu. "Satu aja gak ada habisnya, masa mau nambah lagi. Bundaku yang paling cantik ini kok sensitif banget, sih?"

"Jangan-jangan mau punya adik kamu, Dar!" sambung sang ayah. "Kan lucu tuh jarak anak pertama sama anak kedua tujuh belas tahun. Pasti jadi perbincangan orang."

"Iya, jadi bahan omongan. Soalnya gak sadar diri udah tua tapi masih kaya penganten baru!"

Gelak tawa mengudara di sekeliling Farsha. Raut kesal Halwa menambah kebahagiaan yang mendera di antara mereka. Malam itu, hubungan antara keluarga Haidar dan Farsha kian merekat. 

"Semoga bahagia ini menetap, bukan hanya untuk sementara," bisik Farsha tersenyum.

Bersambung ...
Hari ke lima - 8 April 2022
Jumlah kata : 1000 kata.

Gambarasa (revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang