4.0 Takut

20 3 0
                                    

Farsha baru sadar setelah terlelap hampir sepuluh jam, Haidar menerka perempuan yang lebih tua darinya itu bukan tertidur karena suntik bius, melainkan karena rasa ngantuk yang mendera. Saat sadar, hal yang pertama kali Farsha ucapkan ialah terima kasih. Tutur kata Farsha sangat berbeda dengan yang semalam, sorot mata yang tak tegas membuat rasa iba muncul di benak Haidar.

Gadis itu enggan menghubungi orang tuanya. Alasan yang ia gunakan ialah kedua orangtuanya sibuk, padahal Haidar jelas tahu kedua orangtuanya tengah berada di gedung yang sama dengan mereka. Mengenai pesan semalam, Haidar kembali berbuat lancang dengan menghapus lima pesan terbaru. Entah mengapa ia tak ingin melihat sorot mata Farsha berubah menjadi pilu lagi.

Saat ini keduanya tengah sarapan. Farsha dengan bubur hambar yang ia dapat dari rumah sakit, sedangkan Haidar dengan bubur yang ia beli di dekat gerbang rumah sakit. Farsha tak banyak bicara saat Haidar mengaku kembali bolos demi menemaninya di rumah sakit, perempuan itu hanya berbicara dua kata. Terima kasih.

"Kenapa gak di makan lagi?" tanya Haidar saat melihat Farsha terdiam. "Udah kenyang?"

Farsha menggeleng dua kali, tatapan matanya menatap manik cokelat milik Haidar. "Hambar buburnya."

"Mau tukeran? Punya gue ada rasa kok."

Mata Farsha berbinar seketika. "Boleh?"

Anggukan Haidar membuat senyum Farsha cerah seketika. Dengan cepat tangan gadis itu menyerahkan sepiring bubur yang baru dimakan tiga suap dan menyambut bubur yang dibungkus bahan gabus. Ia sungguh excited saat melihat bubur dengan suwiran ayam dan kuah kaldu yang tersisa setengah. Lagi-lagi ia mengucapkan kata terima kasih.

"Sama-sama," jawab Haidar dengan tersenyum.

Keduanya melanjutkan acara makan tanpa bersuara. Ruangan yang memiliki tiga kasur itu tak memiliki penghuni lain selain Farsha, hal itu yang membuat Farsha tak menyuruh Haidar pulang setelah sadar tadi. Ia benci sendirian di saat sakit.

"Lo beneran gak apa-apa bolos kuliah?"

Haidar yang tengah berusaha menelan bubur hambar milik Farsha tersedak mendengar pertanyaan gadis itu. Dengan cepat ia mengambil alih gelas bekas yang masih berada di genggaman Farsha dan meminum isinya hingga habis.

"Lo ngapa deh?"

"Sejak kapan gue bilang kuliah?"

Memang Haidar tidak pernah menyebutkan mengenai kegiatannya sejak tadi malam. Namun, mengingat keberanian mengganggunya yang menurut Farsha sangat tinggi, disimpulkanlah kalau usia Haidar sedikit lebih tua dari Farsha.

"Emangnya lo kerja? Perasan muka lo kaga tua-tua amat," ujar Farsha sambil meneliti setiap sisi wajah Haidar sambil menerka usianya. Farsha yakin tidak lebih dari dua puluh satu tahun.

"Gue masih sekolah bego!"

Mata Farsha melotot, sekolah katanya?

"Jadi, semalam gue diganggu bocah?"  Mimik wajah Farsha berubah, Haidar tahu beberapa detik lagi ia akan diberi setidaknya omelan atau bahkan pukulan. Sebelum hal yang ia pikirkan terjadi, buru-buru ia menghabiskan bubur yang tersisa dua sendok dan berdiri.

"Em, gue harus ke gerbang bentar mau jemput bunda gue. Tunggu, ya!"

Belum sempat ditahan, Haidar langsung berlari dengan piring yang masih berada di tangan dan meninggalkan Farsha yang akan meluapkan emosinya. Dalam hati Haidar terbahak melihat wajah kesal Farsha yang menurutnya sangat lucu. Aduh, Haidar jadi ketagihan membuat perempuan itu kesal.

"Balik lo Haidar Nataprawira!"

~Gambarasa~

Satu-satunya hal yang ingin Farsha lakukan setelah tangannya terbebas dari selang infus ialah memukuli Haidar. Belum reda rasa kesal karena tertipu oleh usia, Farsha harus mendapatkan dirinya dijenguk oleh perempuan cantik yang melahirkan Haidar. Awalnya Farsha mengira Haidar hanya mengelak dari omelannya. Namun, ia sangat terkejut saat pintu ruangan dibuka oleh perempuan berjilbab yang langsung menyapa ramah diikuti tubuh jangkung yang menyengir.

"Lain kali kalau mau nyebrang hati-hati, ya, Neng. Sayang badan atuh ih kalau ketabrak mulu. Kamu bukan kucing yang nyawanya ada sembilan," ujar si ibu seraya mengupas buah apel yang dibawanya. Sudah tiga jam lamanya ia berada di sana, duduk di kursi pengunjung menemani Farsha dengan beberapa obrolan. Sikap dan sifat Haidar tampak sama dengan ibunya, minus kelakuan menyebalkan yang semalam didapatinya. Keduanya sama-sama doyan berguyon dan sangat baik kepada orang asing.

"Ye, kucing aja kalau ditabrak mati, Bun. Berarti lebih banyak nyawanya si Acha atuh," sahut Haidar di sela kegiatannya bermain game. "Yak, enak aja maneh yang nge-kill. Gue udah capek-capek nge-buff juga."

"Heh, kamu tuh lebih muda. Manggilnya jangan Acha doang, pakai kakak atau teteh!"

"Males, ah, Bun. Bagusan juga Acha doang. Iya, kan, Cha?"

Farsha yang kaget tiba-tiba diajak ngobrol hanya mengangguk. Sebenarnya ia tengah melamun tadi, jadi tidak terlalu mendengarkan apa yang menjadi perdebatan ibu dan anak itu. Ia masih terharu saat ibu Haidar mengatakan ia menutup toko miliknya hari ini khusus untuk datang ke rumah sakit. Ia juga bercerita hendak datang tadi malam bersama sang suami, tetapi terhalang hujan yang mengguyur deras.

Bagi Farsha, itu adalah perlakuan terbaik yang diterimanya. Sebelum ini tidak ada satu pun yang mau menjaga dirinya di rumah sakit. Baik Dimas ataupun kedua orang tuanya selalu mengatakan sibuk saat ia meminta ditemani. Tiba-tiba hatinya berdesir, memikirkan perlakuan kontras yang ia terima dari keluarga dan kenalan barunya.

"Eh, Acha kenapa melamun?"

Lagi-lagi Farsha kaget, kali ini sampai tersentak yang membuat Haidar menyadarinya. Laki-laki itu meninggalkan ponsel yang masih mengeluarkan suara tanda permainan masih berlangsung di atas meja kecil di depannya dan berjalan mendekati Farsha.

"Ada yang sakit? Gue panggil dokter, ya?"

Suara lembut Haidar membuat Farsha mati kutu. Ia benci tidak dapat mengontrol dirinya sendiri. Juga kesal karena sikapnya malah membuat dua orang baik ini kebingungan. Hingga air mata dan isakan yang menjadi jalan terakhir karena tak mampu menahan perasaannya lebih lama.

"Loh kok nangis, Cha? Ada yang sakit? Atau gara-gara gue jailin?"

"Makanya, kamu tuh jangan jahil jadi orang," sahut si ibu seraya menjewer telinga Haidar, sedangkan Farsha hanya menggeleng pelan.

"Habis gemesin sih, Bu. Kan jadi pengen dijahilin tiap hari," ujar Haidar dengan terkekeh. Tangganya terangkat ke kepala Farsha dan mengelus lembut, berharap dapat menyalurkan ketenangan serta membuat tangisan mereda.

"Haidar ... jangan elus kepala gue," ujar Farsha sambil menangis. Suaranya terdengar tak jelas jika tidak didengar dari dekat. Apalagi tangisannya semakin kencang, seperti bayi yang terlambat diberi susu oleh ibunya. "Plis, Haidar."

Pergerakan tangan Haidar terhenti. Ia yang tak merasa salah dengan elusannya bertanya, "Kenapa?"

"Gue takut baper."

Bersambung ..
Hari ke empat.
Jumlah kata : 1000 kata.


Gambarasa (revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang