6.0 Keluarga Papa

16 2 0
                                    

Melalui Haidar, Farsha mengetahui bahwa keluarga pemilik mobil yang menabraknya bertanggung jawab penuh atas kecelakaan yang menimpanya. Bahkan, mereka juga tak masalah jika anaknya dituntut karena telah lalai dalam berkendara. Namun, yang membuat Farsha berang ialah fakta bahwa si penabrak tak menampakkan diri untuk sekadar meminta maaf kepadanya. Haidar yang sempat bertukar pesan dengan keluarga itu pun hanya bisa mengatakan bahwa si penabrak tengah menjalani terapi akibat trauma yang dirasakannya.

Pagi ini adalah pagi terakhir Farsha berada di rumah sakit. Ia diperbolehkan pulang oleh dokternya setelah melalui pemeriksaan terakhir, kabar baik ia hanya terluka di luar karena bergesekkan dengan lantai trotoar tanpa menimbulkan cedera fatal. Saat ini hanya ada Halwa yang menjadi walinya, sebab Haidar terpaksa menuruti permintaan kedua orang tuanya untuk bersekolah. Lelaki itu pulang bersama Gunawan—ayahnya—malam tadi dan mampir sebentar tadi pagi dengan sekantong sarapan.

Awalnya suasana yang tercipta antara Farsha dan Halwa sangat baik. Keduanya tengah bercengkrama seusai sarapan, topik pembicaraan yang mereka bahas tak jauh-jauh dari kegiatan Haidar dan juga Farsha yang dinilai sangat kontras oleh Halwa. Namun, kehadiran seseorang membuat mood baik Farsha menghilang.

Jika sebelumnya Farsha merasa kesal karena si penabrak yang tak menemuinya untuk mengucapkan kata maaf, kali ini ia kesal karena harus bertemu dengan orang yang sangat tidak ingin ia temui apalagi sebagai korban dan pelaku.

"Oh, jadi yang gue tabrak itu lo?"

Farsha tahu sepupunya yang satu ini sangat kurang ajar. Bahkan ia sudah terbiasa dengan sapaan 'lo-gue' yang dipakai meski usia keduanya terpaut tiga tahun. Namun, terlepas dari kurang ajarnya seorang Amel, tak pernah Farsha pikirkan kalau gadis itu sama sekali tak memiliki norma yang baik kepadanya meski sebagai 'penabrak'.

Amelisa Putri Pratama adalah sepupu dari pihak ayah. Tak seperti hubungan antar sepupu orang lain, Farsha kerap dimusuhi di sana karena satu dan lain hal. Ada hampir enam orang yang kerap membencinya terang-terangan, Amel adalah salah satunya.

"Kalau gue tahu itu lo, mending gue tabrak sampai mampus."

Tak tahan dengan perkataan Amel. Farsha menyahut, "Untung gue gak mati, sih. Soalnya kalau mati kasihan Eyang harus punya cucu seorang pembunuh."

Eyang adalah orang tertua di keluarga mereka. Perempuan tua yang sangat baik bagi Amel, Dimas dan yang lainnya, tetapi bak nenek lampir bagi Farsha. Seumur hidupnya, Farsha tak mengingat satu kebaikan perempuan itu kepadanya. Perempuan yang bahkan mengatainya anak pungur hanya karena tidak bisa masuk di jurusan DKV seperti keluarganya yang lain.

"Setidaknya si beban keluarga mati."

Farsha tak jadi menyahut saat merasakan usapan pelan di pundaknya. Ketenangan menyergap meski rasa kesal masih mendominasi. Alih-alih bersuara, Farsha memilih mengehela napas dan memerhatikan pergerakan Amel dengan mata menajam. Sepupunya itu tengah mengamati seisi ruangan dengan cermat.

"Luka lo gak parah, kan? Seharusnya pas gue nabrak lo jangan dibawa ke rumah sakit besar ini, ke klinik aja. Enak banget lo bisa dapat fasilitas sebaik ini dari bokap pacar gue," ujar Amel saat mendapati ruangan itu sangat nyaman.

Malam itu Farsha memang langsung dilarikan ke rumah sakit karena jarak tempuh yang cukup dekat. Apalagi perempuan itu terpelental cukup jauh dari mobil membuat para penolong berpikir untuk dibawa ke rumah sakit guna mendapat pemeriksaan lebih lanjut. Satu-satunya rumah sakit yang berada di kawasan itu adalah rumah sakit elite yang menurut Farsha harga rawat inapnya cukup fantastis.

"Maaf sebelumnya, Neng. Tapi Farsha sendiri enggak mungkin bisa milih dia harus dibawa ke rumah sakit mana malam itu," sahut Halwa yang tak terima dengan ucapan Amel. Menurutnya sesepele apa pun luka yang dirasakan Farsha, si penabrak tetap bertanggungjawab untuk membawanya ke rumah sakit untuk pemeriksaan.

"Apa? Neng? Hello, muka secantik ini dipanggil Neng? Gak salah lo?"

Sudah Farsha katakan kalau Amel adalah anak yang tidak tahu sopan santun. Ia dibesarkan oleh kedua orang tua yang sibuk sepertinya, tetapi diberi fasilitas yang melebihi sehingga menciptakan sifat angkuh. Hanya kepada orang tertentu ia bisa bersifat sopan, salah satunya ialah Eyang, kedua orang tuanya, para om dan tante, serta calon mertua. Maka, tak heran jika ia berkata tak sopan pada Halwa.

"Bun, anaknya agak bego jadi jangan dimasukkin ke hati," ujar Farsha secara bisik-bisik yang dibalas anggukan oleh Halwa.

"Kamu ada niat apa ke sini?" tanya Halwa yang kini memilih bangkit dari kursi karena merasa tak nyaman dengan kehadiran Amel dan mulut tak beretikanya. Senyum lebar yang sempat menghiasi wajahnya kini menyisakan senyum tipis.

"Dipaksa buat minta maaf sama orang yang gue tabrak kemarin, tapi kayanya gue gak perlu minta maaf deh, ya? Secara lo udah gue tindas sejak kecil," jawab Amel diikui suara 'cekrek' dari ponsel berlogo apel tergigit. "Gue butuh bukti kalau gue udah kesini. Kalau gitu gue cabut deh, ya. Cepat mati sepupu jelek!"

Kepergian Amel tak membuat suasana membaik seketika. Farsha maupun Halwa sama-sama terdiam karena sibuk dengan pikirannya masing-masing. Farsha sendiri tengah menerka apakah keluarga ayahnya akan segera tahu mengenai kabar tentang kecelakaan dirinya atau bahkan sudah tahu mengingat cerita Haidar yang mengatakan bahwa proses administrasi dilakukan oleh pihak keluarga si penabrak dengan modal KTP yang ia berikan.

Meski pernah berharap dipedulikan, Farsha tidak berkeinginan menghadapi keluarganya di saat ia sudah menemukan makna kebahagiaan dari keluarga orang lain. Alih-alih mengharapkan merasakan hal yang sama dari keluarganya, ia malah berdoa agar setidaknya ia bisa merasakan kebahagiaan dari keluarga Haidar lebih lama. Karena menurut Farsha, akan aneh jika orang yang dari awal sudah jahat tiba-tiba menjadi baik, serasa dunia akan runtuh di detik selanjutnya.

Sedangkan Halwa sibuk dengan pikirannya yang membayangkan betapa tersiksanya hidup Farsha selama ini. Ia yakin yang barusan itu hany satu dari sekian banyak saudara Farsha yang memiliki mulut pedas. Bukan bermaksud ber-suudzon, hanya saja seorang anak perempuan yang terang-terangan berkata demikian pasti dibiasakan atau tidak ditegur oleh orang tua di sekitarnya.

"Maaf, ya, Bun. Sepupu Farsha yang satu itu otaknya emang suka ketinggalan di rumah, jadi kalau ngomong suka enggak dipikirin."

Sejujurnya Farsha merasa malu kepada Halwa karena melalui Amel ia menunjukkan betapa buruk selama ini dirinya diperlakukan oleh keluarga besar. Hal yang sangat kontras mengingat hubungan dengan Haidar yang sangat harmonis.

"Dia sepupu kamu, Cha?"

Hanya anggukan yang bisa Farsha berikan. Ia terlalu tenggelam dengan pikiran mengenai respon Halwa setelah mengetahui sisi buruk dari keluarganya. Rasanya kebahagiaan yang dirasakannya masih terlalu singkat untuk dicabut paksa.

"Kamu jadi anak Bunda saja mau gak, Cha?"

Bersambung ...
Hari ke 6 - 9 April 2022
Jumlah kata : 1022 kata.

Gambarasa (revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang