12. Sahabat (?)

12 1 0
                                    

Usaha Farsha memaksa Haidar bersekolah membuahkan hasil. Tak lupa ia juga merecoki tas lelaki itu dengan buku tebal yang kemarin ia temukan setelah mengetahui jadwal bimbel sepulang sekolah dari Rendi.

"Tapi tahun ini katanya UN tetap ditiadakan, Farsha. Ngapain gue harus bawa buku ini juga?" Haidar masih mencoba meninggalkan buku di teras rumah saat Farsha bersikeras dengan keinginannya. "Ini berat tahu?"

"Ya, itu harusnya lo pikirin pas lo beli buku ini. Lagian kalaupun gak ada UN 'kan masih UTBK. Minat kuliah kan?" bantah Farsha yang tengah mengambil buku itu lagi. Tak menunggu lama, ia menarik tas punggung Haidar untuk meletakkan buku itu kembali.

"Gue mau bolos, Cha! Bakal ribet kalau bawaannya seberat ini!"

"Kata siapa lo boleh cabut? Cepat berangkat dan belajar atau gue pergi dari rumah ini!"

Bibir Farsha tertarik saat menyaksikan kepergian Haidar yang lengkap dengan seragam dan bibir yang cemberut. Setelah motor Haidar menghilang di pertigaan, ia kembali ke dapur untuk membantu Halwa yang tengah mencuci piring.

"Anak itu kerjaannya kalau gak bolos, ya, berantem, Cha. Sampai capek Bunda sama ayah ngadepinnya," keluh Halwa.

Farsha tersenyum kecil, kakinya melangkah ke tempat cuci piring. Membantu mengeringkan piring yang Halwa cuci barusan. Meski masih kaku, ia menikmati pekerjaan seperti ini. Berusaha semaksimal mungkin untuk menikmati kejadian langka di dalam hidupnya.

"Bunda enggak marah?"

"Sampai capek Bunda, Neng. Anaknya bukan nurut malah makin doyan ribut, pernah sekali dihukum si ayah enggak boleh keluar rumah, malah seneng bisa bolos."

Farsha terkekeh saat mendengar helaan napas Halwa yang dihembuskan cukup keras. Ia paham betapa berat perasaan perempuan paruh baya di sisinya ini dalam menghadapi anak lelaki yang tengah berada di fase nakal-nakalnya.

"Harusnya dia dihukum bersihin rumah, Bun. Pasti jera, apalagi kalau harus bersih atau uang jajan dipotong. Dijamin besoknya dia jadi anak baik. Kaya abang Farsha, Bun. Dia sering dihukum sama guru kami dulu, tapi masih nakal. Pas dihukum sama nenek buat bersihin rumah, besoknya dia janji buat gak nakal lagi. Sampai sekarang jadi anak baik," ujar Farsha diselingi kekehan. Memori mengenai Dimas di masa lalu cukup membuatnya tergelitik.

"Nama abang kamu siapa, Neng?"

"Dimas, Bun. Abang kembar Farsha."

"Baik gak dia?"

Farsha menghentikan kegiatannya. Menatap manik bulat Halwa yang ternyata sudah duduk di kursi bar dan juga menatap dirinya. Ia sempat berpikir sebelum menjawab pertanyaan sederhana itu.

"Alhamdulillah, dia paling baik di rumah. Mungkin karena kami saudara kembar, jadinya dia yang paling jarang bikin Farsha sedih."

"Kalau sama Haidar, baik yang mana?"

Lagi-lagi Farsha terdiam. Tengah menimbang kadar kebaikan yang ia dapat dari kedua orang yang ada di dalam hidupnya hingga saat ini. Dimas yang merupakan kembarannya melawan Haidar yang merupakan kenalan barunya.

"Haidar sama Bang Dimas beda posisi, Bun. Dua-duanya sama-sama baik ke Farsha, cuma beda porsinya aja. Abang udah baik banget seumur hidup Farsha, kalau Haidar udah baik banget karena nyelamatin hidup Farsha."

"Bunda suka tahu sama pemikiran kamu, Neng. Kok bisa pinter begini, sih? Makan apa coba?"

"Ya, makan nasi dong, Bun. Masa makan Whiskas, emangnya Farsha kucing?" jawab Farsha sambil bercanda.

Ia ikut mengisi salah satu kursi di meja bar yang berhadapan dengan Halwa. Sakit di lukanya terasa semakin samar hingga ia sudah bebas beraktivitas seperti sebelumnya. Meski, sebenarnya ia masih dilarang bergerak oleh Haidar tadi pagi.

"Kucing juga kalah kalau saingannya kamu, Neng. Udah cantik, lucu, pinter lagi. Paket komplit mantu idaman."

Farsha tersedak ludahnya sendiri saat mendengat pujian Halwa. Wajahnya sedikit bersemu, tetapi berusaha ia alihkan. "Wah, Bunda inget itu Haidar masih harus ujian masa udah bahas mantu aja."

"Gak apa-apa, lagian Bunda nemu keceriaan Haidar di diri kamu. Berharap dikit kan gapapa, ya?"

Farsha tak menjawab. Takut akan kenyataan pahit di antara pertemannya dan Haidar yang terlanjur manis menurutnya.

"Sebenarnya, Bun. Ketemu Haidar sama Bunda bikin hidup Farsha lebih berwarna. Tanpa Bunda sama Haidar, mungkin Farsha masih tetap jadi Farsha yang kaku, yang kalau ketemu orang lain suka ketus."

"Kenapa kamu begitu, Neng?"

Lagi-lagi Farsha berpikir terlebih dahulu sebelum menjawab. Menimang-nimang cerita mana yang seharusnya ia ceritakan kepada ibu dari temannya itu.

"Awalnya karena Farsha jarang dihargai di rumah, Bun. Mama dan Papa Farsha lebih senang mendengarkan cerita Bang Dimas daripada Farsha, jadi setiap Farsha berkesempatan berbicara, mereka suka gak percaya."

"Tapi kamu sering ketemu mereka kan, Nak?"

Jika tak salah tangkap, Farsha seperti mendengar nada khawatir di sela-sela suara Halwa.

"Mereka sibuk kerja, Bun," jawabnya.

"Tapi, kamu tahu kan kalau mereka kerja untuk kamu?"

"Bunda tenang aja, Farsha cuma kesal ke mereka, kok. Farsha sadar, sebagaimana jahatnya mereka, takdir tentang mereka adalah orang tua Farsha tidak akan bisa berubah."

"Syukurlah kalau kamu paham. Ingat, Neng. Badai yang datang itu selalu tahu caranya mereda."

Farsha percaya sesuatu yang rusak pasti menemukan cara untuk memperbaiki. Meskipun tak bisa seapik awal, sesuatu itu dapat kembali digunakan dengan nilai guna yang mungkin semakin kecil. Namun, sesedikit apa pun sesuatu itu, selagi masih bisa digunakan, harus digunakan dengan baik.

Bukannya Farsha tak tahu, jika segala rasa sakit yang ia rasakan hingga hari ini adalah bentuk ujian tak tertulis dari Sang Maha Pencipta agar kelak ia semakin menjadi kuat. Ia semakin sadar akan kehadiran-Nya saat dipertemukan dengan sosok sebaik Haidar yang tanpa aba-aba memporak-porandakan kehidupan dan prinsip sebelumnya.

Namun, ada hal yang jauh lebih penting daripada menjadi sosok berprinsip seperti yang sebelumnya ia genggam. Yakni, hidup bahagia dengan hal sederhana. Sebagai mahasiswa di semester tua, Farsha memutuskan untuk meninggalkan serangkaian proses menuju kelulusan dengan cara kabur dari rumah. Meski hingga detik ini ia tak mendengar kabar pencarian atas dirinya, ia tahu kedua orangtuanya telah mengetahui ketidak hadirannya di rumah.

Terkadang melakukan hal ekstrem membawa hal baik kepada kehidupan. Seperti saat ini, ia tengah berbahagia meski badannya harus kesakitan karena menghantam kerasnya lantai trotar. Ia akan sangat menyesal jika malam itu tak berlari ke taman dan malah menghabiskan waktunya bersama Dimas. Demi apa pun bertemu dengan keluarga Nataprawira adalah hal yang sangat membahagiaan, setidaknya untuk hari ini.

"Bunda, untuk usia 20 tahun ini Farsha cuma minta satu doa."

"Boleh Bunda tahu?"

Perempuan itu mengangguk. "Farsha harap bisa menjadi anak Bunda untuk selamanya."

Bersambung ...

Gambarasa (revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang