Haidar merasa kesal karena terus-terusan melewatkan momen di mana Farsha bertemu dengan keluarganya. Ia yang awalnya berniat untuk mengajak Farsha berkeliling dengan sepeda motor sepulang sekolah terpaksa membatalkan rencananya. Halwa berkata kalau perempuan itu tak keluar dari kamarnya setelah membantu masak tadi siang, kemungkinan tengah bergalau ria setelah pertemuan tadi.
"Si Dimas Dimas itu gimana sih mukanya, Bun? Mirip Farsha gak?" tanya Haidar setelah terdiam lama. Ia yang baru pulang sekolah bahkan belum sempat mengganti seragam putih abu-abu karena terlampau penasaran dengan jawaban singkat Halwa saat ia bertanya mengenai keberadaan Farsha.
"Enggak mirip, cuma lumayan ganteng," sahut Halwa dengan mata yang berfokus pada tayangan di televisi. "Kenapa kamu gelisah begitu?"
Sikap Haidar sore ini berbeda dari biasanya, Halwa menyadari itu. Haidar merupakan anak laki-laki yang cenderung santai dan jahil. Melihatnya seperti banyak beban membuat dirinya tak ingin berdiam diri. Apalagi sangat tidak biasa ia mendapati Haidar pulang jauh lebih cepat dari biasanya, ia telah terbiasa dengan kebiasaan nongkrong hingga malam yang selalu Haidar lakukan bersama ketiga temannya meski telah dilarang.
"Bun, Bunda sadar gak kemungkinan Farsha pulang itu besar?"
Halwa terdiam. Memikirkan maksud dari ucapan Haidar yang disampaikan dengan nada menggebu. "Ya, terus?" tanyanya masih tak mengerti maksud Haidar. Ia sadar cepat atau lambat Farsha akan kembali pada keluarganya, bukankah itu hal baik?
"Bunda rela anak perempuan Bunda pergi?"
Mendengar jawaban Haidar ia menangkap satu maksud. Bibirnya tersenyum lebar saat merasa anaknya tengah mengalami waktu pubertasnya. "Kenapa? Kamu gak rela jauhan dari Farsha? Suka kamu, ya?"
Haidar gelagapan saat mendengar pertanyaan dari ibunya. Ia sungguh tak siap dengan pertanyaan semacam itu meski sebelumnya sudah pernah menyimpulkan hal yang sama saat di ruang bawah tanah.
"Apaan deh, enggak!"
Halwa mengangguk dengan bibir yang menahan senyum geli. "Oke, Bunda percaya. Lagian kamu juga enggak pernah diajarin berbohong sama ayah Bunda 'kan?"
"Bunda enggak bakal melarang kamu untuk jatuh cinta, Nak. Itu adalah hal yang wajar di usia kamu, pun dengan patah hati."
"Aish, macam mana pula Bunda ini? Harusnya anaknya didoain supaya enggak patah hati dong, bukannya malah dibegituin. Udah enggak sayang Haidar, ya?" sahut Haidar dengan nada kesal. Lelaki itu menarik dasi yang kini hanya tersampir di lehernya, tak lagi bersimpul seperti saat ia hendak berangkat sekolah.
"Nih, ya, Bun. Dengar orang jatuh cinta di usia Haidar itu ibarat ngedengerin anak bayi lagi ngoceh, kita tahu jelas dia lagi bersuara, tapi ucapannya enggak jelas. Mungkin Bunda jauh lebih paham dari Haidar masalah ini, tapi menurut Haidar jatuh cinta di umur belasan itu Cuma buang-buang waktu."
"Memangnya kalau Haidar jatuh cinta sekarang, Haidar bisa ngapain? Nikahin? Lulus aja belum apa lagi kerja. Pacarin? Mau sampai kapan? Nunggu kerja itu sama aja harus nunggu lulus sekolah sama kuliah. Haidar gak mungkin tega ngikat seseorang untuk nunggu Haidar menyempurnakan diri, Bunda."
"Semua emang enggak butuh uang, Bun, tapi Haidar enggak mungkin mengajak seorang anak perempuan dari laki-laki yang telah membesarkannya dengan susah payah untuk hidup susah."
~Gambarasa~
"Farsha ayo makan!"
Setelah perbincangannya dengan sang ibu selesai, Haidar lantas melipir ke kamarnya guna membujuk Farsha untuk makan siang bersama meski sekarang telah memasuki waktu solat Ashar. Lelaki itu masih belum berganti pakaian karena satu-satunya tempat ia menyimpan baju hanyalah di kamarnya.
"Farsha, ayo buka pintunya! Gue janji deh hari ini enggak bawel kaya biasanya!"
Masih belum ada sahutan dari dalam sana. Rasanya Farsha tengah memikirkan hal yang cukup berat mengingat sudah cukup lama pintu ini terkunci. Haidar menghela napasnya, merasa kasihan pada Farsha yang memiliki jalan hidup yang lebih berat darinya. Sebenarnya tadi Halwa sudah melarang dirinya untuk mengganggu waktu sendiri Farsha, menurut Halwa di saat-saat begini perempuan enggan menampakkan diri kepada siapa pun. Namun, ia tetap ingin berusaha agar Farsha sadar bahwa dirinya sedang tidak sendirian.
"Farsha ... kalau sedih coba dibagi ke gue, biar sedihnya bareng-bareng," ujar Haidar dengan nada lemas, ia mulai capek berteriak sedari tadi. "Walaupun gue belum tentu bisa beresin masalah lo, setidaknya lo bisa tenang karena enggak nanggung masalah sendirian."
Masih belum ada sahutan atau tanda-tanda pintu akan dibuka. Haidar merasa usahanya kali ini untuk menghibur seseorang berakhir sia. Perasaannya cukup tercubit karena sebelumnya ia tidak pernah gagal dalam menghibur, tetapi kali ini ia bahkan belum berkesempatan melihat wajah cantik yang beberapa hari terakhir berhasil ia buat tertawa.
"Oke, karena lo gak mau ngejelasin apa-apa, biar gue samperin aja si Dimas-Dimas itu. Dia kembaran lo yang kerja di bengkel dekat jalan Prabu, kan? Oke!"
Tanpa berpikir panjang Haidar membuka seragam OSIS-nya yang menyisakan kaos putih polos dan berjalan tergesa menuju ruang bawah tanah demi mengambil jaket kulit yang selalu ia kenakan saat mengendarai motor besarnya.
"Bun, Haidar pamit pergi sama si Maung, ya? Jangan ditungguin, kalau ada apa-apa telpon aja sampai diangkat, bye, Bunda Sayang!"
Halwa tak sempat memberi tanggapan atas pamit Haidar saat anaknya sudah menghilang di balik pintu utama yang tertutup. Meski sempat ingin bertanya mengenai tujuan anaknya itu, ia tetap tak ingin menghambat karena sepertinya Haidar memiliki rencana yang cukup penting.
"Eh, bukannya si Maung kata ayah perlu di service, ya?"
~Gambarasa~
Si Maung adalah motor sport yang dimiliki Haidar sebagai hadiah ulang tahun di usianya ketujuh belas, dalam artian motor ini masih dalam hitungan bulan berada di tangan Haidar. Meski demikian, ia tetap setia dengan motor matic yang ia beli tangan kedua dengan uang tabungan sejak kecil, jadilah Si Maung hanya menjadi pemanis di garasi.
Tujuan Haidar menggunakan motor itu sore ini yang pertama ialah agar terlihat keren, dari cerita sang ibu tadi, ia mendapat informasi bahwa Dimas adalah salah satu pengguna motor sport. Sedangkan, alasan lainnya karena ia terlupa mengisi bensin motor matic-nya sepulang sekolah tadi.
Setibanya di jalan Prabu ia mulai memelankan kendaraannya guna melihat satu per satu toko yang berada di bahu jalan. Dari informasi yang didapat dari Halwa, rentang waktu antara Farsha mematikan telpon dan kehadiran Dimas tak memakan waktu lama, kemungkinan bengkel itu masih berada di jalan yang sama.
"Nama bengkelnya apa, ya?" tanya Haidar pada dirinya sendiri. "Seharusnya Bunda nanya pas mereka ngobrol di rumah," tambahnya dengan nada sesal.
"Loh ini motor kenapa? Kok ngandet?"
Tak butuh waktu lama untuk motor besar itu berhenti dan membuat Haidar merasa panik seketika. Jalan Prabu bukanlah tempat yang ramai pengguna apalagi toko, mogok di sini adalah hal yang paling menyebalkan karena jarak bengkel motor yang sangat jauh dari jangkauan.
"Aish, ini pasti lupa diservice ayah! Mana kaga bawa hape lagi gue, gimana gue bisa keluar dari jalan sepi ini coba?" keluh Haidar.
Merasa tak ada cara lain, Haidar memarkirkan motornya di bahu jalan dan berjongkok guna mengecek penyebab motornya tak mau beroperasi seperti sebelumnya. Namun, meskipun ia sudah mencoba melototi satu persatu bagian yang dapat dilihat matanya, ia tetap tak menemukan jawaban karena pada dasarnya ia sendiri tak begitu tahu menahu masalah permesinan.
Tak lama, ia mendengar suara motor dari pengguna jalan lain. Belum sempat ia menoleh dan meminta bantuan, sebuah suara lebih dulu menarik atensinya.
"Mogok lo, Dar?"
"BANG TAMA PENYELAMATKU!"
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Gambarasa (revisi)
General Fiction"Hidup segan mati tak mau." Farsha tidak pernah meminta kebahagiaan pada Tuhan, karena semakin banyak doanya, realita terasa semakin menyakitkan. Di usia 20 tahun, satu-satunya hal yang bisa ia percaya hanyalah waktu yang terus berputar. Tak pernah...