9.0 Hangatnya Keluarga

17 3 0
                                    

Di hari kedua di rumah Haidar, Farsha bangun sangat pagi. Ia bahkan sempat menghabiskan satu novel koleksi Haidar sebelum menjalankan kewajibannya sebagai umat muslim. Alih-alih kembali menekuni cerita fiksi, selepas salat ia beranjak menuju dapur guna membantu Halwa yang seingatnya pernah bercerita mengenai rutinitas memasak di pagi hari. Jika tak salah ingat, ia akan bertemu Halwa beberapa menit ke depan di dapur.

"Loh, udah bangun, Neng?"

Tebakan Farsha tak meleset. Karena setibanya ia di lantai dasar, ia mendapati Halwa yang baru saja keluar dari kamarnya. Dengan senyum yang terpatri, Farsha menjawab, "Iya, Bun. Mau bantuin masak."

"Loh kamu bisa masak?"

Ditanya begitu, Farsha lantas gelagapan. Sebenarnya ia terhitung tidak bisa memasak. Sebelum ini ia hanya menjarah dapur jika kondisi keuangannya tengah memprihatinkan sehingga tidak bisa menyambangi outlet junk food seperti kebiasaannya.

"Enggak sih, Bun. Tapi, kalau bantuin dikit-dikit bisa, kok!"

'PD aja dulu' batin Farsha.

Halwa hanya mengangguk dan melanjutkan langkahnya yang diikuti Farsha. Saat keduanya telah masuk ke dapur, yang mereka hampiri lebih dulu ialah kulkas besar yang terletak di sebelah kanan pintu masuk. Kulkas yang sempat membuat Farsha takjub karena isinya yang super lengkap. Dari makanan ringan hingga bahan masakan ada di sana, Halwa yang mengaturnya.

"Kamu mau makan apa pagi ini, Cha?" tanya Halwa sembari menjelajahi isi kulkasnya. "Bunda belum tahu mau masak apa."

"Bahannya ada apa aja, Bun?" Farsha ikut memerhatikan bagian bawah kulkas yang berisi sayur-mayur. Meski tak mahir memasak, Farsha dapat membedakan mana sayur bayam dan sayur lainnya. Hal itu membuatnya lantas menjawab satu makanan kesukaannya saat melihat sayur tersebut tersimpan rapi di sana. "Cah Kangkung, Bun!"

"Wah, seleramu sama kaya Haidar," timpal Halwa. "Ikannya digoreng aja kali, ya? Bumbunya pada habis, baru mau ke pasar hari ini."

"Boleh ikut gak, Bun?"

"Boleh, nanti kita naik taksi aja, ya?"

Keduanya mulai membuat masakan sederhana berdua. Meski Farsha baru pertama kali mencobanya, Halwa tidak membuatnya merasa tak dihargai. Malahan saat itu Farsha diajari beberapa hal yang sebenarnya sangat mendasar. Keduanya menikmati momen yang tercipta dengan hati tenang. Hingga tanpa disadari matahari sudah menerangi bagian bumi mereka. Satu persatu penghuni kamar telah berkumpul di ruang makan.

Haidar adalah orang terakhir yang menyambangi ruang makan. Saat ia tiba dengan seragamnya, Gunawan dan ketiga temannya sudah duduk rapi di meja makan yang menghidangkan sarapan mereka. Ia menduduki kursi setelah mengusili Narendra yang menampilkan wajah ngantuk.

"Jangan usil bisa gak?" tutur Narendra ketus. "Masih ngantuk gue!"

Narendra, Rendi dan Juan berhasil membuat malam Haidar mengenaskan dengan keputusan menginap. Ketiganya terus menahan Haidar di ruang bawah tanah saat pria itu mengeluh mengantuk. Dengan ide konyolnya, Narendra berhasil menahan Haidar dengan ajakan bermain. Namun, pagi ini ia satu-satunya yang terlihat sangat lemas padahal keempatnya sama-sama tidur dengan waktu yang sedikit.

"Kok kalian segar banget, sih?" tanyanya.

"Makanya, sebelum ke ruang makan tuh mandi dulu, Naren!" sahut Gunawan yanng tengah membaca sesuatu di tabletnya. "Masa mau ke sekolah cuma cuci muka sama sikat gigi. Malu atuh sama muka gantengnya."

"Naren mah gak mandi tetap ganteng, Om. Gak kaya yang di sebelah Oom itu, mandi gak mandi tetap aja jelek." Sosok yang dimaksud Narendra adalah Juan yang saat ini tengah sibuk membalas pesan.

"Udah-udah, jangan rebut. Buruan makan, nanti terlambat lagi," sela Halwa yang datang dengan seteko air putih.

"Iya, Bun."

Mereka mulai mengambil nasi dan lauk saat Halwa kembali ke dapur. Sementara yang lain sibuk berebutan sendok, Haidar sibuk mencari seseorang yang belum ia temui pagi ini.

"Bun, Farsha belum bangun?" tanyanya saat Halwa kembali lagi dengan sebuah piring. Belum sempat Halwa menjawab, ia sudah kembali bersuara. "Haidar panggil deh, ya?"

Lantas ia bangkit dan berjalan menuju tangga. Namun, belum sempat ia melangkah lebih jauh, sebuah suara menghentikannya.

"Enak aja! Gue udah bangun dari subuh kali!"

~Gambarasa~

Berbelanja bersama sang ibu bukanlah harapan Farsha. Ia cukup sadar diri untuk tidak membayangkan hal-hal yang sangat tidak mungkin ia dapatkan. Namun, ia pernah mengkhawatirkan bagaimana kehidupannya setelah pernikahan jika ia tak terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga. Dan hari ini ia merasa lega karena meski baru pertama kali dalam hidupnya, ia pernah menginjakkan pasar dan berbelanja bersama seorang ibu.

Hari ini ia tampak nyaman dengan gamis yang dipinjami oleh Halwa. Wanita paruh baya itu sempat berkata bahwa tidak baik seorang perempuan keluar dengan baju laki-laki seperti yang selama ini ia kenakan. Meski yang ia pinjam dari Hiadar hanyalah kaos kebesaran dan celana olahraga. Maka dari itu, setelah para lelaki berangkat sekolah mereka berdua membongkar lemari yang berada di kamar Halwa demi mencari gamis lama yang sesuai dengan ukuran badan Farsha.

"Kita ke pasar mana, Bun?"

"Pasar sayur yang dekat dengan pelabuhan itu, Neng. Agak becek sih, kamu gak apa-apa?"

"Gak pa-pa dong, Bun!"

Keduanya kembali terdiam sampai tiba-tiba taksi yang mereka tumpangi berhenti berkendara. Tak hanya Farsha dan Halwa yang tampak keheranan karena tujuan mereka yang masih jauh, tetapi pak supir yang mengendarai mobil itu pun tampak kebingungan.

"Ada masalah apa, ya, Pak?" tanya Halwa dengan nada ramah. "Mogok, ya?"

Pak supir yang mulai tampak cemas menjawab dengan nada tak enak. "Kayanya, iya, Bu. Saya cek dulu, ya?"

Setelahnya pria tua itu keluar dan membuka kap mobil. Farsha dapat melihat bagaimana wajah tak tenang dari pria yang tengah mencari nafkah itu. Enggan membuat suasana semakin panik, ia ikut turun dan menghampiri si bapak.

"Pak, saya bantu panggil bengkel, ya?" sarannya.

"Jangan, Dek. Adek dan ibu adek penumpang pertama saya hari ini, saya belum ada uang buat ngebenerinnya," jawab pak sopir. "Adek coba hubungin taksi online saja, kayanya saya Cuma bisa nganter sampai sini."

Saat ini mereka tengah berada di jalan yang sepi pengguna. Sudah lima menit mereka berhenti, tak satupun pengendara lain yang melintas. Di tambah tidak terlihat tak akan ada toko atau bengkel berjarak dekat, membuat Farsha merasa iba.

"Gak pa-pa, Pak. Kebetulan bengkel itu punya kenalan saya, jadi Bapak gak perlu mikirin biaya. Sebentar, ya, Pak."

Farsha sedikit menjauh dari mobil karena hendak menelpon satu nomor yang ia hapal. Namun, kebimbangan menyapa dirinya disaat ingatannya melayang ke malam itu. Dimas tentu bukan orang yang memendam dendam, tetapi ia masih enggan berbincang dengan pria itu.

Cukup lama ia berpikir, hingga ia menghidupkan ponsel setelah yakin dengan keputusannya. Ponsel yang semenjak ia kecelakaan tidak ia hidupkan demi menghindari Dimas yang kemungkinan besar mencarinya. Setelah ponsel itu hidup, dengan cepat ia menggerakkan tangannya pada ikon telepon. Tak lama men-dial satu nomor yang meninggalkan riwayat panggilan baru sebanyak 35 kali.

"Hallo! Kamu kema—"

"Tolong kirim satu montir ke jalan Prabu, mobil yang gue pakai mogok di sini."

Setelahnya panggilan terputus. Farsha enggan berbicara dengan Dimas di telpon, meskipun kemungkinan ia akan dipaksa pulang sangat besar saat ia bertemu Dimas, setidaknya ia bisa membantu sopir tadi terlebih dahulu.

Bersambung ...

Gambarasa (revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang