Yang Farsha dapati saat dirinya keluar kamar ialah keheningan. Padahal seingatnya ini sudah memasuki jam pulang sekolah Haidar, tetapi tak ada tanda-tanda anak itu di penjuru rumah. Bahkan, saat ia telah tiba di ruang makan, ia tetap tak menemukan Haidar.
"Apa mungkin Haidar belum pulang, ya?"
Meski canggung, Farsha berusaha membuat dirinya nyaman seperti pesan Halwa yang didapat sebelum ia pamit ke kamar. Wanita itu sudah lebih dulu bercerita bahwa sore ini ia memiliki janji dengan salah satu teman lama dan menitipkan Haidar kepada Farsha. Makanya, Farsha hanya mencari keberadaan haidar saat ini.
"Sendirian enggak enak banget, sih," gerutu Farsha sembari berjalan menuju ruang keluarga yang tampak berantakan. Beberapa bantal sofa tergeletak di lantai dan sebuah selimut tipis tampak diletakkan sembarangan oleh pengguna sebelumnya. Kepala Farsha sempat mengamati sekitar ruangan guna memastikan benar-benar tak ada orang di sekitar, rasanya sungguh aneh mendapati sofa yang awalnya sangat rapi, tetapi malah sudah berantakan tanpa ada pelaku dalam hitungan jam.
"Gak mungkin ada maling, kan?" ujar Farsha pada dirinya sendiri.
Meski masih dalam kebingungan, Farsha akhirnya menjatuhkan diri pada sofa yang empuk dan mulai merapikan kembali kekacauan tadi. Namun, saat tumpukan selimut itu di tari, terlihat sebuah tas punggung berwarna hitam yang tadi pagi ia lihat.
"Haidar sudah pulang?"
~Gambarasa~
"Lo lupa ganti oli, Dar?"
Haidar yang tengah menahan kebosanan lantas berdiri saat suara langkah kaki terdengar mendekat. Tampak seseorang yang membantunya datang dengan seragam serupa dengan karyawan lain dan tangan yang bernoda oli.
"Gue baru pakai ini motor setelah tiga bulan lalu, Bang." Ia menjawab sekenanya.
Anggukan menjadi respon dari lelaki itu. Ia kembali berlalu menuju bagian dalam bengkel dan kembali dengan sebuah kunci yang langsung dilempar ke arah Haidar.
"Gue tahu ini masih urusan bokap lu, pulang dan kabarin beliau. Motor biar gue yang urus," ujarnya.
"Tapi ini bengkel mobil, Bang. Emang bisa?"
"Ini bengkel khusus karena punya montir andal kaya gue, udah sono lu balik. Anak SMA gak boleh kelayapan pakai celana OSIS sampai maghrib, gue gak mau kena kasus polisi gara-gara lo!"
Lelaki itu lantas meninggalkan Haidar dan kembali mengotak-atik motor sport yang sejenis dengan kepunyaannya. Membiarkan Haidar membawa motornya tanpa meminta jaminan apa pun. Buat apa meminta jaminan jika setiap bulan ayah dari lelaki itu akan mampir ke bengkelnya untuk memeriksa kelayakan pakai kendaraan mereka.
"Makasih banyak, Bang Tama! Gue pulang dulu!"
~Gambarasa~
"Tadi gue kira Haidar yang pulang," ujar Farsha seraya membiarkan tamunya duduk di sofa yang baru saja ia bersihkan.
"Dia ke mana?"
Farsha mengangkat kedua bahunya. "Entah, cuma keliatan tasnya," ujarnya seraya menunjuk tas yang berada tepat di sebelah tamu tersebut. "Mau minum apa?"
Dengan menggeleng tamu itu menjawab, "Gak perlu repot-repot. Gue bahkan udah lebih dulu kenal rumah ini ketimbang lo, Kak."
"Ah, iya. Sorry-sorry," ujar Farsha sembari menggaruk tengkuknya. "Jadi ada apa? Nyari Haidar?"
Yang membunyikan bel rumah Haidar beberapa menit lalu adalah teman yang seingat Farsha bernama Narendra. Lelaki yang menurut Farsha terlihat lebih normal ketimbang dua orang lainnya karena masih bersikap sewajarnya saat berinteraksi dengannya.
"Kita ngobrol berdua bisa gak, Kak?"
Farsha yang bingung dengan pertanyaan Narendra hanya mengangguk tanda setuju. Meski terbilang aneh karena sedari tadi keduanya sudah mengobrol, tetapi Farsha tetap membiarkan lelaki yang usianya tiga tahun lebh muda darinya itu untuk melakukan kemauannya.
"Lo sama Haidar beneran baru kenal malam itu?"
Mendengar pertanyaan seperti itu, dapat Farsha simpulkan kalau yang dimaksud dari 'ngobrol' bagi Narendra ialah intrograsi mengenai kedekatan antara ia dan Haidar. Meski cukup kaget karena sebelumnya Narendra tampak biasa aja dengan kehadiran dirinya di antara kehangatan keluarga Haidar—tidak seperti Rendi yang cenderung sinis—ia tetap menjawab dengan jujur.
"Iya, lebih tepatnya setengah jam sebelum gue kecelakaan. Dia datengin gue pas gue lagi nangis di taman," jawab Farsha. "Lo tahu kejadian gue di taman, 'kan?"
"Ya, Haidar sempat cerita sekilas mengenai pertemuan pertama kalian, menurut dia lo lucu karena nangis di antara orang yang lagi mojok. Gak bisa nyari tempat yang lebih bener apa?"
Mendengar hal itu, sontak Farsha terbahak. Ia memang tahu taman yang ia datangi malam itu cukup ramai penggunjung karena keremangannya yang membuat para pasangan senang berlama-lama di sana, tetapi sungguh tak terpikir bahwa ia menangis di antara pasangan itu karena setibanya di sana ia tak sempat memerhatikan sekitar.
"Sumpah? Pantesan gue digangguin Haidar, dia lagi mojok juga?" tanya Farsha penasaran. Mengingat betapa menyebalkannya Haidar di malam itu, ia jadi terpikir kalau saja Haidar adalah satu orang yang memanfaatkan lampu remang taman kota.
Narendra menggeleng. "Malam itu Haidar bareng gue sama yang lain, niatnya kami mau nyari tempat nongkrong baru, tapi Juan udah ngeluh duluan karena banyak nyamuk," jelas Narendra. "Sebenarnya malam itu kami ke parkiran barengan, tapi kunci motor Haidar ketinggalan di kursi yang sebelumnya kami pakai."
"Terus kenapa dia ganggu gue?"
"Kursi yang lo dudukin itu kursi yang gue maksud."
Farsha jadi mengerti sekarang. Ternyata Haidar tidak serta merta mengganggunya hanya karena ia sendirian malam itu, tetapi karena memang tujuannya kembali ke taman ada di tempat yang sedang ia gunakan. Diam-diam Farsha mensyukuri kesalahpahamannya malam itu, tanpa hal itu ia mungkin tidak merasakan kebahagiaan hingga detik ini.
"Sekarang gue mau nanya lagi," tutur Narendra menarik perhatian Farsha. "Kenapa lo nginap di sini padahal lo nggak didiagnosis amnesia?"
Keheningan terjadi cukup lama di antara keduanya. Mereka sama-sama terdiam karena larut pada pikiran masing-masing. Narendra yang terlampau penasaran dengan jawaban yang akan ia dapatkan, sedangkan Farsha terlampau bingung apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya pada orang asing.
"Hm, gue emang enggak amnesia. Gue ada di sini karena permintaan Haidar dan bunda," jawab Farsha yang terdengar ragu oleh Narendra.
Melalui jawaban gantung dari Farsha, ia dapat mengetahui jika perempuan itu tak menjelaskan dengan baik atas pertanyaan yang ia lontarkan. Maka dari itu, ia kembali menanyakan hal yang sama dengan kalimat yang berbeda.
"Kenapa lo ada di sini padahal gue yakin lo ingat jalan pulang?"
Farsha yang merasa tengah diserang hanya mampu menenangkan dirinya melalui tautan jari yang sedari tadi ia genggam erat. Dengan susah payah ia mengatur napas agar Narendra tak mengetahui betapa gelisahnya ia sekarang.
"Ja-jadi ... gue ada di sini karena gue nyaman dengan keluarga ini. Keluarga ini ... bisa ngebuat gue merasa seperti anak mereka sendiri, enggak seperti keluarga gue yang sebenarnya."
Farsha menutup kedua matanya saat mengucapkan kata terakhir. Meski telah bercerita kepada Haidar dan Halwa sebelum ini, ternyata ia tetap tak bisa bercerita dengan layak kepada Narendra.
"Hidup gue di rumah itu seperti angsa yang tinggal di keluarga bebek, terlalu banyak perbedaanya sampai-sampai nama keluarga yang seharusnya menjadi nama belakang gue dicabut. Menyakitkan bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gambarasa (revisi)
General Fiction"Hidup segan mati tak mau." Farsha tidak pernah meminta kebahagiaan pada Tuhan, karena semakin banyak doanya, realita terasa semakin menyakitkan. Di usia 20 tahun, satu-satunya hal yang bisa ia percaya hanyalah waktu yang terus berputar. Tak pernah...