Setelah pergi berhari-hari dan sulit dihubungi, Farsha menelpon demi meminta sebuah montir karena mobil yang tengah ia tumpangi mogok di jalan Prabu. Meski sempat merasa kesal, Dimas tak dapat mengelak jika ia juga merasakan ketenangan di waktu yang hampir berdekatan. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, ia memutuskan untuk berangkat sendiri ke alamat yang disebutkan Farsha sebelumnya.
Ia memang tak begitu andal untuk disebut seorang montir, tetapi kemampuannya juga tak bisa diragukan karena kesenangannya dalam mengotak-atik mesin mobil dan motor. Maka dari itu, ia mendapatkan sebuah bengkel yang ayahnya bangun untuk dikelola sebagai hadiah di usia ke-17.
Karena lokasi yang tak begitu jauh dan jam berangkat kerja sudah habis dari sejam yang lalu, Dimas tiba 20 menit lebih cepat. Ia menangkap sebuah taksi yang berhenti di bahu jalan dengan dua orang perempuan yang berdiri tak jauh dari sana. Atensinya menangkap Farsha yang hari ini kelihatan berbeda, tubuhnya terbalut kain panjang berwarna biru tua yang sangat kontras dengan warna kulit.
Motor yang ia kendarai berhenti tepat di depan mobil itu. Ia segera memarkirnya dan menghampiri Farsha yang tak tersenyum sedikitpun.
"Kamu kemana aja?" tanya Dimas yang langsung mendekap kemabarnnya. "Ini kenapa mukanya ada luka begini?"
Sementara Dimas mendekap erat tubuhnya, Farsha memilih untuk tak membalas dekapan itu. Tangannya ia biarkan tergantung di sisi tubuh dan tak membalas satupun pertanyaan Dimas. Rasanya sangat menyakitkan jika Dimas masih tak mengetahui keberadaannya di saat Amel yang pasti telah mengabarkan telah menabrak dirinya. Tiba-tiba ia mengingat sebuah perkataan yang sempat Haidar sampaikan di perjalanan pulang kemarin.
"Seseorang yang menyayangi orang lain akan mengetahui keadaannya, bagaimanapun caranya."
Sadar bahwa dirinya akan menangis, Farsha lantas melerai pelukan itu dan mengusap kedua matanya. "Urus dulu mobil si bapak terus antar gue ke pasar. Baru kita ngobrol di rumah bunda."
"Bunda?"
~Gambarasa~
Rencana berbelanja ke pasar dibatalkan oleh Halwa yang tidak enak kepada Dimas. Mereka menunggu hampir setengah jam lamanya sebelum memutuskan pulang dengan mobil yang dibawa oleh anak buah Dimas.
Saat ini ketiganya tengah berkumpul di ruang tamu, Halwa yang telah menyajikan air the dan cemilan pun ikut duduk di sana untuk mengawasi saudara kembar yang sempat bertengkar itu. Awalnya Halwa ingin dirinya saja yang berbicara dengan Dimas saat mendapati Farsha yang gelisah, tetapi ide itu ditolak dengan alasan ini adalah masalah mereka berdua. Maka dari itu Halwa sedari tadi hanya diam melihat keduanya.
"Kenapa enggak ngabarin kalau kecelakaan sih, Dek? Kan Abang bisa bantu ngejaga kamu," ujar Dimas dengan penuh rasa sesal. Sedari tadi matanya tak terlepas dari beberapa luka yang tak tertutupi gamis kaftan yang dikenakan Farsha. "Tabrak lari atau gimana?"
"Dia tanggungjawab, kok. Bahkan, dia yang bayar rumah sakitnya."
"Siapa yang nabrak?"
Farsha sempat menimbang-nimbang mengenai apa yang harus ia jawab. Ingatannya melayang pada fakta bahwa selain dengan dirinya, Dimas sangat dekat dengan Amel yang menurut Dimas sangat multitalenta. Sejujurnya ia takut tak dipercaya jika menyebut nama sepupunya itu sebagai orang yang menabrak.
"Gue sebut jug lo gak bakal percaya, Bang," tutur Farsha lemah.
"Gue kenal? Siapa, Dek?" desak Dimas. "Ibu tahu siapa yang nabrak?"
Halwa yang ditanya menjawab dengan anggukan. "Ibu tahu."
"Siapa, Bu?"
Farsha sempat memberi kode gelengan agar Halwa tak memberi tahu, tetapi hal itu tak digubris karena menurut Halwa sangat tidak benar menyembunyikan hal besar dari orang terdekat kita.
"Sepupu perempuan kamu, Amel."
~Gambarasa~
Setelah berbincang cukup lama, Dimas pamit kembali ke bengkel karena telpon dari anak buah yang mengaku keteteran. Siang ini ia tak memiliki jadwal kuliah, maka dari itu semalam ia sudah berjanji untuk membantu di bengkel lebih awal dari biasanya.
Sesampainya di bengkel, Dimas tak membantu banyak hal selain mengecek ulang kerjaan bawahnya karena pikirannya yang penuh dengan omongan Farsha. Ia masih tak menyangka jika sosok yang ditabrak Amel adalah adiknya sendiri. Rasa bersalah menyergap hatinya, membuat ia semakin uring-uringan.
Dari sekian banyak informasi yang didapat di rumah yang masih asing untuknya, ia masih mensyukuri satu hal. Yaitu Farsha tak mengetahui alasan Amel kebut-kebutan malam itu padahal belum mahir menyetir. Ia sangat takut jika saja alasan itu sampai ke adiknya itu.
"Bos, tadi ibu boss mampir ke sini. Saya bilang kalau bos pergi sama Farsha," ujar salah satu pegawainya.
Mendengar kata 'ibu' ia jadi teringat jika selama Farsha kabur, ia juga tak bertemu kedua orang tuanya karena tengah melakukan keluar kota karena tugas dadakan. Dimas cukup bersyukur akan itu karena ia tak ingin perginya Farsha diketahui oleh mereka, meski ia cukup uring-uringan karena berada di rumah sendirian bukanlah keinginannya.
"Lalu mama ke mana, To?"
Anto menyebutkan pesan sang ibu yang memintanya pulang siang ini. Dimas menganggukkan kepala dan membiarkan anak buahnya kembali melakukan pekerjaannya sementara ia kembali bergelut dengan pikirannya di meja kasir.
Selain luka yang berada di beberapa bagian tubuh Farsha, keberadaan adiknya di rumah orang asing juga menjadi hal yang mengganggu pikiran Dimas. Meski telah mendengar alasan Farsha berada di sana, ia tetap tak merasa adiknya aman di sana. Apalagi saat mengetahui bahwa sosok yang dipanggil 'bunda' oleh Farsha memiliki seorang anak laki-laki yang berusia 17 tahun membuat tingkat kewaspadaannya semakin tinggi.
"Farsha gak mungkin doyan berondong kan, ya?"
~Gambarasa~
Di sisi lain, Farsha tengah membantu Halwa membersihkan pekarangan rumah. Karena ditumbuhi banyak pohon, rumah berlantai dua itu tetap terasa sejuk meski jam menunjukkan pukul 12 siang. Halwa tengah mencabut rumput liar sementara Farsha menyapu beberapa daun kering yang berguguran. Keduanya berkerja seraya membincangkan hal-hal sepele seperti mengapa harga minyak goreng naik di saat Ramadhan hampir tiba.
Namun, tiba-tiba rasa bersalah menghampiri Farsha saat mengingat Halwa yang batal ke pasar akrena pertemuannya dengan Dimas. Ia menatap ke arah Halwa yang tampak asik dengan kegiatannya.
"Bun," panggilnya. Halwa lantas menoleh dan menjawab dengan kata 'iya'.
"Maaf, ya. Gara-gara Dimas yang terlalu kepo dan gak sabaran, kita gak jadi belanja ke pasar," tutur Farsha.
Halwa yang sempat menghentikan kegiatannya kembali melanjutkannya lagi, senyum tipis lagi-lagi terpatri di wajahnya yang cantik. "Gak apa-apa atuh, Neng. Belanja mah bisa kapan aja, tapi kamu ketemu sama abangmu kan harus ada time-nya."
"Jadi, kamu mau nurutin permintaan abangmu untuk pulang?" tanya Halwa yang tanpa disadari membuat senyum yang awalnya sudah terbit di wajah Farsha lenyap seketika. "Kalau kamu pulang nanti kami anter, ya, Neng. Biar nanti kalau Bunda kangen bisa jenguk kamu ke sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gambarasa (revisi)
General Fiction"Hidup segan mati tak mau." Farsha tidak pernah meminta kebahagiaan pada Tuhan, karena semakin banyak doanya, realita terasa semakin menyakitkan. Di usia 20 tahun, satu-satunya hal yang bisa ia percaya hanyalah waktu yang terus berputar. Tak pernah...