Dimas kira kehadiran kedua orangtuanya dapat menghilangkan kesepian yang mendera. Namun, ternyata pemikirannya itu salah. Sedari tadi, ia tak diberi kesempatan berbicara. Hanya mendengar celotehan ibu yang isinya tak jauh dari cerita tentang liburan seminggu silam. Padahal ia berniat menanyakan keberadaan Farsha dan memintanya untuk menemani di rumah sakit.
"Abang sembuh kita ke Paris, ya?"
Dimas terdiam memikirkan ajakan itu. Keberadaan Farsha yang tidak terdeteksi olehnya membuat ia tidak berminat kemana-mana. Apalagi harus mengudara sejauh itu. Sakit di tubuhnya juga menjadi penyebab ia ingin menolak. Namun, belum sempat ia bersuara, ayahnya sudah menimpali terlebih dahulu.
"Sembuh saja dulu, baru berencana."
Suara datar sang ayah membuat Dimas sadar tengah terjadi pertengkaran di belakangnya. Karena sejarang apa pun ia bertemu dengan kedua orangtuanya, tak pernah sekalipun ia mendengar nada ketus atau marah yang keluar dari bibir ayahnya secara langsung. Sangat kentara mengingat ibu sedari tadi hanya memedulikan dirinya, mengabaikan keberadaan sang ayahnya.
"Maksud kamu apa? Dimas pasti sembuh!"
Dimas tersentak saat mendengar teriakan Prita. Merasa suasana kedua orang tuanya tengah berada di tingkat waspada, ia berusaha mendudukkan dirinya. Sempat ia memberi gestur sungkan karena pasien lain juga menaruh atensi kepada keluarganya.
"Ma, jangan teriak," ujarnya, tetapi tak digubris.
"Siapa yang bilang Dimas bakal sakit terus? Kamu sensitif semenjak pulang liburan, mending kurangin kegiatan tak berfaedah itu dan urus anak-anak dengan baik," celetuk Gibran seraya membuka lembar baru koran yang sedari tadi ia pegang.
"Kamu enggak berhak mengatur kesenanganku!"
Gibran tersenyum kecil. "Kata siapa aku tidak berhak? Sumber keuanganmu adalah gajiku, aku jelas berhak untuk itu."
Dimas masih terdiam. Ia sangat terkejut, karena meski bukan termasuk golongan keluarga harmonis. Akan tetapi, ia sangat jarak mendapati perkelahian kedua orang tuanya. Delapan puluh persen kehidupan hanya dihadiri teman dan Farsha. Maka dari itu, hal yang ia jalani sekarang cukup mengejutkan.
"Ma, Pa."
Tak ada yang mendengar suara Dimas karena keduanya masih sibuk beradu mulut. Mencari siapa yang paling berhak mengatur pasangannya. Dimas cukup malu karena sedari tadi anak yang sempat berbincang dengannya memerhatikan tanpa jeda. Ia iri dengan keberadaan sang ibu yang kini menyuapi anak tersebut.
"Terserah, bertengkar denganmu hanya membuang waktu berhargaku. Dimas, setelah keluar dari rumah sakit harap kunjungin kantor Papa. Ada yang mau diomongin," ujar Gibran sebelum meninggalkan kamar rawat inap itu tanpa pamit.
"DASAR ORANG GILA!"
"Ma, jangan teriak! Ini rumah sakit!"
Prita membuang wajahnya saat mendapati wajah datar Dimas. Senyum yang menghiasi wajahnya saat bercerita mengenai liburan lenyap seketika, yang tersisa hanya wajah merengut.
"Papa kamu tuh kerjaannya bikin emosi terus, emang kalau uang dia bukan untuk istri sama anak, lalu buat siapa? Selingkuhan?"
"Mama jangan ngomong sembarangan! Papa gak mungkin begitu, udah mending ceritain tentang liburan lagi aja. Dimas penasaran hari kedua di Korea ngapain aja," tutur Dimas berusaha mengalihkan pembicaraan.
Karena ia tahu, pertengkaran seperti ini sangat sulit dielakkan. Hal yang paling mungkin ia lakukan hanyalah mencoba sabar dan menjaga keutuhan pernikahan kedua orang tuanya. Karena sakitnya melihat kehancuran rumah tangga sangat tidak ingin ia saksikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gambarasa (revisi)
General Fiction"Hidup segan mati tak mau." Farsha tidak pernah meminta kebahagiaan pada Tuhan, karena semakin banyak doanya, realita terasa semakin menyakitkan. Di usia 20 tahun, satu-satunya hal yang bisa ia percaya hanyalah waktu yang terus berputar. Tak pernah...