5. KE KANTOR

438 64 10
                                    

CHAPTER 5

Rinta menarik selimut untuk lebih menghangatkan tubuh sang ayah hingga ke bagian dada. Ia menghela nafas pelan. Kepalanya pening karena ia hanya duduk seharian menemani ayah diatas brankar. Mereka menghabiskan waktu dengan nonton berita, menggibahi para politikus hingga artis viral cari sensasi. Rinta dan ayahnya juga menghabiskan waktu bersama untuk mengisi TTS.

Pintu ruang rawat inap terbuka, ibu datang dengan menjinjing sebuah tas besar ditangan kanan. Tas yang berisi pakaian bersih ayah.

"Rinta, kamu masih disini?" Ibu meletakkan tas di dekat meja disebelah jendela.

"Mana mungkin Rinta bakalan ninggalin ayah sendiri disini, bu."

Ibu tampak memperhatikan wajah lesu Rinta lamat-lamat. Ia lalu memanggil Rinta untuk duduk disebelahnya.

"Kenapa, bu?"

Ibu mengelus rambut panjang putri bungsunya dengan senyuman tipis. "Rin, kamu itu sekarang udah punya suami nak. Kamu berkewajiban untuk mengurus rumah tangga dan pastinya suami kamu."

"Tapi, mas Arfi tau kok bu Rinta disini jagain ayah seharian."

Ibu mengangguk pelan. "Iya, tapi mau sampai kapan begini terus?" Rinta diam. Pandangannya mengarah keluar jendela yang terbuka. Gorden jendela itu bergerak ditiup angin. "Kamu udah hampir seminggu menikah. Kamu cuma bolak-balik RS sama rumah. Entah sesekali nyuci atau beberes rumah. Tapi gimana dengan Arfi? Siapa yang urus dia?"

"Mas Arfi bisa ngurus dirinya sendiri, bu."

"Itu namanya bukan pernikahan, Rinta Azara. Rumah tangga itu tempat komunikasi. Masalah sekecil apapun itu. Hanya komunikasi, yang bisa memanjangkan umur pernikahan hingga tua kita, Rin." Sahut ayah dengan suara halus.

"Iya Arfi bisa. Tapi maksud ibu, gimana dengan pandangan mertua kamu terhadap kamu? Apa mereka bisa sepengertian Arfi dalam menyikapi hal ini?" Rinta menggeleng, tidak tau. Tidak berpikir sejauh itu. Mbak Anisa benar, mental Rinta belum terbentuk untuk berkeluarga. Apalagi diumur yang masih muda.

"Pulang gih, sesekali ke rumah mertua. Temui Arfi, dan perlakukan bagaimana selayaknya istri memperlakukan suaminya."

"Tapi mas Arfi nggakpapa banget, bu." Jawab Rinta sekali lagi. Kekeuh dengan ucapannya.

"Arfi itu seorang pria dewasa. Ada kebutuhan yang harus kamu penuhi sebagai istrinya, Rin. Karena menikah itu nggak hanya berstatus sah, tapi saling membahagia dan membutuhkan."

Jantung Rinta berdebar. Rasanya belum siap jika harus merealisasikan ucapan ibu sekarang ini. Rinta tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi.

"Kamu mau tau, apa beda doanya kamu sama doanya ayah?" Tanya ayah pada Rinta yang mengangguk. "Kamu selalu mendoa ingin menikah dengan Novan. Tapi ayah selalu berdoa supaya kamu menikah dengan pria terbaik pilihan Tuhan." Rinta menganga.

"Takdirmu hari ini menjadi istri Arfi Muldjadi, tak terlepas dari doa dan Ridha ayah yang sakit-sakitan dan selalu kamu jaga ini." Ayah menepuk dadanya pelan. "Ayah dan ibu nggak mampu membalas bakti kamu pada kami. Sehingga ayah selalu berdoa semoga Rinta Azara anak kami, hidup bahagia. Yang terpenting, bisa menikah dengan pria yang menurut Tuhan terbaik."

"Karena bagi ayah, baktimu menjaga kami hari ini. Ayah harap dibalaskan Tuhan dengan memiliki suami yang akan menjagamu dengan baik juga. Seperti yang kamu lakukan pada ayah ibu sekarang."

Airmata Rinta meleleh ke pipi, ia mendekat dan memeluk tubuh ayahnya. "Rinta sayang banget sama ayah. Makasih udah selalu doain Rinta."

Meskipun doa itu terkabulkan dengan pria yang bukan Rinta cintai.

Pernikahan impianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang