7. SABAR ADALAH KUNCI

359 64 12
                                    

CHAPTER 7

Setelah tadi selesai mengantar Rinta pulang. Arfi segera bertolak ke kantor untuk meeting. Dan kini ia bersama sekertarisnya melangkah menuju ruang meeting yang berada di lantai 6. Di depan ruang meeting sudah terdapat Yudha yang sedang bermain game Cacing Amazone. Arfi pastikan Yudha sudah lama berada disana, terlihat dari ukuran cacing yang ia mainkan sudah sebesar Anakonda di dunia nyata. Menyadari keberadaan Arfi dan Sonia, Yudha segera menyimpan ponselnya dan melempar senyuman lebar penuh arti pada Arfi yang habis pergi dengan istrinya.

Yudha hendak mengeluarkan untaian kalimat untuk menggoda sang atasan, tapi kalimat itu urung saat Indra penciumannya lebih dulu menangkap aroma harum yang begitu feminis amat kentara yang berasal dari jas yang Arfi kenakan dengan percayadiri kini.

"Pak Arfi, saya izin masuk ya pak. Permisi, pak Yudha." Sonia lantas melangkah masuk kedalam ruang meeting untuk mempersiapkan banyak hal.

"Wahh, kayanya ada yang habis pelukan lama nih. Wangi parfumnya sampe nem-pelll." Goda Yudha tak henti mengendus dada Arfi yang risih dan berusaha menjauhkan diri.

Tidak menanggapi Yudha, Arfi hanya memasang wajah malas sambil melangkah lebih dulu masuk ke dalam ruang meeting. Yudha segera mengekor Arfi. Meeting pun dimulai.

*****

"Bodoh!!" Umpat Novan pada seseorang yang ia temui di sebuah ruang private restoran Jepang.

"Sekali lagi maaf, pak."

"Nyari satu identitas aja kalian nggak mampu?" Novan menatap tajam lawan bicaranya satu persatu.

"Pak Novan, cuma ngasih tau nama Bella. Ciri-ciri fisik bahkan nama belakangnya aja tidak bisa dideskripsikan. Maka jujur kami sangat kesulitan mencarinya pak." Ucapnya takut.

"Pemilik nama Bella ada sangat banyak. Dan kami sudah mencari tahu semuanya yang pernah berhubungan dengan pak Arfi. Ta-tapi anehnya semuanya hanya terlihat sebagai layaknya orang biasa. Tidak ada sedikitpun terlihat lebih dari pada itu."

Penjelasan orang suruhan Novan membuatnya sendiri semakin berpikir keras. Ia menggebrak meja dan mengusir semua dua orang suruhannya itu dari sana.

"Sialan!! Kemana sebenarnya pacar mas Arfi ini?! Nggak mungkin seketika hilang dimakan bumi gitu aja." Mata Novan yang menggelap menerawang kesegala arah bilik makan private yang terbuat dari bambu itu.

"Bahkan jejak digital atau apapun nggak pernah ada yang memperlihatkan mas Arfi berfoto atau dekat dengan seorang perempuan. Satupun. Sialan!!" Novan mengumpat dan meremas siku meja.

Suara keriuhan itu memancing pegawai restoran dan menegur Novan. Karena marah sudah ditegur, ia pun segera pergi dari restoran itu dengan amarah menggebu.

Novan melirik jam tangannya. Ia tahu ada meeting di kantor. Tapi persetan. Ia tidak akan datang dalam keadaan emosi seperti saat ini. Bisa-bisa ia malah menghancurkan suasana meeting yang tenang. Lebih baik ia segera menemui Alana untuk membahas hal lain, yang lebih penting.

Jika Bella sulit ia dapatkan, masih ada cara lain memporak-porandakan perasaan Rinta, yang Novan yakini belum habis melupakannya.

*****

Malam ini suasana di ruang rawat ayah tampak hangat. Mungkin karena ada anak mbak Riska, Vania. Anak itu baru bisa bicara, ia mengoceh banyak hal dan sesekali membuat orang-orang disekitarnya tertawa. Ada mbak Riska, mas Ibnu, ibu, ayah dan juga Rinta disana mendengar celotehannya tanpa henti.

Mas Ibnu dan mbak Riska pasti membawa anak mereka berkunjung ke rumah sakit dari sore hingga malam karena mungkin besok minggu. Mereka membiarkan saja waktu senggang Vania tersalurkan di RSUD.

Pernikahan impianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang