17. RASA ICE CREAM COKLAT

595 47 3
                                    

CHAPTER 17

Flashback

"Mas Arfi, selamat ulangtahun!" Seru anak yang duduk diatas kursi roda. Sebelah tangannya yang bergetar dan bergerak tak begitu stabil mengangkat sebuah kertas dengan gambar yang sudah ia warnai dengan cat air. "Hadiah, untuk yang berulang tahun." Arfi menerima hasil karya buatan sang sahabat beda usia dengan senyuman riang.

"Ini bagus banget, makasi banyak! Bakalan mas pajang di dinding kamar."

Seorang wanita yang kini berdiri untuk mengintip dekat dinding dapur tersenyum melihat interaksi sang anak tetangga dengan anaknya itu. "Indra terus tanya kapan kamu pulang sekolah, Fi."

"Maaf ya, Mas Arfi tadi main basket dulu sama teman-teman sekolah."

"Kok sekarang lebih lama pulangnya?"

"Iya, sekarang mas Arfi kalo pulang sekolah nantinya juga mesti jemput Novan les."

"Jauh ya?"

"Iya, dikit."

Kini Arfi mendorong kursi roda untuk menghabiskan waktunya dengan Indra dan ibunya lebih banyak di halaman depan rumah. Indra terlihat asik menggambar dan Arfi duduk lebih santai dengan ibu Indra, tante Yunda.

Dalam duduk santai sore itu, tante Yunda menyampaikan jika, "Indra bergadang sampe malam lho Fi, bikin gambar itu untuk kamu. Dia telat tidur dua jam dari biasanya, padahal besok pagi-pagi sekali dia harus check up ke dokter. Alhasil ke dokternya telat karena Indra sempat tantrum pagi-pagi."

Arfi tak bisa berkata-kata selain hanya bisa menatap Indra, anak seusia Novan itu dengan prihatin. Novan seringkali merasa heran dan bertanya padanya, 'Ngapain sih mas kamu ngabisin waktu sama anak cacat bin lumpuh begitu?' Ya, Novan adiknya sering menanyakan hal itu jika habis melihat Arfi baru pulang bermain dari rumah tetangga sebelah mereka, rumah tante Yunda dan om Bimo. Karena Novan kesal abang kandungnya lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak tetangga yang lumpuh dibanding menemaninya main PS. Tak ada alasan lain mengapa Arfi suka kerumah tetangga untuk menemani Indra bermain atau ngobrol, selain ia kasihan.

Arfi merasakan punggungnya ditepuk pelan. Tante Yunda tersenyum padanya, senyuman yang seringkali Arfi lihat dan membuatnya suka ikut merasa sedih karena tak bisa berbuat banyak untuk membantu.

"Makasih. Sudah mau jadi teman satu-satunya Indra kami yang berharga." Tante Yunda kembali menambahkan. "Kamu pasti juga capek, pulang sekolah. Tapi masih mau nyempetin diri kesini."

"Arfi seneng bisa ketemu dan main sama Indra kok tante." Arfi tersenyum tipis sekilas menatap Indra. "Harusnya Novan juga ikut kesini ya tan? Novan sama Indra kan sebaya, teman dari TK, harusnya sih mereka yang lebih deket. Tapi maaf banget ya tan, Novan itu sibuk banget kesehariannya. Apalagi tante tau sendiri kan, mama sama papa juga masukin dia les supaya nilainya bagus. Dia seneng main PS, sampe waktu yang tersisa itu cuma untuk PS sama tidur. Bukan maksudnya Novan nggak mau lagi main sama Indra."

Tante Yunda tertawa kecil. "Arfi... Arfi... tante ngerti kok, nak." Matanya kembali menatap Indra. "Nggak semua anak juga mau main sama anak seperti Indra."

Arfi semakin merasa bersalah. Mau dia bicara sehalus apapun dan berusaha untuk menutupi sikap Novan yang 'seolah' melupakan teman lama, tante Yunda tetap orang yang pintar, apalagi beliau sudah terbiasa menjadi orang yang sangat peka menghadapi anaknya yang berakhir lumpuh karena kecelakan. Tante Yunda jelas tahu benar apa maksud ucapan Arfi.

"Maaf ya tante."

"Arfi... Nggak ada yang salah. Dunia itu realistis."

Kursiroda milik Indra mendekat kearah Arfi dan ibunya, seketika perhatian mereka berdua beralih pada Indra.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pernikahan impianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang