CHAPTER 14
"Arfi, ibu mau ngomong sebentar sama kamu, boleh?"
Arfi yang sedang membantu mengangkat kotak air mineral kedalam rumah kini menatap ibu. Ia mengekor ibu kebagian belakang dapur, tempat yang sedikit sepi dari tamu yang sedang melayat. Mereka duduk didekat pohon delima. Ayunan yang diikat disalah satu dahan pohon dan menggantung itu menyita perhatian Arfi.
"Itu ayunannya Rinta. Anak itu senang duduk diayunan sambil makan buah delima muda yang belum sempat masak." Ucapan ibu membuat Arfi mengangguk mengerti.
Jika melihat ayunan, Arfi akan mengingat sesuatu. Sosok teman masa kecil yang sangat suka main ayunan.
Ibu perlahan menghela nafas. "Makasih sebelumnya, kamu udah banyak bantu-bantu." Ibu mengusap bahu sang menantu dengan senyuman hingga memperlihatkan semakin jelas kerutan disisi kedua matanya.
"Udah jadi kewajiban Arfi sebagai menantu, bu."
Pandangan ibu tampak kosong menatap kedepan. Arfi hanya diam, hingga ibu mulai membuka obrolan lain yang menjadi inti mereka duduk disini.
"Kamu kenal Rinta udah lama banget ya." Ibu menatap Arfi yang kini terdiam, tersenyum malu sambil menggaruk kepalanya. "Bahkan kamu tau nama Rinta sebelum sakit parah itu adalah Bella."
Arfi tampak mengangguk kecil.
Kala itu ia adalah remaja SMA yang sekalipun tidak pernah merasa jatuh hati pada seorang gadis. Jika asal suka saat melihat, itu tentu saja ada, tapi setelahnya Arfi lupa dengan gadis-gadis yang ia sukai. Selain sikapnya yang pendiam, tertutup, tak banyak bicara dan bergaul dengan lawan jenis. Maka tentu tidak heran jika Arfi tidak pernah terendus berhubungan spesial dengan perempuan.
Hingga disatu hari, papa meminta Arfi untuk menjemput adik laki-lakinya di tempat les sepulang ia main basket dari sekolah. Arfi sebenarnya lelah, belum lagi tempat les Novan berlawanan arah. Tapi akhirnyapun ia menjemput Novan. Novan memang difasilitasi les sejak kecil. Berbeda dengan Arfi yang terakhir kali les saat lulus SD. Metode belajar Arfi, ialah dengan cara menyendiri. Arfi tak bisa dibantu dalam proses belajarnya oleh orang lain, ia lebih cepat menyerap dengan cara belajar sendirian dikamarnya yang berantakan dengan alat gambar dan lukisnya. Tak heran jika di kelasnya Arfi sering tidur. Karena ia mengantuk jika mendengar gurunya memaparkan materi yang sudah ia pelajari dari rumah. Awalnya guru jengkel, namun setiap disuruh mempresentasikan materi ulang, Arfi selalu bisa menjadi guru kedua didalam kelas. Sehingga fenomena ia tidur dikelas ditengah jam pelajaran berlangsung, adalah hal yang biasa.
Dari atas motor beat yang difasilitasi papa untuknya, Arfi melihat Novan yang jalan dari ujung gang. Arfi datang lebih awal 5 menit dari jam pulang les Novan. Dan malah melihat bocah dengan celana biru dongker itu tampak kaget melihat sang kakak.
"Kok mas yang jemput aku?"
"Novan, kamu nggak masuk les?" Tanya Arfi dengan mata tajam.
Novan menggigit bibirnya. "Ahh, maaf mas. Jangan aduin ke papa ya. Janji ini yang terakhir."
Arfi diam memperhatikan wajah takut Novan. Anak ini sudah diganti tempat les berkali-kali dan hampir rata tempat les dikota ini sudah pernah ia coba. Papa dan mama pikir, tempat les-nya yang tidak cocok, karena mereka berpikir rangking Novan selalu jelek, berbeda dengan kakaknya Arfi yang juara paralel.
"Kamu nggak tau ya gimana papa sama mama stres-nya mikirin rangking sekolah kamu?! Ternyata kamu nggak pernah anggap nilai akademik itu penting. Kamu anggap sepele."
"Novan belajar kok mas, belajar dirumah."
"Kalo kamu belajar dirumah, harusnya minimal rangking kamu ada di 10 besar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan impian
Romance"Saya bisa menikahi kamu. Dia, cuma bisa jadi pacar kamu, tapi saya bisa jadi suami kamu." ***** "Bisa nggak sekali aja setiap ketemu nggak usah bahas soal nikah?!" "Kamu udah janji bakal nikahin aku! Dan kamu tau kan ayahku udah sakit-sakitan. Aku...