13. AYAH DAN KENANGANNYA

309 48 1
                                    

CHAPTER 13

Arfi menarik tangan Rinta untuk menjauh dari perkumpulan keluarga. Keadaan yang temaram, namun Rinta bisa menangkap wajah gundah diwajah suaminya yang terpancar jelas. Sekali lagi ia bertanya. "Ada apa mas?"

Kedua tangan Arfi memegang bahu Rinta, kedua matanya menatap perempuan itu dalam. "Ta, bapak.. Sudah nggak ada."

Rinta terdiam, tatapannya kosong, bingung dan hancur. Saat tubuhnya yang lemas hampir meluruh kelantai, kedua tangan Arfi menahannya, memegang tubuhnya erat.

"Kita pulang sekarang ya. Saya minta izin dulu sama keluarga yang lain. Kamu langsung ke parkiran aja, Ta."

Rinta yang masih syok hanya mengangguk lemah dan melangkah pelan menuju parkiran. Ia mulai menangis di setiap langkah menuju motor. Semua mobil berjajar, hanya ia dan Arfi yang datang dengan motor scopy.

"Ayah..." Rinta mengerang dan menangis semakin histeris. Dada Rinta sampai sesak mengingat kini ayahnya sudah meninggal dunia.

Saat wajahnya sedang menunduk dan menangis. Rinta melihat ada sepasang sepatu yang mendekat kearahnya.

"Bukannya kamu sama mas Arfi tadi kelihatan bahagia dengar aku bakalan nikah sama Alana?"

Tangis Rinta masih terdengar. Namun ia sekalipun tak mengangkat wajah untuk menatap mantan kekasihnya yang sedang menanti jawabannya itu. Rinta terkesan lebih mengabaikannya. Namun kini, sebuah tisu ukuran saku mengarah kedekatnya.

"Ya... ya... kamu pasti gengsi ambilnya kan." Novan tertawa kecil dan kembali menyimpan tisu itu kedalam sakunya.

"Aku emang udah duga kamu bakalan nangis sih abis tau aku sama pacarku bakalan nikah. Tapi diluar dugaan. Kamu nangis segitunya banget." Kini Novan tersenyum lebar sembari menunduk berusaha menatap wajah Rinta. "Masih secinta itu ya kamu sama aku?"

Rinta tak menyahut apapun, ia hanya terus menangis hingga Arfi tak lama tiba dengan keringat bercucuran. Ia mengabaikan keberadaan Novan dan memilih memakai helm ke kepala.

Tawa Novan pecah saat melihat Arfi memakai helm. Ia meledek sang kakak. "Mas Arfi kesini bawa motor? HAHAHAHA! Mobil rongsok kamu itu kemana, mas?"

Arfi menatap Novan dengan tatapan tajam hingga Novan kicep seketika. Wajahnya kini berubah sedikit segan namun bingung melihat kakaknya yang tergesa-gesa.

"Acara belum selesai." Ucap Novan sekali lagi, masih cari perhatian dan tentu saja jawaban.

Arfi mengambil helm Rinta dan memakaikannya pada perempuan yang masih tampak menangis itu. "Calon istri kamu nyariin tuh. Mending kamu kedalam. Bukan disini nemenin istri orang." Arfi berikutnya menstater motor dan melaju pergi tanpa mau melanjutkan cekcoknya dengan Novan semakin panjang.

"Apaan sih mereka."

Melilitkan kedua tangannya ke perut Arfi dengan erat dan menangis sambil menyandarkan sebelah pipinya pada punggung lebar yang terasa hangat baginya bersandar malam ini.

Angin malam terasa amat dingin menusuk, tidak seperti biasanya. Jangan sampai ucapan nenek ditengah acara tadi, yang bilang sepertinya malam ini akan turun hujan, sampai jadi kenyataan.

Sementara kini motor melaju secepat yang Arfi bisa agar mereka tiba dirumah duka dengan cepat. Tak ingin perempuan rapuh diboncengan motornya semakin kedinginan, Arfi memegang punggung tangan Rinta yang melilit kedepan perutnya. Tangan Rinta terasa dingin, Arfi mengelusnya lembut, berharap telapak tangannya yang besar bisa menghangatkan kedua tangan istrinya tersebut.

Kini, tangis Rinta tak terdengar lagi. Namun, bahu kiri Arfi terasa sedikit berat, dari spion motor terlihat Rinta menopang pipi kanannya disana. Tatapan matanya terlihat kosong menatap kearah pantai yang gelap. Namun suara ombak pantai yang riuh, serta bau khas pantai membuat Rinta menarik nafasnya lambat dan teratur.

Pernikahan impianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang