"Gak ada lagi kesempatan buat lo, bahkan meski nanti lo nyesel dan mohon-mohon sambil sujud buat balikan sama dia, gue gak akan biarin itu terjadi."
🥀🥀🥀
Pukul delapan malam. Rama terduduk di teras rumahnya sendirian. Tak peduli meski diterpa angin malam yang begitu menusuk tubuhnya, Rama hanya ingin sekedar menenangkan diri dari perasaannya yang sedang campur aduk.
Kejadian tadi siang terus menghantuinya dengan rasa bersalah. Tak perlu waktu lama untuk menyadari kesalahan yang dia buat, Rama sadar diri jika dia sudah keterlaluan pada dua gadis itu. Terutama pada Alya. Kata-kata yang dia lontarkan tadi terlalu kejam, Alya pasti sangat terluka.
"Maaf ...." Rama berkata lirih. Percuma. Tak ada yang mendengar.
Rama menunduk, memeluk lututnya yang kedinginan. Sebenarnya Rama ingin mengatakan langsung, akan tetapi ia tak berani untuk menampakan wajahnya lagi. Ia takut mendapat ujaran kebencian yang lebih besar nantinya.
Beberapa menit dalam posisi menunduk, tak sadar Rama hanyut dalam tidur. Seseorang datang dan mengusap rambutnya lembut. Rama langsung terbangun, mengangkat kepala untuk melihat bundanya sudah pulang kerja.
"Kamu ngapain di luar. Dingin, nanti masuk angin."
Rama tersenyum. Menggeleng. "Gapapa aku cuma mau duduk di sini sebentar aja. Di rumah gerah."
Mia tahu jika itu hanya alasan Rama saja. Tidak ada istilahnya di rumah gerah ketika ada AC yang selalu menyala di sana. Sebagai seorang ibu Mia jelas tahu kebiasaan putranya yang satu ini, biasanya jika Rama sedang galau atau sedang sedih dia akan duduk di teras seperti saat inu. Karena itulah sekarang Mia lebih memilih untuk ikut duduk menemani putranya, alih-alih beristirahat setelah bekerja keras hari ini.
"Ada apa, Rama?"
Rama menggeleng pelan. "Aku gapapa, bunda masuk aja. Cepet istirahat. Bunda pasti capek, kan?"
Mia menggeleng. "Bunda pengen di sini juga. Gerah," katanya membuat Rama terkekeh pelan.
"Bunda tau kamu lagi galau. Kenapa hm?" Akhirnya Mia menanyakan kecurigaannya.
Sejenak Rama terdiam. Ia tak bisa mengatakan masalahnya ini. Bukan karena tak percaya, hanya saja ... Baru-baru ini Rama memberanikan diri mempertemukan bundanya dengan Alya, bunda jelas terlihat senang, dia menyukai Alya. Rasanya akan keterlaluan jika dia memberitahu tentang masalahnya sekarang, bundanya pasti akan sangat kecewa pada Rama.
"Aku gapapa. Cuma lagi pusing aja sama tugas."
"Kamu bohong, 'kan? Kamu pikir bunda bakal percaya gitu aja."
Ya Rama tahu bunda tak akan tertipu begitu saja. Namun, pikiran Rama sedang buntu untuk mencari alasan yang lebih baik. Alhasil pemuda itu memilih tetap diam. Tak mau menceritakannya dulu.
Mia tersenyum maklum. Mengusap kepala Rama penuh sayang. Paham jika Rama enggan menceritakan gelisah yang dia rasa padanya. "Gapapa kalau gak mau cerita sama bunda. Tapi, kalau bisa jangan tahan gelisah kamu sendirian. Kalau gak mau cerita sama bunda, kamu bisa cerita sama temen kamu, pacar kamu, atau siapa pun yang kamu percayai. Gak enak tau kalau galau sendirian tuh, kamu punya banyak orang yang sayang kamu."
"Iya, maaf, Bun."
"Gapapa, jangan minta maaf. Ayo masuk, diluar makin dingin."
Rama mengangguk. Lantas berdiri. Meski baru saja melewati pintu, Rama tiba-tiba teringat seseorang yang mungkin cocok untuk dia datangi. Kenapa dia tak terpikirkan sejak tadi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Lead (Toxic) ✓
Teen FictionTentang kebodohan Alya. Tentang keegoisan Rama. Dan tentang hubungan setengah hati yang mereka pertahankan. Apa akan hadir kebahagiaan jika mereka terus bersama? Atau pilihan terbaiknya adalah sebuah perpisahan? --- "Aku tau kalo kamu masih cinta sa...