Tak ada kata menyerah. Aku hanya ingin merelakan sebuah harapan yang tak pernah berakhir.
🥀🥀🥀
Cukup lama Rama duduk di bangku depan fakultas kedokteran. Hanya untuk menunggu Alya agar bisa mengajak gadis itu pulang bersama. Sebenarnya sudah seminggu dia melakukan rutinitas itu. Kadang Alya menolak karena berbagai alasan, tapi beberapakali juga dia bersedia pulang bersamanya—dan Rama harap hari ini pun juga akan begitu.
Jika ditanya apa Rama masih berharap bisa berbalikan dengan Alya, jawabannya iya. Walau begitu dia tak mau terang-terangan menunjukannya. Rama tetap berusaha menjadi seorang teman yang bisa diandalkan, tak ingin membuat Alya terbebani. Meski sepertinya terkesan percuma, karena sikapnya itu terkadang terlalu berlebih untuk disebut sebagai 'perhatian' seorang teman.
"Lo lagi nungguin Alya lagi?" Seseorang datang mendekati Rama yang duduk di bangku depan fakultas. Mengalihkan perhatian pemuda yang semula sedang mencabuti rumput yang tumbuh disela-sela paving blok.
Rama melirik dengan sorot malas. Hanya mengangguk tanpa menjawab apa-apa lagi.
"Lo gak capek? Mau sampai kapan lo begini?" Lia, gadis itu bertanya sarkas. Dia kira setelah Rama dan Alya putus, dia akan punya peluang besar untuk bersama Rama. Namun, kenapa sekarang malah Rama yang kelihatan mengejar-ngejar Alya?
"Emang kenapa? Ini bukan urusan lo." Rama menjawab ketus.
Lia berdecak, menatap jengah. "Lo cuma bakal makan hati kalo terus berharap sama dia."
Rama berdiri. Balas menyorot sinis gadis itu. "Gak masalah. Setidaknya gue gak ngerugiin siapa pun," katanya sambil tersenyum miring. Lantas menepuk singkat pundak Lia, kemudian melenggang pergi melewati gadis itu ke arah lobi. Sengaja, karena Alya sudah terlihat mendekat.
Lia menganga kecil saat melihat Rama menyambut Alya dengan wajah sumringah. Gadis itu berdecak, menghentakkan kakinya kesal. Ia menatap keduanya sinis, hingga kemudian Alya membalas tatapannya. Lia segera mengalihkan wajah, beranjak pergi dari sana.
Alya tersenyum samar di tempatnya. Kemudian melirik Rama yang berdiri di sampingnya. "Mau ngajak pulang bareng lagi?"
Rama mengangguk. Alya tersenyum, tapi kemudian dia menggeleng membuat raut wajah Rama menurun.
"Maaf, ya, gak bisa."
"Kenapa?"
"Gue udah ada janji."
"Sama siapa?"
Alya tak langsung menjawab. Tepat saat pertanyaan itu terlontar, sudut mata Alya menangkap keberadaan
seseorang. Ia tersenyum, mengendikkan dagu pelan ke arah sana. "Tuh, orangnya dah dateng."Kepala Rama berputar ke arah yang ditunjuk. Matanya membulat, tak menyangka orang yang dimaksud itu Genta. Tatapannya jadi menyipit sinis, jelas tak menyukai kehadiran pemuda itu.
Genta mendekat, tersenyum lebar pada keduanya. "Halo Ram," sapanya pada Rama, tak dibalas dengan sapaan kembali. Rama hanya mengangguk kecil dengan senyuman kecut.
Ya, Rama cemburu. Kadang dia bertanya-tanya bagaimana bisa Genta jadi lebih dekat dengan Alya daripada dirinya. Padahal mereka sama-sama mantan Alya, tapi kenapa hanya Rama yang begitu kesulitan mendapat posisi bahkan hanya sebagai teman dekat?
Ah, ya Rama lupa jika sudah membuat Alya sakit hati jauh lebih besar daripada yang dilakukan Genta.
"Mau pergi sekarang, Al?" tanya Genta selanjutnya.
Alya mengangguk. Ia menoleh pada Rama untuk pamit, tapi Rama lebih dulu mendahuluinya berucap hal lain. "Mau ke mana?"
Genta menjawab santai, "Jalan-jalan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Lead (Toxic) ✓
Teen FictionTentang kebodohan Alya. Tentang keegoisan Rama. Dan tentang hubungan setengah hati yang mereka pertahankan. Apa akan hadir kebahagiaan jika mereka terus bersama? Atau pilihan terbaiknya adalah sebuah perpisahan? --- "Aku tau kalo kamu masih cinta sa...