05. Minta Restu

144 21 0
                                    

Hari ini Sean pulang dengan lemas, ia sendiri tidak menyadari kata-katanya barusan. Astaga, masalah apa lagi yang timbul akibat mulutnya.

"Nah, sudah ditunggu tiga puluh menit baru pulang!"

Sean yang masih memikirkan kejadian sore tadi langsung mendongak. Itu suara Papanya yang berada di meja makan.

"Makan dulu Sea," kata Mamanya dan Sean hanya mengangguk. Perutnya juga lapar.

"Papa tumben di rumah?" Tanya Sean setelah menyelesaikan makannya.

"Hari ini tidak ada lembur di kantor. Papa juga baru pulang dari Singapore, apa salah jika beristirahat sebentar? Lagian perusahaan juga sudah stabil," balas Andrian dan Sean mengangguk. Ia lupa bakat papanya adalah mengeluh.

"Karena sedang lengkap, boleh aku mengatakan sesuatu?" Tanya Sean dan kedua orang tuanya langsung memperhatikannya.

"Ada sesuatu yang buruk disekolahmu?" Tanya Andrian dan Sean menggeleng.

"Sebenarnya... aku ingin menikah."

Ucapan Sean sukses membuat kedua orang tuanya terdiam hingga kesunyian tercipta dimeja makan ini beberapa saat.

"Ha? Menikah?" Akhirnya Eris lah yang menciptakan suara terlebih dahulu.

"Iya Ma, hari ini aku bertemu dengan seorang wanita yang hendak bunuh diri karena stres. Saat itu juga, aku menyukainya."

Andrian dan Eris tidak tahu bagaimana putranya ini dapat berfikir seperti itu. Hanya baru bertemu sekali, itupun dengan orang yang sedang stres.

"Sean, kamu sedang bercanda ya," kata Andrian namun putranya itu memasang ekspresi serius.

"Aku sungguh-sungguh Pa, Ma. Tolong besok temani aku melamar gadis itu," kata Sean membuat Andrian dan Eris menatapnya tidak percaya.

"Insiden?" Tanya Andrian dan Sean mengangguk.

"Kamu memperkosa anak orang Sean?" Tanya Eris lebih tidak percaya, bahkan ia terlihat memegangi dadanya.

"Tidak Ma, oke aku jujur pada kalian. Dia sedang hamil, maka dari itu ia ingin bunuh diri. Namun, bukan aku yang melakukannya."

Sean menjelaskan semua dengan cepat, ia adalah orang yang tidak suka basa-basi. Tata bahasanya kaku, jujur walau itu menyakitkan.

"Kamu ingin bertanggung jawab atas tindakan yang bukan kamu lakukan? Itu berarti perempuan dan keluarganya menjebak kamu Sean," kata Andrian menatap serius putranya.

"Apakah salah Pa? Apa aku salah jika menikahinya. Papa dan Mama dulu juga begitu bukan? Lihat, kalian sangat harmonis dan Papa sangat mencintai Mama. Kenapa Sean tidak?" Tanya Sean membuat Andrian terdiam.

"Tapi Mama mu tidak hamil–"

"Stop!" Eris akhirnya mengakhiri debat antara ayah dan putra tersebut.

"Sean, kamu yakin? Dia mencintaimu?" Tanya Eris serius.

"Yakin Ma, aku tidak tahu dia mencintaiku atau tidak. Tapi cinta dapat timbul kapan saja," kata Sean kemudian berdiri dan meninggalkan meja makan.

"SEAN! PEMBAHASAN KITA BELUM SELESAI!" Marah Andrian namun tidak mendapat jawaban dari putra satu-satunya itu.

"Mas, biarkan Sean memilih kehidupannya," kata Eris membuat Andrian menatapnya.

Tatapan datarnya kini telah berubah menjadi tatapan khawatir saat menatap istrinya.

"Sayang, dia itu masih sekolah. Jika aku menikahi kau dulu, aku sudah mempunyai segalanya."

Eris tersenyum melihat kekhawatiran suaminya. Eris tahu, Andrian tidak khawatir dengan siapa Sean memilih pasangan hidupnya. Tetapi, Sean saat ini adalah seorang remaja serta fikirannya juga mungkin masih labil.

Sean AlgarelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang