12. Rumit

115 27 7
                                    

"Akhirnya balik juga, sampai karatan gue nunggunya."

Sean menoleh ke sumber suara saat mendengar suara perempuan. Dia Derisa, yang masih setia menunggu bahkan setelah bel panjang berbunyi cukup lama.

Setelah mengatakan hal tersebut Derisa hanya diam melihati sepupunya itu. Entah kenapa Derisa merasakan sesuatu lain dari sepupunya yang tidak biasa.

Tatapan Sean menjadi lebih datar dan tajam. Apa Sean sedang marah? Derisa sedikit bergidik ngeri melihat ekspresi Sean saat ini.

"Eh, Sean! Bibir lo berdarah ya!" Kata Derisa spontan saat melihat bibir Sean yang memerah akibat robekan.

Sean duduk dibangkunya dan langsung menyenderkan tubuhnya kesadaran. Sepertinya remaja itu benar-benar tidak baik.

"Gerald?" Tanya Derisa ragu-ragu.

"Gue gak mau denger namanya," balas Sean datar membuat Derisa langsung diam.

Beberapa saat keheningan terjadi di kelas yang sepi tersebut. Baik Derisa maupun Sean sama-sama tidak berbicara atau beranjak dari tempatnya.

"Hah! Andai bunuh orang tidak dosa."

Derisa menoleh mendengar ucapan Sean. Apa semarah itu pemuda ini kepada Gerald.

"Sea..." panggil Derisa pelan.

"Ris, gimana sih cara nyadarin orang gila?"

"Sean... ini semua juga berawal dari lo yang nerima—"

BRAK!!!!

Suara meja terdorong hingga menimbulkan bunyi nyaring saat bertabrakan dengan meja lain.

Derisa langsung terdiam, ia takut. Belum pernah melihat Sean semarah ini. Saat ini Derisa yakin bukan hanya masalah Gerald yang memenuhi otak remaja itu.

"Sorry Ris buat lo kaget," guman Sean yang masih tertunduk setelah kakinya menendang mejanya.

"Sea, gue gak tau masalah lo apa saja. Tapi, percaya sama gue semuanya akan dapat dilewati. Tidak ada badai yang hanya bergerak disatu tempat," kata Derisa menatap Sean dengan ragu.

Remaja itu hanya diam, Derisa khawatir kepada Sean. Kenapa saat ini Sean seolah menjadi misterius untuknya. Biasanya remaja itu terbuka padanya.

"Gue capek Ris," guman Sean  membuat Derisa menoleh.

"Semua masalah itu disebabkan oleh diri gue sendiri. Siapa sih yang ngutuk gue," guman Sean yang masih menunduk.

"Sea..."

"Gue mau normal! Gue gak mau dikejar cowok gay! Gue mau nikah karena cinta bukan ngindari cowok gay sialan! Gue mau keluarga yang normal! Gue gak mau jadi Algarel! Gue mau interaksi keluarga yang normal bukan saling tegang! Susah banget SHIT!"

Derisa diam melihat Sean, remaja itu dalam kondisi terburuknya. Pasti beberapa hari ini terjadi hal yang buruk kepadanya.

"Kalau bisa! Gue mau lahir dikeluarga sederhana. Gue juga gak mau punya otak yang jenius! Gue gak mau jadi cowok yang hebat dan punya segalanya! Kenapa Tuhan gak adil!"

"Sean!" Bentak Derisa saat Sean mulai menarik nama Tuhan. Derisa tidak suka kepada orang yang tidak dapat menerima anugrahNya. Seharusnya Sean bersyukur memiliki segalanya.

"Sean, lo harusnya bersyukur memiliki semuanya. Lo tau, masih banyak orang yang mau salah satu kelebihan lo."

"Lo tau apa tentang kehidupan gue Ris?" Tanya Sean menatap Derisa dengan wajah datarnya.

Derisa kaget, ia tidak pernah melihat Sean berekspresi seperti ini. Kenapa saat ini ia merasa takut? Kenapa seolah ia tidak dapat melawan semua tekanan Sean? Bahkan saat ini tubuhnya bergetar saat menatap mata Sean. Derisa lebih memilih untuk menunduk.

Sean AlgarelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang