08. Nikah?

158 25 0
                                    

Setelah mamanya keluar. Sean segera meraih ponselnya. Ia mencari satu nomor dan segera memanggilnya.

"Halo?"

"Sean? Ada apa?"

"Aku menganggu, kamu sibuk?" Tanya Sean khawatir.

"Tidak, aku baru selesai mandi. Ada apa?"

"Maaf, harusnya kita bicarakan ini kemarin Az. Sebelumnya aku ingin meminta maaf. Aku memaksamu untuk menikah, aku yang egois."

"Semuanya sudah terjadi Sean."

Sean menutup matanya, ia tidak tahu harus mendeskripsikan apa jawaban dari Azora barusan.

"Maaf."

"Sean, aku tidak tahu motif kamu menikahiku. Jika karena cinta seperti yang kamu bilang, aku tidak dapat melihatnya, itu terlalu dini. Tapi, aku bersyukur saat ini. Tolong jangan katakan maaf, akulah orang yang membuatmu terjebak dalam situasi ini. Harusnya aku yang meminta maaf."

Sean tersenyum, Azora memanglah wanita yang memiliki wawasan lebih luas. Mungkin karena usianya yang lebih dewasa dari pada Sean sendiri.

"Terima kasih telah mengerti calon dokter."

"Apasih kamu Sean, aku masih belum lulus. Lagian psikolog bukan dokter umum."

"Iya maka dari itu aku bilang calon, bukan dokter umum sih. Tapi calon dokter jiwanya Sean."

"Sean! Ini bukan saatnya gombal! Sudah aku harus bersiap!"

Sean tersenyum sebelum sambungan telepon terputus. Kapan Sean pernah menggombali seorang perempuan? Tidak pernah ia rasa.

Tetapi barusan, serasa spontan keluar dari mulutnya. Dan... anehnya Sean tersenyum sendiri membayangkan wajah Azora yang mungkin tengah bersemu.

"Kamu salah Az, aku sepertinya benar-benar jatuh kedalam pesonamu." Guman Sean yang masih membayangkan wajah Azora saat ini.

"Perbuncinan dimulai?"

Senyum Sean langsung luntur saat mendengar suara tak asing. Siapa lagi pemilik suara itu jika bukan Papanya.

"Perusak suasana," guman Sean dan membuang mukanya. Jujur, ia masih tidak siap jika harus bicara berdua dengan Andrian.

"Papa ingin bicara serius," ucap Andrian dengan santai duduk dimeja belajar Sean.

Sean masih berdiri ditempatnya, ia sadar diri ini semua milik Andrian. Sedangkan ia? Hanya anak yang menumpang bukan? Walau dirumah kedua orang tua kandungnya.

"Setelah acara siang nanti, jangan kamu menginjak kembali rumah ini sebelum Papa memanggil. Hindari kontak dengan keluarga Algarel. Nama belakangmu sudah tidak dapat kamu andalkan. Kemasi barangmu."

Sean mengepalkan tangannya mendengar ucapan Andrian. Walau baru saja menyesal pada papanya, tapi rasanya saat ini ia ingin kembali memaki Papanya.

"Mau marah atau tidak itu sudah keputusanmu. Papa sudah memberikan penawaran bukan?"

Sean menghela nafasnya, mencoba membuang emosinya bersamaan dengan helaan nafas. Ia berjalan keadah lemari dan mencari tas jinjing yang sudah ia siapkan semenjak kemarin.

"Kamu tidak akan kehilangan ini kalau menuruti ucapan Papa. Untuk apa kamu menikahi wanita pelacur itu."

Sean menghentikan aksinya mengemasi barang. Ia menolehkan kepalanya menatap Papanya dengan tatapan tajam. Yang Sean lihat saat ini hanyalah seringaian Andrian.

"Ada yang salah? Sadar ataupun tidak. Mana ada wanita baik-baik menuju bar—"

"Tuan Andrian! Saya peringatkan anda jika terus saja mengatakan hal buruk tentang calon istri saya."

Sean AlgarelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang