• luka lama •

313 63 10
                                    

Setelah mendung mendominasi cukup lama--entah berapa jam karena tidak ada jam dalam bentuk apa pun di sini, matahari mulai menampakkan wujudnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah mendung mendominasi cukup lama--entah berapa jam karena tidak ada jam dalam bentuk apa pun di sini, matahari mulai menampakkan wujudnya. Winnie tersenyum beratapkan langit sambil mendongak, menikmati hawa hangat yang memulihkan suhu tubuhnya yang tak karuan akibat mandi hujan. Sesekali ia merapikan dress putih-nya (lagi) saat diterpa semilir angin. Gerak maju-mundur pada ayunan membuat bagian rendanya menari-nari.

Menunggu Peter tidaklah buruk, pikirnya beberapa waktu lalu. Lelaki itu mengatakan harus membersihkan diri dan berdandan selayak mungkin agar pantas mengajaknya ke mana-mana. Berlebihan, memang, tetapi Winnie tidak keberatan sama sekali. Ia hanya mengiakan, lalu menanti di halaman rumah singgah. Berulang kali ia menatap pintu, berharap segera mendapati sosok baru Peter--di luar kaus atau jas hitamnya. Sayang, sudah tiga lagu dinyanyikan, lelaki itu tak kunjung datang.

Winnie termenung sendirian. Tempat ini jauh lebih sunyi dari hari sebelumnya--saat ia tiba. Mungkin karena masih pagi, entahlah, Winnie hanya memilih menikmati keheningan sambil memegang tali ayunan erat-erat. Meski sempat mendengkus dan berdecak, ia tetap bersabar dan tak berniat masuk untuk mengecek situasi. Selain enggan bertemu Tere--yang entah sejak kapan menjadi ketakutannya, ia tidak ingin Peter merasa terburu-buru atas ulahnya.

Namun, hasrat itu lantas luntur ketika sekumpulan anak laki-laki berbondong-bondong mendekatinya. Winnie yang semula tidak ingin memanggil Peter seketika ingin berteriak sekeras-kerasnya. Gadis itu makin panik saat lidahnya tak bisa diajak kerja sama. Ia pun bergeming. Hal yang Winnie lakukan hanya mundur sekilas, berniat menjauh dan memalingkan pandangan. Akan tetapi, itu semua tak membuatnya bebas dan justru makin tersudutkan.

"Hai, Kak Winnie."

"Hai, Kak."

"Kakak Cantik!"

"Halo, Putri."

"Hai, Kakak Putri yang Cantik!"

Panggilan dan tatapan antusias itu makin dekat dengan Winnie. Ia bisa melihat dan mendengarnya dengan jelas. Senyuman manis yang ditunjukkan anak-anak di depannya itu belum turun sama sekali, meski ia sudah mundur hingga menabrak pagar pembatas halaman. Genggamannya pada rerumputan pun menguat, mencoba menyalurkan getaran tubuh yang mendatangkan keringat dingin. Namun, tidak ada yang berubah. Dengungan dalam telinganya justru kian menjadi-jadi hingga ia tak kuat lagi.

"Pergi!!" teriak Winnie sambil menutup telinganya.

Jangan mencariku lagi! Aku nggak salah!

Dia yang melecehkanku. Dia yang biadab. Kenapa justru namaku yang terpampang di mana-mana?

Bukannya aku yang korban di sini? Kenapa bukan dia yang merasakan sangsi sosialnya?

"Tolong, pergi dari sini …."

Bayangan para wartawan ketika mewawancarainya sontak mengambil alih alam pikirnya. Situasi sekarang seolah dilempar ke beberapa minggu lalu, saat orang-orang lebih menyorotnya hanya karena 'pendatang baru'. Label 'penggoda' dan semacamnya lantas disematkan, membuat titik fokus kasus bergeser dan tenggelam begitu saja. Winnie tidak terima. Ia terus berteriak dan meringkuk memeluk tubuh.

Finding Unknownland ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang