Sepeda Peter telah berjuang dengan baik. Setelah bertempur dengan bebatuan terjal, mereka sampai di area danau yang tampak dari kejauhan. Semilir angin yang membawa kesejukan sontak membuat Winnie--yang duduk di sadel belakang--memejamkan mata dan sedikit mendongak, menikmati udara segar yang tidak didapatnya di ibu kota. Peter pun tersenyum, melihat itu cukup menenangkannya. Sedikit memudarkan kekesalan yang terjadi sebelum kemari.
Sesudah turun, lelaki yang mengenakan kaus hitam polos itu tetap berjaga agar sepedanya tidak oleng, terlebih saat ini Winnie masih terpejam. Ia kemudian beralih ke belakang Winnie dan menutup mata gadis itu. Peter benar-benar makin antusias saat Winnie menanyakan berbagai hal dengan nada menyebalkan--juga menggemaskan di sisi lain. Ia mencoba tak memedulikan ocehan itu dan menuntun Winnie untuk terus berjalan lurus sampai menuju tepi danau.
"Peter, apaan, sih? Kan tadi udah sempat liat."
"Kamu akan tau sendiri nanti."
Peter mengarahkan Winnie agar menghindari batu dan ranting kecil yang berserakan. Gadis itu terus mengeluhkan hal yang sama dan Peter tak henti tertawa. Ia lantas menghentikan langkah Winnie dan sedikit menekan pundaknya sebagai isyarat untuk duduk. Gadis yang mengenakan pita bermotif bunga--pemberian Tere--itu menurut dan duduk bersimpuh.
"Udah siap?"
"Pakai nanya. Cepetan, buka!"
Lagi-lagi Peter terkekeh. Ia lantas menurunkan tangannya dan mempersilakan Winnie menikmati pemandangan di depannya. Gadis itu sontak tak berkutik dan hanya ternganga. Ia bahkan refleks berdiri seraya menutup mulut. Peter yang semula juga duduk lekas mengikuti ke mana Winnie melangkah.
Dengan cuaca apa pun, danau tak berperahu tetap memancarkan aura jingga yang berasal dari pepohonan di sekitarnya. Refleksi daun-daun kering seolah mengalir dan menari di atas air. Luasnya yang tak seberapa--jika dibandingkan danau alami yang lain--justru membuatnya unik karena bisa menembus sisi seberang, tanpa repot-repot berenang susah payah. Meski tetap susah, setidaknya tidak sepayah itu karena jarak yang cukup dekat.
"Cantik banget," ucap Winnie terkagum-kagum. Ia sampai membuka telapak tangannya untuk menerima dedaunan yang jatuh.
"Kamu juga sama cantiknya."
Winnie tersenyum tipis. "Nggak usah bohong. Mungkin dulu iya, kalau sekarang …."
"Makin cantik."
"Dengan kantung mata hitam, bibir kebiruan, kulit pucat, dan tubuh kurus seperti ini?"
"Kamu tetap cantik, Winnie." Peter mengucapkannya tanpa bergetar sedikit pun.
"Terima kasih."
Hening yang menyertai mereka membuat tak sepatah kata pun berani terucapkan. Peter membiarkan Winnie bermain-main di tepi danau, masih menangkap daun dan ranting yang terbawa angin. Sesekali ia menoleh ke sisi kanan, mencari sosok yang seharusnya telah membawa pesanannya. Ia mendengkus, mengentak-entakkan kaki dan menghitung detik. Cukup lama, batinnya tak menduga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Finding Unknownland ✔
Romance[Fairytale Series #1] "Semua anak akan tumbuh dewasa, kecuali aku. Kata dokter, jantungku akan berhenti berdetak di usia 20 tahun." Peter memutuskan membawa Winnie, gadis viral yang ia temui di atap rumah sakit ke Unknownland. Di sana mereka bertemu...