• rumah pohon •

187 40 6
                                    

Winnie memainkan renda dress-nya sambil menatap ke bawah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Winnie memainkan renda dress-nya sambil menatap ke bawah. Setelah terdiam di jembatan hingga rintik hujan menjaili bumi, mereka berteduh di rumah pohon yang tak seberapa tinggi dan mudah dipanjat--juga cukup dekat dari sana. Kata Peter, hunian itu sudah ada sejak kali pertama ia menemukannya. Entah kapan dibangun dan siapa pembangunnya, tidak ada yang tahu. Setidaknya, mereka bisa terhindar dari air yang datang berbondong-bondong, meski kedatangannya hanya singgah sebentar lalu pergi lagi.

Dibanding menyambut terik matahari di atas kepala, Winnie bertahan di rumah pohon sendirian. Toh, ia masih mendengar percakapan Tere dan Peter karena jarak mereka tidaklah jauh. Sungguh, ia tak berniat menguping atau ingin tahu. Namun, ia tidak dapat menahan diri untuk memperhatikan permainan klasik dua sahabat kecil itu.

Senyum Peter tidak pernah luntur saat Tere memainkan ekspresinya. Walau berkali-kali dipukul pelan--karena tingkahnya yang kelewatan, lelaki itu tetap terbahak-bahak. Sesekali ia membalas Tere dengan melempar sekian kerikil yang ada di sekitar kaki, lalu membiarkan gadis itu mengejarnya hingga mengelilingi pohon. Winnie sempat tak berkedip ketika melihatnya.

"Di sini, aku nggak diterima juga, ya?" monolognya seraya memeluk lutut.

Kalimat Tere cukup membuat pikirannya berlarian ke mana-mana. Memang sudah berhari-hari ia di tempat ini, tetapi belum sedikit pun terlintas untuk kembali. Bukan karena belum puas atau masih ingin menghabiskan waktu dengan Peter, atau Tere, atau bahkan anak-anak abadi, melainkan belum siap menghadapi dunia lama yang masih sama.

Seharusnya, kabar tentangnya sudah mereda. Tidak ada orang yang mau terpaku dengan satu isu sampai berlarut-larut. Namun, bukan berarti ia tidak mendapat label yang menyakitkan saat pulang. Tidak dapat dipungkiri, Winnie lebih suka lari seperti ini.

"Sebenernya apa maumu, sih, Win?"

Winnie menjambak rambutnya sendiri. Lelah akan perbedaan pemikiran yang berkelahi dalam hati. Ia tidak bodoh. Perkataan Peter sejak di rumah sakit hingga di halaman rumah singgah kemarin tetap masuk ke telinganya, apalagi perkataan Tere yang baru saja mampir. Akan tetapi, ia masih ingin menolak semuanya dan membela diri dengan kata 'belum siap'.

"Cukup, cukup. Jangan lari-lari lagi. Aku nggak mau buang-buang uang buat beli obatmu."

Lamunan Winnie teralihkan saat suara Tere terdengar jelas dari atas. Ia lekas melongok ke bawah dan benar saja, mereka berdua sedang bersandar pada pohon sambil mengatur napas. Ingin lebih dekat--tetapi tidak ingin turun dan mengganggu, Winnie berbaring miring. Ia meringkuk dan menjadikan kedua punggung tangan sebagai bantal.

"Gimana tempat ini?" Peter bertanya dengan terbata-bata.

"Bagus. Kapan-kapan kita ke sini lagi buat pasang ring basket. Boleh?"

"Emang bisa?"

"Ada tangga di belakang rumah."

"Ringnya?"

Finding Unknownland ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang