Suasana berkabung tidak berlangsung lama. Tangis yang niatnya berlarut-larut nyatanya terusik berkat lelaki paruh baya yang terlihat dari utara. Kali ini di tangannya memegang pena dan secarik kertas, bukan parang seperti biasa--saat ditemui di hutan. Pakaiannya pun formal, seakan baru saja bepergian dan menyempatkan diri untuk mampir. Namun, Peter belum siap menerima itu dan buru-buru menarik tangan Tere.
"Sembunyikan Winnie. Cepat!"
Tere mengangguk. Ia bergegas ke belakang, mencari gadis yang mengupas buah-buahan untuk beberapa anak abadi. Sejak pulang dari pemakaman, ia menghabiskan waktu menghibur para bocah yang berduka itu. Sayangnya, belum ada satu pun yang berhasil hingga ia terjebak di sana.
Ketemu, Tere langsung menepuk pundak Winnie dan merebut pisau yang dipegangnya. Ia kemudian menyimpannya di rak makanan paling atas, lalu mengajak Winnie enyah dari dapur. Gadis yang kini memakai dress hitam berenda itu lekas celingak-celinguk dan menenteng roknya saat Tere menarik paksa, lalu membawanya menaiki lantai dua. Ia makin kebingungan saat tiba-tiba didorong masuk ke lemari dan dikunci begitu saja.
"Te--"
"Jangan teriak. Peter dalam masalah. Sebisa mungkin buat dirimu nggak ada di rumah ini."
"Harus banget kayak gini?" Winnie mendengkus dan memutar bola matanya. Dikurung di tempat gelap dan sesak seperti ini tidaklah menarik baginya.
"Aku mohon diamlah." Tere memperbesar lubang yang ada di dekat kenop menggunakan penjepit rambutnya. "Aku atau Peter akan ke sini lagi nanti."
Tere mempercepat langkahnya menuju dapur, memakai jalan pintas yang tak mengharuskannya melewati ruang tamu. Ia kemudian membawa dua gelas air putih di atas nampan dan menyuguhkannya di hadapan Peter, juga Paman Hans. Gadis itu mengembuskan napas panjang, tersenyum senatural mungkin, lalu duduk di samping Peter yang telah menguasai getaran tubuhnya.
"Ada perlu apa, Paman?"
Peter menoleh dan menepuk paha Tere. Gadis itu lekas terkesiap, takut salah berbicara. Namun, sahabat kecilnya itu menggeleng kecil seolah yang dibahas bukan suatu hal besar. Mengingat tidak tahu apa-apa, Tere hanya memandangi Peter dan Paman Hans bergantian, lalu menyilangkan kakinya anggun.
"Paman hanya menyampaikan dukanya," ucap Peter.
"Oh, begitu. Terima kasih, Paman."
Lelaki berkumis tipis yang menyalakan rokoknya itu mengangguk. "Jadi siapa yang kalian antar tadi?"
"Nomor dua, Paman."
"Em, yang ketularan penyakit orang tuanya itu?"
Pahit, Peter mengangguk. Ia menunduk, mengingat luka asing yang timbul di beberapa area tubuh anak kecil itu hingga harus diasingkan. Makin hari, tanpa melakukan apa pun, anak yang sudah lama berada di rumah singgah itu amat tersiksa. Baik Tere maupun Peter sama-sama lega dapat melihatnya terbebas dari rasa sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Finding Unknownland ✔
Romance[Fairytale Series #1] "Semua anak akan tumbuh dewasa, kecuali aku. Kata dokter, jantungku akan berhenti berdetak di usia 20 tahun." Peter memutuskan membawa Winnie, gadis viral yang ia temui di atap rumah sakit ke Unknownland. Di sana mereka bertemu...