• titik balik •

383 40 10
                                    

Malam yang telah larut mengizinkan Peter dan dua gadis di kiri-kanannya menyusuri hutan tanpa harus berlari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam yang telah larut mengizinkan Peter dan dua gadis di kiri-kanannya menyusuri hutan tanpa harus berlari. Jalur lurus menuju gapura terlihat aman. Setibanya di sana, mereka dapat bernapas lega dan lekas bersantai di hamparan rerumputan barang sejenak. Tere tetap berjaga saat Peter dan Winnie merebahkan tubuh mereka. Ia memilih berdiri dan mengedarkan pandangan ke belakang, tidak ingin lengah walau hanya sedetik.

Tanpa jam, tidak ada yang tahu pasti tentang waktu saat ini. Namun, melihat sepinya lalu-lalang kendaraan menuju hutan seberang, bisa dipastikan kalau dini hari belum datang. Tentu Peter belum bisa tenang, mengingat akses utama menuju sini tidaklah rusak. Paman Hans bisa saja menemukan mereka lagi. Namun, setidaknya ia bisa leluasa berpikir saat ada Tere. Sahabatnya sudah dianggap putri sendiri oleh mantan dokter yang cukup berbakat itu. Selalu ada peluang untuk dibiarkan begitu saja, seperti saat ia tiba-tiba dibawa ke rumah singgah.

"Tere," panggil Winnie pelan.

Sang empunya nama itu lekas menoleh dan mendapati Peter sudah memejamkan matanya. Ia lantas mendekati Winnie dan tersenyum tipis, menjawab panggilan yang sepertinya memiliki maksud tertentu. Dua gadis itu untuk kali pertama menikmati waktu empat mata yang cukup lama.

"Aku belum berterima kasih secara benar ke kamu."

"Nggak perlu seformal itu. Aku melakukannya karena Peter." Tere berusaha jujur. "Maaf kalau selama ini terlalu kasar padamu."

Winnie menggeleng. "Nggak sama sekali, kok. Aku bersyukur bisa bertemu orang-orang seperti kalian. Kalau boleh, aku pengin kita tetap bersilaturahmi kayak gini. Tapi, kayaknya nggak bisa, ya?"

Tere tak segera menjawab. Ia menoleh ke arah Peter, lalu duduk bersila menghadapnya. Winnie pun melakukan hal yang sama seraya merapikan renda dress-nya. Tanpa diduga, pemandangan dada yang naik-turun secara teratur menjadi objek menarik yang mereka amati saat ini. Keduanya hanyut dalam hening sampai akhirnya Tere menepuk pergelangan tangan Winnie. Gadis di sampingnya itu tersentak dan bergeming, saat ia memakaikan gelang dari anyaman ranting--yang diawetkan--padanya.

"Kami sering ke kota, kok, Win. Membeli kebutuhan sehari-hari, seperti persediaan makanan dan obat-obatan. Peter juga masih harus ke rumah sakit. Itulah kenapa kalian bisa bertemu dulu. Tapi, emang harapanku kita nggak akan bertemu lagi setelah ini. Bukan karena nggak mau, tapi akan lebih mudah ke depannya kalau kita balik ke kehidupan masing-masing. Ngelupain sesuatu yang masih sering dijumpai pasti nggak gampang, kan?"

"I-iya, aku paham maksudmu."

Tere tersenyum, lalu berdiri sambil menekan pundak Winnie. Ia kemudian berjalan menuju Peter dan membangunkan sahabatnya itu saat melihat sorot lampu mobil dari kejauhan. Mereka berbondong-bondong melambaikan tangan, berniat menghentikan laju kendaraan tersebut dan meminta izin menumpang hingga ke kota.

"Eh, si Mamang lagi," ucap Peter berbasa-basi dengan raut wajah separuh sadar.

"Tumben pagi sekali berangkatnya?"

Finding Unknownland ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang