• cerita senja •

216 40 4
                                    

Peter merelakan tangan kanannya untuk dijadikan sebagai bantal Winnie

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Peter merelakan tangan kanannya untuk dijadikan sebagai bantal Winnie. Keram yang mulai terasa terus diabaikan agar gadis itu tetap nyaman di dekatnya, padahal Ilalang yang menusuk punggung turut menyumbang rasa nyeri yang mengganggu. Namun, ia tahan sedemikian rupa karena Winnie pasti merasakan hal yang sama--ia tidak boleh merengek di depan seorang gadis.

"Aku merasa karierku udah mati."

Kalimat pertama yang Winnie katakan setelah memejamkan mata cukup lama membuat Peter menajamkan pendengaran. Ia tak berkutik, tak mengusik, apalagi menengahi cerita yang belum selesai. Sedikit melirik ke arah Winnie saja tak ia lakukan. Peter hanya menatap langit yang sedikit terhalang ilalang.

"Aku emang dipaksa terjun ke dunia ini, tapi sekarang satu-satunya yang kubisa hanya akting. Aku telanjur nyaman dan impianku di sini. Tapi karena masalah itu, rasanya aku harus memulai lagi dari nol. Bedanya, dulu image-ku masih bersih dan semua bisa ditata dengan mudah. Sekarang? Siapa yang mau membuka jalan untukku, Pete? Ibu aja capek dan terus menyalahkan aduanku yang katanya nggak masuk akal."

Helaan napas Winnie tak setegar getaran suaranya. Meski tidak terbata dan belum ada isakan, gadis itu sering berhenti untuk menarik napas dalam-dalam. Peter lantas meraih tangan Winnie--menggunakan tangan yang tidak dijadikan bantal--dan menggenggamnya erat. Ia hanya ingin menguat tanpa menyela dan bertanya.

"Aku udah berusaha hidup setelah kejadian kemarin, tapi yang kudapat cuma cacian dan cacian. Temanku di sekolah, tetangga di rumah, rekan di agensi, bahkan warga internet kompak menghinaku ini-itu."

Peter menoleh dan menatap Winnie yang mulai menitikkan air mata. Ia memiringkan tubuh dan makin mengeratkan genggamannya. Rona manis pada gadis itu perlahan memudar, berganti aura yang tak asing, persis seperti saat kali pertama bertemu di atap rumah sakit. Perlahan ia mengusap-usap punggung tangan Winnie menggunakan ibu jari, berharap dapat menenangkan.

"Wartawan mulai mencari dan mengikutiku ke mana-mana. Terlebih setelah lelaki yang melecehkanku itu dipanggil pengadilan. Aku mulai capek dan susah tidur. Tiap malam Ibu harus beli dan ngasih obat biar aku tenang. Lama-lama aku merasa gila dan berpikir kalau mati kayaknya lebih baik. Kamu nggak mikir gitu, Pete? Coba jadi aku."

Peter mengembuskan napas panjang dan tersenyum tipis. "Kalau kamu mati, kamu kalah, Win."

"Dari apa?"

"Semuanya, termasuk lelaki itu, juga ibumu."

"Apa salahnya kalah kalau emang itu yang terbaik, yang bisa melepaskanku dari ini semua?" Winnie sontak menghadap Peter dan menatap lelaki itu tanpa berkedip.

"Salah, Win. Seenggaknya kamu menang dulu sebelum meninggalkan dunia ini. Apa gunanya kabur kalau orang yang mematahkan kakimu masih bisa berlari? Dia yang makin merasakan enaknya dan kamu nggak dapat apa-apa."

"Nggak masalah, selama aku bisa waras lagi."

Peter berdecak dan melepaskan tangan Winnie. Ia beralih menyentuh lengan gadis itu dan menekan kuat. "Kewarasanmu juga bisa kembali dengan mematahkan kakinya, Win."

Finding Unknownland ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang