02

5.6K 322 38
                                    

Citra menyeka telapak tangannya yang lembab ke lap tangan selesai mencuci piring. Melirik ke ruang tengah lewat dapur itu. Menemukan orang tuanya bersantai menonton televisi usai makan malam bersama. Kehangatan keluarga kecil seperti ini yang Citra damba-dambakan. Pernikahan orang tuanya sendirilah yang membuat Citra menjadi mematokkan minimal pria siapapun itu harus memiliki sifat dan watak yang mirip dengan bapaknya. Karena Citra yakin benar bila kadar cinta seorang pria jauh lebih besar dibandingkan perempuannya maka percayalah bahwa cinta itu bisa awet dan romantis. Itulah yang Citra dapatkan dari keluarganya. Tak sekalipun Citra mendengar ibu dan bapaknya bertengkar, pun tak sekalipun pernah bapaknya bicara lantang dan wajah yang seram di depan Citra. Tidak pernah.

Lantas, Citra yang melihat itu segera menyelesaikan kegiatannya sedang mencuci piring. Ingin membahas rencana pacarnya yang ingin datang mempersuntingnya pada mereka karena ini betul-betul membebani pikiran Citra. Menurut orang tuanya bagaimana langkah yang harus Citra tentukan sekarang.

"Pak. Bu."

"Hah?"

Citra mendudukkan bokong di sofa tunggal ketika ibunya sudah menyahuti. Kebiasaan Citra kalau ia menyapa harus disahuti balik, kalau tidak alamat besok-besok tidak mau diajak bicara lagi.

"Tadi siang Mas Aga kan dateng—"

Baru saja ingin bercerita, tetapi bapaknya sudah memotong.

"Bukannya setiap hari dateng? Udah nyaman dia Bu padahal belum ngiket anak kita."

Maka sang istri hanya beradu pandang lalu tertawa kecil menanggapi ucapan suaminya itu.

Sebab Aga memang hampir setiap hari mampir di kediaman Kuncoro jika sudah pulang dari sawah atau kebun, entah itu untuk makan siang ataupun sekedar numpang duduk untuk merokok.

"Nah makanya itu lho ini Citra mau bahas soal rencana Mas Aga yang mau lamar Citra. Gimana?" tanya Citra.

Seketika Kun dan Resti menegakkan punggung. Memfokuskan perhatian untuk anak satu-satunya mereka.

"Serius?" tanya Kuncoro.

"Coba ceritain dari awal, Neng," pinta Resti.

"Gini Pak, Bu, memang sih Mas Aga udah sering tuh kalo ngobrol pasti arahnya ke pembahasan pernikahan melulu. Citra yo jawabnya selalu cuek dan nggak terlalu ambil pusing. Tapi tadi siang pas Mas Aga dateng tuh beda, kayak serius banget kalo memang beneran mau lamar Citra, kalau biasanya kan iya deh nanti-nanti pun gak papa nunggu sampai Citra siap. Sementara tadi Mas Aga bilang kalau disuruh ikut ke rumahnya buat ketemu ibunya kan sama mas-masnya yang dari Jakarta mau datang ke Jogja. Citra mau dikenalin ke mereka semua. Berarti kan udah makin serius kan Mas Aga dalam hubungan kami? Tapi Citranya nih sekarang yang belum siap. Itu masalahnya, Citra tadi nolak," ucap Citra panjang lebar.

"Heh kok ditolak ada yang mau ngajak nikah! Pamali, Citra!" tegur Kuncoro.

Putrinya menggaruk tengkuknya gugup.

"Iya nih ada-ada aja pake ditolak pula. Jadi gimana Aga marah kah karena kamu tolak?" tanya Resti lagi.

Citra menggeleng, "Mas Aga bilang Citra dikasih waktu buat ambil keputusan, pikir dengan matang, tapi tetep ya hari Minggu mau diajakin ke rumahnya."

"Ya udah Citra nanti malem sholat sunah, doa yang khusyuk, minta petunjuk sama Allah agar kamu diberikan kemantapan pilihan yang baik, to Bapak sama Ibu juga udah ridho kalo kamu menikah," pinta ayahnya.

"Citra tuh banyak ketakutan yang tersimpan di dalam dada Citra, Pak, Bu. Takut banget rasanya gitu nikah sama Mas Aga," kata Citra.

Maka pasutri itu kompak mengernyit heran.

"Aga tuh perasaan tampan deh, kenapa kamu harus takut, Nak? Kecuali kamu tadi pas si Aga bilang mau ngelamar kamu sambil nodongin pisah baru deh Citra bisa sambil teriak ketakutan. Ya kan, Pak?" Resti bertanya pada Kun yang cepat menganggukkan kepalanya.

"Bukan takut yang itu!" Citra meremat sepuluh jemarinya.

"Jadi takut apa sih maksudnya?" bingung sang ibu.

"Takut dalam artian kalau nanti Mas Aga nikah dia sibuk kerja doang, kepincut sama kembang desa yang berkeliaran bebas, terus Citra nggak dibolehin ngajar lagi. Temennya di kota juga pasti cantik-cantik. Nikah pasti bakalan makin dikekang banget sama suami kan?" tanya Citra. Tapi benar, Citra pun heran, wanita-wanita cantik yang belum menikah di desanya ini terbilang banyak, apalagi kalau sudah ketemu Aga pasti deh pria itu digodain.

Seketika ayahnya menatapnya tajam. Sedikit merasa tersinggung.

"Apa Bapak ngurung kamu sama Ibu di rumah aja selama ini?" tanya Kun.

Citra menyengir, "Hehe enggak kok, Pak. Damai bos."

"Citra kalo kamu dari awal gini aja udah pesimis duluan nanti malah kamu nggak pernah percaya sama omongan Aga yang tujuannya serius. Bakalan curiga mulu ke dia. Nggak baik itu, Sayang. Ibu sama Bapak lihatnya si Aga ini anaknya baik kok, mau kerja, ramah juga. Bener kata Bapak, kalo masih ada yang ganjel di hati Citra ya bagus pergi sholat, curhat ke Sang Pencipta, insya Allah dikasih petunjuk," ujar Resti bijak.

Putri mereka manggut-manggut.

"Tadi bawa apa Aga ke rumah, Neng?" tanya Kun.

"Daun singkong sama cabe merah doang, Pak. Mas Aga lagi mager ngambil buah." Aga tiap kali ke rumah Citra pasti membawakan bingkisan berupa buah dan sayuran, nggak repot beli, langsung diambil dari sumbernya.

"Yahh kirain bawa pisang. Bapak kepengen makan nugget pisang buatan Ibu. Di kulkas tinggal semangka sama pepaya aja tuh buahnya," oceh Kun.

"Hadeuh Pak! Kan yang jualan pisang banyak lho di mana-mana, ngapain mesti nunggu mas Aga sih!" greget Citra.

"Mas Agamu itu kan petani, Neng," balas sang ayah.

"Ya bener tapi kan Pak nggak tiap hari buah sama sayurannya panen gimana sih, hih! Lagian Mas Aga tuh seringnya lihatin sawah, ngusir-ngusir burung sambil ngerokok, itu kerjaan dia tiap hari! Bapak bikin kesel!" omel Citra yang membuat kedua orang tuanya tertawa.

Citra memilih melenggang pergi menuju kamarnya.

"Putrimu Bu sudah banyak sekali yang ingin melamar dia. Hampir setiap hari Bapak kalau lagi jaga sapi ada aja tuh pria-pria datang ngajak ngobrol eh tau-tau tujuannya mau deketin Citra, Bu." Gosip antara Kuncoro dan Resti dimulai kalau sudah tidak ada Citra. "Apalagi yang datang tuh rata-rata pakai seragam. Entah TNI, Pegawai BUMN, ASN, PNS yang piket di kantor desa, orang PLN, duh belom lagi yang kerja di bagian pertambangan aneh yo bisa kenal sama Citra Bu dan langsung jatuh cinta."

"Citra susuknya manjur Pak kayak jaman Ibu gadis dulu kan banyak yang naksir."

Bersambung

.

.
.


Kun WayV as Kuncoro / Ayah CitraYeoreum WJSN as Resti / Ibu Citra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kun WayV as Kuncoro / Ayah Citra
Yeoreum WJSN as Resti / Ibu Citra


JANGAN LUPA VOTE KOMENNYA!!❤️

I Love You, Mas Petani✔️[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang