10

2.9K 144 50
                                    

Ada hal-hal yang memang tidak bisa diwujudkan dalam waktu dekat. Sejauh ini Aga selalu bisa capai apa yang ia mau dengan usaha dan tekadnya sendiri. Tapi, kali ini berbeda. Tidak semudah itu untuk meyakinkan Citra bahwa ia siap untuk menjadi suaminya kelak secara lahir dan batin. Percuma kalau Aga sudah siap secara mental dan finansial jika pasangannya justru sama sekali belum ingin untuk melangkah sejauh itu. Aga akan tetap bersabar, toh ia masih bersyukur karena hubungannya dengan Citra masih baik-baik saja. Rasanya ingin cepat menjadikan wanita itu miliknya seutuhnya tapi ternyata mewujudkan tidak semudah berandai-andai.

Belakangan ini Aga lebih sering berkebun. Ada musim-musim tertentu untuknya baru pergi bersawah. Aga memetik tomat yang sudah banyak berbuah. Menaruh tomat di dalam baki serbaguna. Indonesia kondisi tanahnya sangat subur sehingga cocok ditanami berbagai tanaman sampai buah-buahan. Alasan Aga ingin menjadi petani ialah ia ingin mengetahui cara penanaman dari beras, sayuran atau buah-buahan yang dimakan sehari-hari. Ingin mengetahui struggle pengelolanya. Sehingga saat dirinya sudah berada di posisi sebagai petani ia jadi mengerti bahwa hidup itu sulit dan keras, cari uang demi sesuap nasi bukan hal yang mudah sekalipun Aga sudah enak hidupnya sebelum itu. Langsung terjun menghadapi teriknya panas yang membakar kulit, kekacauan saat gagal panen, ataupun kadangkala kehilangan customer setia secara tiba-tiba. Aga sudah menelan asam, asin, pahitnya kehidupan. Ia tetap saja tak terbiasa, ada kalanya ia capek dan ingin berhenti.

"Mas Aga Alhamdulillah buah pepaya yang di belakang juga sudah panen, Mas." Harun, penjaga kebun yang sudah berusia lumayan renta pada lahan sebesar satu hektar itu ia jadikan kebun buah dan sayur.

"Oh iyo to Pakde? Yowes mari kita lihat sebentar." Aga menyamai langkah mereka.

Sampai di sebuah saung Aga menghentikan langkah sebentar guna ingin meletakkan tomat-tomat yang tadi sudah dirinya panen.

Di kebun bagian belakang banyak petani yang kerja dengannya tengah berkumpul sibuk dengan kerjaan masing-masing.

"Iki coba cicipi, Mas," pinta Harun menyodorkan mangkuk berisi wadah yang sudah dipotong praktis Aga mengambilnya dan dimakan.

Kelopak mata Aga melebar diiringi senyuman manis terlihat, "Manis banget, Pakde. Yasudah dipanen saja. Biar bisa dijajakan di pasar."

"Nggih, Mas Aga." Harun melesat pergi untuk memerintahkan petani lain agar panen pepaya.

Aga berjalan kembali menuju area tanaman hidroponik karena tempatnya terasa lebih sejuk. Pria itu berjalan menyusuri tiap ruang dari tanaman hidroponik di kebunnya guna mengecek adanya hama atau tidak. Pun biasanya tiga hari sekali akan melakukan pengecekan PH/kadar air dengan alat khusus. Menjaga sanitasi lingkungan pun penting. Seperti bersihkan rumput-rumput liar sekitar tanaman, jangan membiarkan sampah di sekitar tanaman, serta mengecek intensitas cahaya yang masuk.

Ponsel Aga berdering. Nomor tanpa nama, tepatnya Aga sih yang tidak pernah menyimpan kontak orang yang menurutnya tak perlu untuk berada di dalam ponselnya. Eksistensi Aga sebagai petani milenial di desa itu sudah tak tertandingi.

"Halo."

"Mas Aga! Lagi di mana Mas? Laras mau ketemu."

Refleks Aga mengusap belakang kepalanya gugup. Ia mengenali suara itu.

"Jangan ya Ras saya lagi sibuk."

"Ish kangen tau."

"Mmm Ras nggak usah ganggu dulu ya."

"Aku ke kebunmu ya Mas?"

"Ja—"

Ia menyimpan ponselnya di saku celana saat panggilan telepon berakhir.

Bukan, Aga tidak selingkuh, salahkan saja gadis-gadis desa yang banyak mendekatinya. Apalagi yang namanya Laras itu, kayaknya warga desa sana pasti kenal dengannya yang terkenal dengan gadis centil, berdandan menor dan berpakaian ketat.

I Love You, Mas Petani✔️[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang