13

2.2K 133 42
                                    

Keputusan Ike bulat bahwasanya akan menyerahkan hak asuh Daffa kepada keluarga Citra. Tak apa ia dianggap seorang ibu yang gagal dan bodoh karena membiarkan anak kandungnya diserahkan kepada orang lain. Ike lebih yakin jika kehidupan Daffa kelak lebih terjamin jika ikut dengan keluarga Citra dibandingkan memiliki figur ibu seperti dirinya yang mentalnya masih rapuh dan secara finansial pun tidak stabil karena Ike sendiri masih lontang-lantung mengemis rezeki dari belas kasih orang lain semenjak suaminya kabur tak bertanggung jawab.

Sebetulnya justru Citra tak mempermasalahkan bila Ike masuk ke dalam keluarganya mulai sekarang. Namun, Ike tekad memilih merantau ke luar negeri untuk memulai lembaran hidup yang baru. Ike berkata jika nanti dirinya sudah sukses ia akan menjemput Daffa itupun bila diperbolehkan oleh keluarga baru anak itu. Setidaknya Ike tidak terpikirkan untuk membuang jauh-jauh ingatan dan fakta bila dirinya adalah seorang ibu dari satu anak laki-laki itu.

Kabar kelahiran Daffa pun telah terdengar sampai ke telinga Pak Petani siapalagi kalau bukan Aga. Sudah lebih kurang ada tujuh minggu Aga dan Citra tidak bertatap muka. Pun, komunikasi keduanya kian buruk.

Akan tetapi, malam ini terlihat Aga sudah berada di rumah Citra dengan membawa bingkisan martabak telor dan es boba kesukaan kesayangannya itu.

Di ruang tengah itu tampak sepasang kekasih yang sudah lamaran itu justru duduk berseberangan tanpa ada yang membuka mulut melainkan fokus pada handphone masing-masing di genggamannya.

Sampai ketika Aga yang menjadi pihak pertama melirik puan di depannya.

"Ekhem-khemm!!" Sengaja sekali membasahi tenggorokan sekeras itu. Spontan membuat Citra sampai mengerutkan kening memandangnya.

"Haus? Tuh, sudah ada teh hangat."

Aga menggeleng. "Kamu lho Mas dateng bukan ditanyain kabar. Hapenya yang malah disayang-sayang banget."

"Ih lebay deh? Mas tuh yang udah beberapa minggu ini cuekin Citra. Biarin Citra ngerasa sendiri kayak jomblo!"

"Cuekin gimana, sih? Sebisa mungkin Mas ngabarin kamu, balas chat kamu selalu Mas lakuin kan pas udah ada waktunya. Memang gak bisa cepet tapi kan pasti gak sampe dibiarin gitu aja. Masalah urusan gak bisa ketemu karena Mas tuh banyak kerjaan, Dek. Kebun tuh lagi panen-panennya sama sawah juga mesti dipantau terus. Nanti juga hasilnya Adek yang kena siramannya tuh," jelas Aga.

"Tapi lhoo.... Adek kan kangen, Mas!!" keluh Citra dengan manjanya.

Aga tertawa kecil. "Mas gimana? Ya Mas juga kangenlah!"

Tiba-tiba pria itu berlari kecil menuju sofa yang Citra duduki. Menghempaskan tubuh menubruk perempuan berkerudung itu.

"Mas!!" Citra tertawa namun menahan diri tidak berteriak karena bisa-bisanya Aga menggelitikinya. Telapak tangannya sibuk memukul dada bidang sang kekasih. "Udah ihh. Minggir!! Nanti Ibu sama Bapak lihat!!!"

"Gak peduli mau sah juga ini bentar lagi."

Aga membumbui wajah Citra dengan hujan kecupannya.

"Mas kangen banget sama kamu Citra. Rasanya Mas bila gila ini nahan rindu udah kelamaan," ucapnya.

Mendengarnya, Citra otomatis menatap Aga karena akhirnya ia mendengar langsung perasaan pria itu selama mereka tidak ada bertemu. Hanya dugaannya saja berarti jika Aga tidak rindu atau mengkhawatirkan. Itu salah besar. Ternyata mereka memiliki rasa yang sama.

"Banyak banget cerita yang Mas lewati. Salah satunya berita aku udah punya adik." Citra memang belum ada menceritakan tentang kelahiran Daffa pada Aga sebabnya Pak Petani itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga Citra enggan membuat fokus Aga terbagi-bagi.

"Serius?"

Citra mengangguk mantap.

"Entah ini kabar baik atau duka. Kehadiran Daffa termasuk kabar gembira, Mas. Tapi... kabar gak enaknya karena Ike sempat baby blues parah sampai nyakitin dirinya sendiri. Pokoknya kondisi kesehatan ibu sama bayi itu sempat memprihatinkan, mungkin dikarenakan asupan nutrisi yang kurang dan masalah rumah tangga Ike yang berantakan. Jadi, selama Mas Aga gak ada tuh Citra bener-bener fokusin sembuhin Ike dan merawat baby Daffa sembari tetap pergi mengajar rutinitasnya." Citra bercerita.

"Ike yang tetangga kamu, kan? Udah melahirkan dia toh. Mas mau jengukin."

"Udah Citra bilang lho tadi Citra punya adek sekarang."

"Daffa?" tanya Aga.

Citra mengangguk. "Daffa di sini, Mas. Tapi kayanya bobo deh jam segini tuh."

"Ibunya di mana?"

"Ike ambil keputusan merantau dan menaruh kepercayaan jika keluarga Citra bisa membesarkan Daffa."

Benar-benar kejutan fantastis. Maksudnya, ini Aga seperti baru keluar dari goa. Tidak tau apa saja sudah terjadi di dunia ini.

"Ike punya suami lho Dek. Bukannya ini anak pertama mereka yang dinantikan?" tanya Aga.

"Entahlah, Mas. Tapi yang Citra tau Ike hamil karena kecelakaan. Suaminya memang bertanggung jawab, tapi setelah mereka menikah sama aja kayak gak ada perubahan. Ike masih dapetin suaminya tuh malas kerja, mulai berani main tangan, bahkan sering kabur dari rumah. Makanya itu Citra langsung nolong dia pas tau udah mau melahirkan karena posisi Ike sendirian di rumah. Alhamdulillah semuanya lancar. Kami sekeluarga jagain mereka penuh dan benar-benar sayang. Adapun seperti Pak Kades dan Dokter Aldan ikut serta merawat Ike dan Daffa kemarin. Ike buka kehidupan baru di perantauan tapi beberapa kali masih video call, mau lihat anaknya katanya tuh. Rasanya kemarin tuh hidup Citra roller coaster banget, Mas."

Aga mengelus kepala perempuannya penuh bangga. "Calon istriku hebat banget. Sudah cantik, sholehah, dan kebaikan hatinya seluas samudera."

Citra tersipu malu.

"Makasih..."

"Mas menyesal dikit ngasih waktu ke Citra. Jadinya Mas kayak gak tau apa-apa gini."

"Gak papa, Mas. Toh, Mas Aga memang karena beneran kerja, kan?"

Otomatis pundak Aga entah mengapa terlihat turun lemas.

"Iya kan, Mas?"

"Iya," jawab Aga singkat.

Citra mengambil telapak tangan pria itu dan menggenggamnya. "Citra gak minta 24 jam waktu Mas Aga buat ngabarin Citra, nggak kok. Tapi seenggaknya Citra pengen tau Mas Aga lagi ngapain, di mana, sama siapa. Sekecil apapun kabar yang Mas Aga kasih tuh selalu berharga untuk Citra meskipun rada cuek dan itu bikin kesel."

"Iya maafin Mas ya, Dek."

Keduanya saling memeluk melepaskan rindu yang masih membungkus.

"Secepatnya Mas Aga bakalan nikahin kamu, Citra."

Aga memang sudah sangat ingin membawa hubungan mereka menuju jenjang serius. Baginya ia sudah siap secara mental dan finansial. Ia hanya takut jika semakin lama menunda justru takkan jadi kesampaian. Karena pencapaian terbesarnya adalah menikah.

Sedangkan Citra masih seperti banyak yang dipertimbangkan. Menurutnya di umurnya yang 25 tahun ini terlalu cepat untuk sudah menikah. Memang sih siapa yang bisa nolak jika suaminya Pak Petani yang sudah tampan, pekerja keras, datang dari keluarga terpandang nan harmonis, plus sangat mengayomi. Tapi melihat bagaimana banyak gosip perselingkuhan dan pengalaman seram setelah menikah di luar sana, itulah yang masih membuat Citra merasa takut.

I Love You, Mas Petani✔️[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang