Semua Bermula

276 11 1
                                    

"Argh! Tidak!" teriak gadis kecil berambut sebahu. Dengan memegangi kepalanya, seolah dirinya tengah mengerang kesakitan.

"Apa-apaan ini?" bentak wanita paruh baya, melihat betapa kacaunya ruangan ini.

"Lainah, apa-apaan ini semua?!" tanyanya lagi, seraya menarik gadis kecil itu untuk berdiri.

"Ne-nek, ka-kakek! Ka-"

"Apa yang kau katakan? Berbicara dengan jelas!"

"Ka-kakek kecelakaan!" ucapnya yang akhirnya terisak.

"Omongan bodoh macam apa ini? Jelas-jelas, suamiku baru saja berangkat ke kantornya," marah wanita itu.

"Aku serius Nenek! Aku melihatnya sendiri!"

"Diam! Dan tutup mulutmu itu! Bereskan semua ini! Jika tidak, lihat saja apa yang akan aku perbuat padamu!" Wanita itu berlalu dari hadapan gadis kecil itu.

Gadis kecil itu yang masih mampu mengingat semua yang dilihatnya, mencoba untuk mencari cara. Namun, semuanya nihil. Tiada satupun cara dia hasilkan. Hingga, terdengar suara sebuah ambulance di luar halaman rumahnya.

"Suara itu? Tidak! Ini tidak bisa terjadi!" sentaknya. Lalu, berlari keluar dari kamarnya, menuju ruang tamu yang telah dipenuhi oleh orang-orang. Terutama keluarganya.

"Kakek!" teriaknya begitu nyaring, mengalihkan atensi semuanya.

Dia pun berlari menghampiri lelaki tua yang telah pucat pasi, dengan beberapa perban di tubuhnya. Suara isakan menggema di mana-mana. Mengikut sertakan isakan gadis kecil tersebut.

"Ini semua karena kau! Kau yang menyebabkan semuanya!" bentak wanita paruh baya tadi, menghadang pergerakan gadis kecil tersebut.

"Tidak Nenek! Aku tidak melakukannya! Itu adalah naluriku!" elak gadis itu.

"Aku tidak percaya itu! Kau memang anak terkutuk, dan aku berdoa semoga matamu itu menjadi buta!" sumpah wanita itu, membuat suasana di luar sana seketika menggelap.

Gadis kecil itu yang mendengarnya tersentak. Air matanya luruh begitu tenangnya. Niat yang awalnya ingin menghampiri Sang Kakek, akhirnya urung dan lebih memilih untuk undur diri.

Isakan merdunya menjadi tontonan di sepanjang langkah panjangnya menuju kamarnya.

"Kenapa?!" Hanya itu yang mampu dirinya pertanyakan hingga saat ini.

Mata indah itu terpaksa tertutup oleh kain putih yang terlipat begitu rapi. Semenjak kejadian sebelas tahun yang lalu, Lainah Cecilia tak pernah lagi membuka matanya, walau hanya untuk sekedar menatap dunia, sementara.

Mata itu begitu terjaga. Namun, terkadang itulah yang menjadi alasan dirinya tersiksa.

Tiada satu orang pun yang menerima dirinya di dalam keluarga yang terlihat begitu harmonis. Lainah begitu dikucilkan. Bahkan, oleh orang tuanya sendiri. Mereka sama sekali tidak mau tau mengenai Lainah yang kini telah tumbuh besar bersama orang tuanya.

Sebelum berangkat, dirinya mengambil sebuah tongkat yang sejak lama memang sudah menemaninya. Ketika langkahnya mulai terdengar, maka di saat itulah, pukulan tongkat akan mengiringinya.

Langkah demi langkah ia tempuh, hingga pada lantai akhir di mana ruang makan berada.

"Nek, aku pergi dulu!" pamitnya.

Wanita paruh baya itu -Fera, hanya abai. Dia sibuk sendiri akan meja makan yang ditatanya.

Karena tidak mendapatkan respon sama sekali, akhirnya dia memutuskan untuk berangkat saja.

"Ck! Hanya sampai di sana sopan santunmu?" hardik Fera yang terlalu sering terlontarkan setiap harinya.

Seketika, langkah Lainah terhenti. Bersiap hendak berbalik, namun tak jadi.

"Oh iya, saya lupa mengatakan kabar baik ini padamu. Nanti Siang, akan ada pamanmu yang akan menjemputmu. Maka hari ini kau jangan sampai pulang terlambat!" titahnya, membuat mood Lainah hancur seketika.

"Sampai kapan Nenek akan begini? Aku sudah mengatakan! Aku tidak akan ikut dengan Paman Reno! Dia itu tidak baik! Aku membencinya!"

"Dia itu baik! Dan dia yang terbaik untuk menjaga dirimu! Saya sudah tidak sanggup lagi menghidupimu. Selama ini saya hanya kasihan padamu. Dan sekarang saya sudah tidak menyanggupi. Jadi, jangan menyalahkan apa yang terjadi. Namun, salahkan saja takdirmu! Mengapa kau lahir di kehidupan kami?!"

"Jika aku bisa meminta, tak akan ingin aku lahir di dunia ini, Nek!" batinnya. Lalu, pergi begitu saja meninggalkan rumah itu.

...

SMA Langkara adalah SMA yang diperuntukkan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Dan itu adalah sekolah yang menjadi tempat terukirnya kisah sendu sosok Lainah.

Dia memang tak terlihat layaknya seperti siswa yang kekurangan sama seperti teman-temannya di sini. Namun, bagaimana pun, Lainah tak diizinkan untuk menatap dunia, lantas bagaimana dia bisa bersekolah di sekolah umum?

Di sela langkahnya, tiba-tiba seorang gadis menepuk bahunya-Zeyna. Gadis bisu dan tuli. Dia tak mampu berbicara dan bahkan mendengar. Alat komunikasinya hanyalah dengan mata dan kedua tangan yang kadang menjadi isyarat dalam berbicara.

"Zeyna?" tanya Lainah menghentikan langkahnya.

Zeyna pun menjawab dengan mulai menggerakkan jarinya pada tangan Lainah. Agar, gadis itu tahu jika Zeyna meresponnya.

"Ayo, ke kelas!" isyaratnya pada tangan Lainah. Lainah pun mengangguk. Lalu, kedua gadis unik itu berjalan bersamaan.

Sepanjang perjalanannya, Lainah dan Zeyna selalu berpapasan dengan orang-orang yang juga sama seperti mereka. Memiliki kekurangan. Baik itu secara fisik yang terlihat jelas ataupun tidak.

Lainah dan Zeyna adalah dua sahabat yang semenjak SMA ini selalu bersama dan saling membantu. Mereka bagaikan jam dan baterai yang tak akan bisa bekerja apabila tak bersama.

Keseharian yang mereka lalui di sekolah ini, kadang tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Ada banyak hal yang terkadang membuat mereka kesusahan dengan kekurangan yang masing-masing mereka miliki.

SMA Langkara memang SMA untuk siswa yang berkebutuhan khusus. Namun, bukan berarti semua hal yang ada di sekolah biasa, tak akan ada di sini. Semuanya ada. Hanya saja, metode pembelajaran yang membuatnya berbeda.

Sesampainya di kelas. Lainah dan Zeyna langsung saja duduk di bangku mereka.

Tatkala baru saja Lainah ingin menenggelamkan wajahnya di antara lipatan tangannya, perbincangan teman sekelasnya menghentikan pergerakan Lainah. Menggantikan kesedihannya, menjadi kesuraman yang semakin temaram.

"Ka-kau tau?"

"Ta-tadi, a-ayahku me-memberiku i-ini. Da-dan di-dia me-menciumku de-dengan sa-sayangnya. Da-dan a-aku, a-aku a-adalah o-orang ya-yang pa-paling ba-bahagia ha-hari ini!"

"Kau sangat beruntung! Namun, aku lebih beruntung. Hari ini, nenekku akan mengajakku liburan. Dan orang tuaku akan membelikan semua keinginanku. Sebab, hari ini adalah hari ulang tahunku. Mereka tak ingin melewatkan hari ini sedikit pun."

Perbincangan itu, tak terlepas dari telinga Lainah. Membuat dirinya semakin kehilangan semangat untuk hari ini. Sama sekali tiada hal yang menarik.

"Andai nenek begitu. Dan andai, ayah dan ibu ada untukku juga," batinnya berandai-andai, sebelum akhirnya lenyap dalam tidurnya.

To be continued ...

🔑For you🔑
Apapun yang terjadi, jangan menyerah. Kamu adalah yang paling terbaik untuk dirimu sendiri. Bukan tentang orang lain, namun ini adalah tentang hidupmu. Dan kamu lebih jauh berharga dari pada ucapan orang lain.

Not Me but Myself (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang