Semakin Larut

41 3 0
                                    

"Sus, saya mohon!" pinta Alvin, yang berusaha mensejajarkan posisinya dengan para suster itu. Namun, para suster itu sama sekali tidak menanggapinya.

"Sus," lirih Lainah yang juga terlihat memohon.

Alvin yang sama sekali tidak ditanggapi, akhirnya berusaha untuk mencoba mencari cara, agar para suster itu mau menurutinya.

Alvin yang melihat salah satu suster membuka pintu ruangan rawat yang sepertinya akan menjadi ruangan Lainah setelah ini, langsung saja berlari ke arah sana. Membuat Lainah dan para suster itu heran.

"Hei, apa yang kau lakukan? Menyingkirlah! Jangan halangi tugas kami!" protes salah satu suster yang tengah mendorong brankar Lainah.

"Gak! Gue gak akan pergi dari sini, sebelum kalian mengikuti perkataan gue!" bantah Alvin, membuat para suster itu semakin kesal.

"L-"

"Ada apa ini?" tanya Airin, menghentikan perkataan suster yang ingin menyahuti perkataan Alvin tadi.

"Ini Dok-" Lagi-lagi, ucapannya terhenti. Dan kali ini disebabkan oleh Alvin yang mengadu.

"Dokter, apa yang anda lakukan? Kenapa anda memisahkan saya dengan dia?" protesnya.

"Alvin, dengarkan saya! Saya bukan bermaksud ingin memisahkan kalian," jelas Airin berusaha untuk meyakini Alvin.

"Lalu, apa?"

Sebelum menjawabnya, Airin menatap Lainah sekilas. Tidak mungkin dia akan mengatakannya di saat gadis itu berada di sini. "Sus, tolong bawa masuk!" Dan para suster itu langsung saja mengangguk. Namun, malah membuat Lainah dan Alvin membulatkan matanya.

"Tante, aku mohon!" lirih Lainah. Namun, Airin memilih untuk tidak menggubrisnya.

"Dok?"

"Alvin, saya melakukan ini demi kebaikan dia."

"Tapi, kenapa Dok?"

"Di-dia-"

"Kenapa Dok?"

"Di-dia-"

"Kenapa Dok? Saya mohon! Berbicaralah dengan jelas!" desaknya.

"Begini, saya harap kamu tidak memotong perkataan saya, sebelum saya selesai menjelaskan semuanya." Alvin hanya mengangguk.

"Kemarin, sebelum kejadian di rumah sakit sebelumnya, saya dan dokter Elfi sudah melakukan tes terhadap kesehatan mentalnya. Dan tadi pagi, kami kembali melakukannya, dan hasilnya sangat mengkhawatirkan. Dia harus mendapatkan penanganan yang lebih baik lagi. Agar dia bisa segera pulih dari komplikasi gangguan mental yang sudah dia derita."

Mendengar itu, Alvin sontak mengernyitkan dahinya tidak mengerti. "Sebentar, dokter bilang apa tadi? Gangguan mental? Dan komplikasi?"

"Iya. Ada beberapa gangguan mental yang diderita olehnya. Dan juga ada beberapa gangguan mental yang membuat kami sedikit khawatir."

"Apa Dok?"

"Identitas disosiatif dan stomatoform," jawab Airin, berhasil membuat Alvin menutup mulutnya seketika.

"Dokter tidak bercanda, kan?"

"Tidak Alvin. Buat apa saya bercanda dengan hal seperti ini?"

Dengan kasarnya, Alvin kembali membekap mulutnya. Lalu, mengusap wajahnya. Memperlihatkan betapa terkejutnya Alvin terhadap apa yang baru saja dia ketahui.

"Alvin," panggil Airin. Namun, sama sekali tidak direspon oleh Alvin. Bahkan, Alvin lebih memilih untuk duduk di kursi tunggu dengan wajah yang dia tutup dengan kedua telapak tangannya.

"Jangan khawatir! Saya dan dokter Elfi akan berusaha untuk menyembuhkannya. Namun, kami tidak bisa memberikan janji kesembuhan total baginya."

"Tapi, kenapa harus dia, Dok?" tanyanya yang bahkan entah sejak kapan menitikkan air mata.

"Alvin, tentang takdir itu kita tidak bisa menebak. Kemungkinan saja, selama ini dia mengalami banyak masalah. Sampai-sampai, semua itu mempengaruhi mentalnya. Kita tidak pernah tahu, Nak."

Perkataan Airin barusan, berhasil membuat Alvin kembali mengusap wajahnya dengan kasar.

"Bolehkah saya bertemu dia sebentar, Dok?" tanyanya. Airin tersenyum, lalu mengangguk. Langsung saja, Alvin berlari memasuki ruangan itu, membuat Airin tersenyum haru menatapnya.

"Sebenarnya, ada ikatan apa kalian berdua?" batinnya.

...

"A-alvin," lirih Lainah yang kini terlihat sendu. Membuat Alvin tersenyum dengan paksa. Hatinya begitu sakit melihat Lainah yang seperti ini.

"Sus, izinkan kami berbicara sebentar!" pintanya. Dan akhirnya, para suster itupun mau menurutinya. Mereka semua pergi meninggalkan Alvin dan Lainah berdua di dalam kamar rawat tersebut.

Setelah kepergian mereka, Alvin kembali menghampiri Lainah. Dengan lembut dia mengusap surai gadis itu.

"Hei, jangan sedih!"

"Kenapa mereka membawaku ke sini?"

"Tidak apa, mereka ingin melakukan yang terbaik untukmu. Jangan sedih, ya!"

"Tapi-"

"Angel, dengarin gue! Apapun yang dilakukan oleh mereka saat ini, pasti itu adalah yang terbaik buat lo. Mereka cuma pengen lo sembuh. Supaya lo bisa kembali kaya sebelumnya. Dan lo jangan pernah khawatir. Gue bakalan selalu ada untuk lo. Gue akan sering-sering jenguk lo ke sini. Lo jangan takut, ya?"

"Kamu yakin?"

"Iya, lo percaya sama gue, kan?" Lainah hanya mengangguk atas itu semua.

"Ya sudah, sekarang lo istirahat, ya? Gue temani," ucapnya kembali mengelus lembut surai Lainah. Hingga, lama-kelamaan membuat gadis itu terlelap begitu nyenyaknya.

"Sampai  kapanpun, lo gak akan gue biarkan sendirian lagi, Ngel. Sekarang, lo adalah tanggung jawab gue. Dan sekaranglah saatnya buat gue ngejalani semua amanah kakek."

...

"Alvin!" bentak Ariana, di saat lelaki itu baru saja memasuki ruangannya.

"Kenapa, Bun?" tanyanya, seraya mendekati Ariana yang sudah menantinya sejak tadi di atas brankar Alvin.

"Apa hubungan kamu dengan anak itu?"

"Kenapa Bunda bertanya itu? Bukankah seharusnya Bunda sudah tau?"

Deg.

"A-apa maksudmu?"

"Hahaha ... Bunda kenapa?"

"Alvin, Bunda tidak mengajakmu bercanda!"

"Iya, Bunda. Alvin tau Bunda serius. Dan kali ini, Alvin mau Bunda jujur tentang suatu hal sama Alvin. Alvin pengen dengar itu langsung dari Bunda."

"Apa yang kamu maksud? Bu-bun-da tidak mengerti," alibi Ariana yang sebenarnya sudah tau ke mana arah pembicaraan Alvin saat ini.

"Bunda, katakan! Katakan jika Bunda sayang Alvin!" ucapnya yang malah diakhiri dengan kekehannya. Karena sudah berhasil membuat Ariana begitu terlihat tegang.

"Alvin!" terlihat sangat jelas, jika Ariana tidak mau diajak bercanda untuk saat ini. Bahkan, wajahnya sangat merah padam saat ini. Namun, bukan Alvin namanya, jika tidak bisa meluluhkan hati Ariana.

"Bunda cantik, deh."

"Terserah!" Setelah itu, Ariana berlalu dari sana dengan hatinya yang semakin hari semakin merasa gelisah.

"Alvin yakin, Bun. Suatu saat nanti, Bunda akan mengakuinya."

To be continued ...

🔑for you🔑
Jika saja kita bisa mengubah takdir, mungkin kata-kata kesedihan itu tidak akan pernah ada.

Not Me but Myself (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang