Suasana Baru

73 4 0
                                    

"Apa-apaan ini?" teriak Reno, marah.

"Di mana anak sial itu?" bentaknya. Wanita tua yang bernama bi Ningsih itu seketika tersentak.

"Ada apa ini?" tanya Fani baru saja hadir.

"Di mana anak sial itu?" tanyanya lagi.

"Di gudang, memangnya kenapa?" tanya Fani malas.

"Suruh dia ke sini! Benar-benar tidak ada gunanya," makinya.

"Cih, kamu menyuruh aku, Mas? Tidak salah? Menatapnya saja aku sudah mau muntah," tolak Fani mentah-mentah. Dan memilih untuk mendudukkan dirinya di kursi meja makan itu.

"Ck! Benar-benar menyusahkan!"

"Bi, cepat panggilkan Aqilla! Suruh dia segera ke sini," titah Fani kepada bi Ningsih. Bi Ningsih langsung saja menuruti perintah Fani.

Hingga tak lama kemudian, bi Ningsih kembali bersama dengan Aqilla dan Lainah di sebelahnya.

"Wah ... Kak Angel, makanannya enak sekali malam ini. Kakak lapar tidak?" ucap Aqilla membuka obrolan mereka dan menuntun Lainah untuk duduk di sebelahnya.

"Ke mana saja kamu? Bukankah tadi saya menyuruhmu untuk memasak makan malam, ha?" sambar Reno dengan penuh emosi.

"Apakah telingamu ini sudah tidak ada gunanya lagi?!" bentaknya, membuat Lainah tersentak.

"Pi," tengah Aqilla, namun sama sekali tak dihiraukan oleh Reno.

"Aqilla, cepat makan!" ucap Fani, langsung menarik Aqilla untuk duduk. Aqilla yang ditarik itu hanya bisa pasrah.

"Benar-benar tidak ada gunanya kamu! Mulai malam ini juga, kamu tidak pernah saya izinkan untuk makan di meja makan ini bersama kami. Terserah kamu mau makan di mana, saya tidak peduli! Pergi!" putus Reno yang benar-benar menyakitkan bagi Lainah.

"Pi," tengah Aqilla lagi. Namun, belum sempat dia melanjutkan ucapannya, Reno dan Fani sudah melayangkan tatapan tajamnya kepada Aqilla.

Sedangkan, Lainah yang sudah tidak diizinkan berada di sini, langsung beranjak dari sana dengan mata yang berusaha untuk tidak mengeluarkan cairannya.

Ya, bagaimanapun sosok Lainah, hatinya tetap saja rapuh. Bahkan, di saat matanya tertutup seperti ini, dia juga mampu mengeluarkan bebannya dari sana.

Dengan langkah susah, Lainah kembali ke dalam gudang yang kini menjadi kamarnya.

Bi Ningsih yang menyaksikan itu, dibuat sedih melihatnya. Dia merasa tidak tega dengan gadis cantik yang belum dia ketahui namanya itu.

Sesampainya di dalam gudang, Lainah langsung menutup pintu gudang yang kini telah terlihat rapi itu. Dengan meringkuk, gadis itu menangis dalam diamnya. Perlahan, tangannya bergerak untuk membuka penutup matanya tersebut. Dia sangat ingin membuka penutup mata itu. Namun, sebuah ingatan terlintas di dalam benaknya.

"Tidak. Aku tidak bisa!" monolognya, kembali menjauhi tangannya dari penutup mata itu. Dan memilih untuk merendam sesaknya dalam isakan kecil yang sengaja dia tahan.

...

Pagi ini, Lainah diberi tahu, jika dia akan masuk ke sekolah barunya. Dan tentunya itu semua adalah hasil dari permohonan Aqilla.

Lainah benar-benar senang. Dia bisa merasakan kembali suasana sekolah. Ah, dia jadi merindukan sosok Zeyna. Kira-kira, bagaimana kabar gadis itu, setelah mendapatkan kabar, jika dirinya tidak ada lagi di kota itu?

Di tengah pemikirannya, Lainah tiada hentinya menyunggingkan senyumannya.

Pagi ini, dia akan ke sekolah barunya dengan diantarkan oleh supir pribadi Reno. Sengaja, sebab Reno maupun Fani sangat malas untuk mengantarkan gadis yang menurutnya itu adalah gadis pembawa sial.

Setelah siap, Lainah langsung saja keluar dari gudang. Dan berjalan dengan tongkatnya menuju halaman depan.

Tiada sarapan, sebab tiada izin dari Reno ataupun Fani untuk gadis itu menyicipi makan di meja makan bersama mereka. Dan sebenarnya, Lainah bisa saja makan di dapur, namun itu hanya akan memakan waktu lebih lama lagi. Tentu saja, dia tidak ingin terlambat kali ini.

"Sudah siap, Non?" tanya lelaki berstyle supir itu-pak Tomi.

"Sudah, Pak!" angguk Lainah bersemangat.

"Ayo, biar saya bantu!" tawar Tomi yang langsung diangguki oleh Lainah.

Lainah memasuki mobil itu dengan bantuan Tomi. Hingga, tak lama kemudian, mobil itupun melaju meninggalkan pelantaran rumah Reno.

Hanya ada kesunyian selama di perjalanan. Lainah sama sekali tidak ada topik pembicaraan, begitu juga dengan Tomi yang merasa segan dengan gadis yang tengah duduk di jok belakang tersebut. Jujur saja, Tomi sebenarnya kasihan dengan keponakan bosnya ini.

Semalam, Ningsih sudah menceritakan semuanya kepada Tomi. Dan itu, benar-benar membuat Tomi tak habis pikir lagi dengan majikannya.

Tak lama kemudian, mobil itupun berhenti. Mereka telah sampai di sekolah barunya Lainah. Langsung saja, Tomi membantu Lainah keluar dari mobil. Dan membantu Lainah untuk segera menuju ruang wakil kepala sekolah.

Selama perjalanan menuju ruang wakil, tiada satu mata pun yang mengalihkan tatapannya dari Lainah. Dan itu membuat Tomi merasa risih sendiri. Namun, tidak dengan Lainah yang terlihat sangat tenang.

"Permisi, Pak!" ucap Tomi di depan pintu ruangan wakil yang terbuka itu.

"Iya, apa ada yang bisa dibantu, Pak?" tanya seorang laki-laki di dalam sana.

"Ini, saya ingin mengantarkan siswi baru," jelas Tomi yang diangguki oleh laki-laki itu.

"Oh, ini Lainah?" tanya laki-laki itu memastikan.

"I-iya, Pak!" sahut Lainah canggung.

"Ooh ... yaudah, mari saya antarkan langsung ke kelasnya!" ucap laki-laki itu, langsung diangguki oleh Lainah dan Tomi.

"Pak Tomi pulang saja, aku bisa sendiri kok!" ucap Lainah menghentikan pergerakan Tomi.

"Tapi, Non?" ragu Tomi.

"Sudah! Aku bisa sendiri, kok!" yakin Lainah dan tak lupa dengan senyumannya.

Sebenarnya, Tomi merasa agak ragu. Namun, karena tidak ingin membuat gadis ini tersinggung, maka Tomi harus bisa mengikutinya.

"Ba-baiklah, kalau gitu saya pergi dulu, Non! Permisi!" ucapnya, langsung berlalu dari hadapan laki-laki tadi dan Lainah.

"Mari, Nak!" ucap laki-laki itu dan diangguki oleh Lainah.

To be continued ...

🔑for you 🔑
Akan selalu ada orang yang tidak menyukaimu. Namun, percayalah akan tetap ada orang yang menyayangimu.

Not Me but Myself (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang