"Ada apa ini?" tanya Fani, mendapati ramainya masyarakat di depan rumahnya.
Belum sempat salah satu masyarakat itu menjawab, pandangan Fani sudah terpaku pada seorang pemuda yang tengah dibopong oleh beberapa orang.
"Galaksa?!" terkejutnya.
"Anakku kenapa?" tanyanya khawatir, menghampiri Galaksa.
"Tadi dia keserempet truck, dan untungnya ada warga yang mengenal dia."
"Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit?!" bentak Fani. Menurutnya, membawa Galaksa ke sini, sama saja dengan membunuh putranya. Sebab, itu akan memperlambat penanganan Galaksa.
"Ka-"
"Ada apa ini?" tanya Reno, tiba-tiba muncul dari belakang Fani.
"Galaksa?" terkejutnya.
"Pi, cepat telepon dokter keluarga! Galaksa butuh penanganan!" sentak Fani, menyadarkan suaminya yang terhanyut melihat kondisi putranya sekarang.
"I-iya, Mi." Setelah itu, Reno langsung saja menghubungi dokter keluarga mereka. Sedangkan Fani, dia langsung meminta beberapa warga itu untuk membawa Galaksa ke kamarnya saja.
Aqilla yang baru saja keluar dari gudang yang saat ini menjadi kamarnya Lainah, terperanjat.
Dia benar-benar tidak menyangka, jika apa yang dikatakan kakak sepupunya itu benar-benar terjadi. Andaikan saja, tadi keluarganya mau menghiraukan perkataan Lainah, mungkin ini semua tidak akan terjadi.
Dengan wajah khawatirnya, Aqilla menghampiri Fani yang menyusul putranya ke kamar.
"Mi, Bang Aksa gak pa-pa, kan?" tanya Aqilla cemas.
"Tidak usah banyak tanya Qila, Mami tidak ada waktu untuk menjawab pertanyaan bodohmu itu!" bentaknya begitu saja dan meninggalkan Aqilla dengan wajah sendunya.
"Kalian semua kenapa, sih? Kenapa gak ada yang pernah peduli sama Qila?" batin gadis itu.
Selama ini, Aqilla tidak pernah mendapatkan kasih sayang penuh dari orang tuanya. Tidak seperti Galaksa yang selalu mendapatkan perhatian dari keduanya.
Jujur, Aqilla iri dengan Galaksa. Galaksa selalu mendapatkan apa yang dia mau. Sedangkan dirinya? Untuk berbicara dengan orang tuanya saja, Aqilla selalu ditolak mentah-mentah. Lantas, bagaimana caranya Aqilla bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Galaksa.
Dengan langkah beratnya, Aqilla pun memutuskan untuk kembali ke kamarnya saja. Dia hanya ingin menenangkan dirinya saat ini.
...
Di kegelapan gudang ini, Lainah membuka matanya perlahan-lahan. Dia bingung, di mana dia berada saat ini. Sebab, kini dirinya tengah tertidur di sebuah kasur dan itu benar-benar membuat Lainah bingung. Bagaimana tidak, sebelumnya Lainah tengah merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya, namun sekarang?
"Ini di mana?" tanyanya mencoba meraba-raba sekitarnya.
Hingga akhirnya, Lainah merasakan adanya debu di salah satu benda di ruangan ini.
"Mungkin ini masih di gudang," pikirnya. Lalu, berniat untuk mencari keberadaan tongkatnya. Namun, nihil. Lainah sama sekali tidak menemukan benda itu. Sampai pada akhirnya, dia memutuskan untuk keluar dari ruangan itu, tanpa menggunakan tongkat.
Sebab, tidak ada benda yang membantunya berjalan di rumah ini, membuat Lainah hampir saja tersungkur ke depan, jikalau tidak ada yang membantunya tadi.
"Hei, kamu tidak apa-apa?" tanya orang itu.
"Siapa?" tanya Lainah berusaha mengarahkan kepalanya kepada sumber suara.
"Saya dokter Sefa," perkenalan wanita itu dengan senyuman ramahnya.
"Dokter Sefa?" herannya. Sebab, baru kali ini dia mendengar nama itu.
"Ada apa?" tanya Lainah membuat kening wanita itu berkerut.
"Sebentar, sebelumnya saya tidak pernah melihat kamu di sini, Nak. Lalu, siapa kamu?" tanya dokter itu.
"Dokter, kenapa masih di sini?" tanya Reno, tiba-tiba saja muncul. Menghentikan Lainah yang ingin menjawab pertanyaan dokter tersebut.
"Ah iya, tadi saya tidak sengaja melihat gadis ini akan terjatuh. Jadi, saya membantunya terlebih dahulu," jelas dokter Sefa.
"Benar-benar anak yang menyusahkan," umpat Reno yang masih bisa didengar oleh mereka berdua.
"Maaf sebelumnya, ini siapanya Bapak? Kenapa saya tidak pernah melihatnya?" tanya dokter Sefa.
"Dia pembantu saya, dan baru hari ini mulai bekerja," alibi Reno. Dan itu membuat Lainah seketika terkejut. Yang benar saja, dirinya yang tak lain adalah keponakan dianggap pembantu.
"Ooh ... ART, tapi kenapa matanya ditutup gini, Dek?" tanya dokter Sefa baru menyadari penutup mata Lainah.
"Itu tidak penting, sebaiknya Dokter segera kembali," usir Reno yang tidak ingin keponakannya itu lebih kenali oleh orang lain. Sangat malas sekali dia, jika ada orang-orang yang mengetahui jika Reno memiliki keponakan seperti Lainah ini.
"Ba-baiklah," putus dokter itu dan setelahnya pergi dari sana. Namun, sebelum itu, dokter Sefa berpamitan kepada Lainah terlebih dahulu dan hanya diangguki oleh Lainah sebagai responnya.
"Heh, kamu! Cepat, ke dapur dan masak untuk malam ini! Tidak pakai lama dan jangan sampai masakan kamu tidak enak!" titah Reno, sebelum akhirnya dia kembali menaiki anak tangga rumahnya.
Lainah yang mendapatkan perintah itu, menjadi kebingungan sendiri. Bagaimana dia bisa melaksanakan perintah Reno tersebut, sedangkan dirinya saja tidak mengenali rumah ini. Dan bahkan, dia sendiri saja tidak bisa melihat, lalu bagaimana caranya dia memasak?
Sudah dua puluh menit Lainah tidak bergeming dari tempatnya. Dia benar-benar bingung di mana letak dapurnya sekarang. Ingin sekali dia membuka penutup mata ini, namun Lainah masih mengingat kejadian di gudang tadi.
Dia tak ingin mengalami itu lagi. Sungguh, itu benar-benar membuat dirinya tersiksa.
Hingga akhirnya, suara langkah kaki mengalihkan fokus Lainah.
"Loh, Kak Angel? Kakak ngapain di sini?" heran Aqilla.
"Dapurnya di mana?" tanya Lainah to the point.
"Dapur? Loh, kenapa kakak bertanya dapur? Kakak haus? Biar aku ambilin ya, Kak!" heran Aqilla. Sontak, Lainah menggeleng.
"Lah, terus?"
"Mau masak," cicit Lainah ragu.
"Kakak gak bercanda, kan?" terkejut Aqilla. Dan lagi-lagi, Lainah menggeleng.
"Gimana caranya, Kak?" heran Aqilla.
"Kakak akan coba," ucapnya berusaha untuk terlihat tenang.
"Tapi, tunggu! Kakak kenapa tiba-tiba mau masak gini?" tanyanya mulai curiga.
"Eh, em ... di- Lagi pengen, ya lagi pengen!" alibinya yang bisa ditebak oleh Aqilla. Dan itu berhasil membuat Aqilla geleng-geleng kepala.
"Kakak gak ahli berbohong," ejeknya yang membuat Lainah terperanjat.
"Kakak gak boleh masak. Stay di sini, soal masak, biar bibi aja yang urus di belakang."
"Tap-"
"Gak ada penolakan! Sekarang, lebih baik Kakak istirahat. Dan biar Aqilla bantuin buat bersih-bersih gudang," ucap Aqilla yang langsung menarik tangan Lainah.
Mau tidak mau, Lainah terpaksa mengikuti langkah Aqilla menuju gudang kembali.
To be continued ...
🔑for you🔑
Tak semuanya apa yang terlihat baik-baik itu, memang baik. Bahkan, ada kalanya yang baik itu hanyalah topeng belaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Me but Myself (End)
Teen FictionJudul Awal : Temaram Kisah gadis Indigo Prekognision yang mampu menatap kejadian-kejadian yang akan terjadi berikutnya. Namun, kelebihan yang dimiliki dirinya, malah menjadi kekurangan yang harus membuat dia terkucilkan dari semua orang terdekatnya...