Malamnya, Lainah termenung di atas kasurnya. Kali ini, dia mencoba untuk tidak menggunakan kain penutup mata itu. Dan bahkan, itu dia lakukan sejak kejadian tadi siang.
"Apa benar, sebaik aku tidak perlu lagi menggunakan kain ini?" monolognya, seraya menatap kain penutup matanya.
"Mau ngapain lo?" tanya Alvin dengan ketus.
"Kenapa?" tanya balik Lainah dengan heran. Yang hendak mengenakan kembali kain penutup matanya.
"Lo mau makain kain itu lagi? Percuma. Semua orang pun udah tau kalau lo itu gak buta. Yang ada, kalau lo pakai kain ini lagi, lo bakalan dihina oleh mereka."
"Tapi," ragu Lainah.
"Tapi apa? Lo lebih senang dicaci maki mereka? Iya?"
"Bukan, bukan gitu."
"Yaudah, mulai sekarang lo biasain buat gak pakai kain itu lagi. Lo cantik kaya gini, jadi jangan mengubah kuadrat lo sendiri. Lo paham?"
Perkataan Alvin sewaktu pulang tadi berhasil membuat Lainah kembali mengurungkan niatnya untuk memakai kain itu.
"Mungkin, ini sudah waktunya. Aku akan mencoba untuk membiasakan diri dengan ini semua." Lainah meletakkan kain penutup mata itu di sampingnya, lalu memilih untuk tidur.
Di lain tempat. Suasana malam begitu menjadi kesenangan untuknya. Di malam yang seharusnya orang-orang terlelap nyenyak. Namun, mereka semua malah asik beradu kecepatan di jalan raya.
Alvin Defano Georges, ketua dari geng Andros. Yang biasanya begitu akur dengan anggotanya, namun kini malah saling beradu tatapan tidak menyenangkan dengan mereka semua.
"Kali ini, lo lihat saja! Gue yakin, lo bakalan kalah! Dan gue gak bakalan ngampunin lo atas perbuatan lo tadi siang dengan Zera!" ancam Kevin begitu marah. Sedangkan, Alvin yang diajak bicara hanya tersenyum smirk di balik helmnya.
"Gue yakin, suatu saat nanti, lo semua akan menyesali keputusan kalian. Dan malam ini pun, gue memutuskan hubungan dari kalian semua. Selamat bermusuh!" ucapnya, seraya melepaskan jaket gengnya dan melemparkannya tepat di wajah Zera.
"Alvin!" teriak Zera, marah. Namun, Alvin sama sekali tidak peduli. Dia lebih memilih untuk pergi dari sana daripada harus berada di tempat seperti ini.
Di sepanjang jalan. Pikiran Alvin terus saja berkelana. Membuat fokusnya seringkali terganggu.
"Bunda," panggil Alvin kecil pada wanita cantik di kamarnya itu.
"Iya, kenapa?" tanya wanita itu-Ariana.
"Bunda kenal gadis kecil ini?" tanya Alvin seraya menunjukkan foto bayi kecil di dalam sebuah inkubator.
Tampak jelas, Ariana begitu terkejut melihat foto itu. Seketika, Ariana merebut foto itu dari Alvin. "Dari mana kamu mendapatkan foto ini? Bukankah Bunda sudah pernah memperingatimu, jangan sesekali memasuki kamar Bunda tanpa seizin Bunda!" bentak Ariana.
"Bukan. Alvin tadi melihat foto itu terjatuh di depan pintu kamar Bunda."
"Ya sudah, sekarang kamu pergi dari sini. Bunda tidak mau melihatmu untuk hari ini!" Itu sudah biasa untuk Alvin. Bundanya pasti selalu saja begini. Walaupun itu bukan suatu kesalahan, Alvin bakalan tetap akan dimarahi seperti itu. Entah apa yang terjadi sebenarnya, Alvin benar-benar tidak mengerti.
Ingatan itu begitu membuat Alvin tak karuan dalam mengendarai motornya. Bahkan, tak hanya itu. Masih ada ingatakan lain yang membuatnya semakin kalut.
"Bunda, ini di mana?" tanya Alvin di saat dirinya dan kedua orang tuanya berada di rumah yang begitu besar, namun tampak tengah berduka.
"Ini rumah kakekmu," jawab Ariana.
"Kakek? Berarti Alvin punya kakek? Tapi, kenapa selama ini Alvin tidak tahu, Bun?" tanyanya heran.
"Sudah, jangan banyak tanya. Ayo, masuk!" Dan akhirnya, mereka pun memasuki rumah yang tengah berduka itu. Namun, belum sempat Alvin mendekati keramaian di dalam rumah ini, Alvin menemukan satu gadis yang tengah bermenung di balik tunggak besar di rumah ini. Gadis itu terlihat begitu sedih, dengan tatapannya ke arah jasad yang telah ditutupi kain.
"Bunda, Alvin mau ke sana, ya."
"Terserah, intinya jangan membuat keributan dan jangan membuat Bunda malu."
"Oke Bunda," respon Alvin dengan senangnya. Lalu, dia pun beranjak dengan berlari begitu saja.
"Hai!" sapa Alvin kepada gadis yang menjadi incarannya sejak tadi.
"Kamu kenapa?" tanya Alvin, berusaha mengajak gadis itu untuk mau berbicara dengannya. Namun, lagi-lagi gadis itu hanya merespon dengan tubuhnya dan enggan untuk menatap Alvin.
"Kenalin, gue Alvin. Panggil Al aja juga boleh," ramah Alvin. Namun, sama sekali tak dihiraukan oleh gadis itu.
"Kak Angel, Kakak dipanggil Nenek," ucap gadis kecil lainnya yang datang menghampiri mereka. Dengan sendu, gadis itu mengangguk dan berlalu meninggalkan Alvin dari sana.
"Angel," lirih Alvin dengan senyuman yang begitu merekah.
"Angel," lirih Alvin setelah kenangan itu berputar dalam memorinya.
Itu adalah masa lalunya. Dan entah mengapa semua itu berputar begitu saja.
Tanpa sadar, Alvin melewati lampu merah begitu saja. Sedangkan dari arah kanannya ada sebuah truk yang melaju dengan kencang.
Tin ... Tin ...
Dan akhirnya, klakson truk tersebut mengagetkan Alvin dan ...
Deg.
Bruk!
"Alvin!" tersentak Lainah begitu saja. Dia terbangun dengan keringat dingin yang sudah membasahi wajahnya.
"Syukurlah, ini hanya mimpi," lirihnya dengan napas yang terengah-engah.
"Aku harap, kamu baik-baik saja." Dengan mengusap wajahnya menggunakan kedua telapak tangan, Lainah berusaha untuk menenangkan perasaannya yang entah mengapa menjadi begitu gusar.
"A-nge-l," lirih Alvin sebelum akhirnya menutup matanya.
To be continued ...
🔑for you🔑
Hiduplah sebagaimana seharusnya kamu. Sebab, ini adalah tentang kamu, bukan tentang orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Me but Myself (End)
Teen FictionJudul Awal : Temaram Kisah gadis Indigo Prekognision yang mampu menatap kejadian-kejadian yang akan terjadi berikutnya. Namun, kelebihan yang dimiliki dirinya, malah menjadi kekurangan yang harus membuat dia terkucilkan dari semua orang terdekatnya...