Hari-hari kini berlalu. Sudah dua minggu setelah kejadian tragis lalu yang menimpa Lainah dan Alvin. Dan sudah satu minggu yang lalu Alvin diizinkan untuk pulang. Namun, masih belum dengan Lainah yang harus melakukan pengobatan lebih lanjut tentang mentalnya.
"Hai, cantik!" sapa Alvin, seraya membawa buket bunga di tangannya.
Lainah tersenyum. Dia begitu senang sekali di saat Alvin mengunjungi dirinya. Sebab, dia tidak akan merasakan kesepian di ruangan yang terlalu didominasi oleh bau obat-obatan ini.
"Bunga Lily lagi?" Alvin mengangguk setuju.
"Makasih!"
"Sama-sama cantik!"
"Oh iya, sudah makan?" tanyanya, yang langsung direspon oleh gelengan oleh Lainah.
"Buburnya hambar."
"Kalau gak mau yang hambar, kamu harus cepat sembuh, dong." Mendengar bahasa Alvin yang seolah sudah berubah terhadap dirinya, membuat Lainah membulatkan matanya sempurna.
"Sebentar, kamu tadi?"
"Kenapa? Gak cocok ya?" Lagi-lagi, Lainah menggelengkan kepalanya.
"Cocok kok. Malah, aku lebih suka kalau kamu bicaranya kaya gini. Lebih keren," ucapnya, mengacungkan dua jempolnya senang.
"Lucu banget, sih?" gemas Alvin. Lalu, mencubit kedua pipinya Lainah begitu saja. Membuat Lainah meringis karenanya.
"Ih, jangan cubit-cubit!"
"Gak pa-pa, biar tambah caby."
"Serah!" Alvin hanya mampu tertawa melihat tingkah Lainah yang benar-benar menggemaskan ini.
"Wah! Ada anak Ayah?" ucap Hans memasuki ruangan Lainah.
"Eh, ada Ayah. Kok Ayah tumben ke sini?"
"Loh, Ayah gak boleh ke sini?"
"Ih, Alvin! Enggak kok Om! Kapan pun Om boleh kok jengukin aku." Dan itu kembali membuat Alvin tertawa. Sepertinya, Lainah selalu saja bisa membius Alvin untuk terus tertawa sepanjang harinya.
"Gimana kabarnya?" tanya Hans, mendekati brankar Lainah.
"Em ... baik, Om."
"Nak, Om boleh nanya sesuatu?"
"Iya, Om?"
"Bolehkah Om bertemu dengan keluargamu?" tanya Hans begitu hati-hati. Karena dia tidak ingin hal ini malah mengganggu proses pengobatan mental Lainah.
"Ke-keluarga?" gugup Lainah.
"Yah," lirih Alvin, merasa ini belum saatnya.
"Tidak apa. Om tidak memaksa kamu, Nak."
Lainah tidak meresponnya sama sekali. Gadis itu malah lebih memilih menundukkan wajahnya dalam diam. Perkataan Hans, seolah-olah membawanya pada kejadian di masa lalunya.
"Mereka tidak pernah sayang aku. Mereka hanya membenci Lainah. Tidak ada seorang pun yang mau menerima Lainah, kecuali Aqilla. Aqilla adalah adik sepupu Lainah. Dia sangat manis dan baik," lirih Lainah tiba-tiba saja. Membuat Hans dan Alvin langsung bertatapan tidak percaya.
"Apa itu alasan mereka sampai sekarang tidak mengunjungimu?"
Lainah menggeleng. "Bukan. Mereka pergi keluar kota. Mungkin, mereka belum pulang."
"Baiklah, apakah Om bisa meminta alamat rumahmu?"
Lainah mengangguk. "Ta-tapi, sewaktu Lainah sudah diizinkan untuk pulang saja ya, Om?"
"Ya sudah, tidak apa. Nanti, biar Om yang mengantarkanmu pulang."
"Terima kasih, Om!"
"Sama-sama, Nak."
...
Dengan wajah bahagianya, Aqilla memasuki rumahnya bersama dengan Galaksa yang juga diikuti oleh Reno dan Fani.
"Kak Angel!" teriak Aqilla, membuat Fani memutar bola matanya dengan malas.
"Aqilla! Jangan berisik!" marahnya. Namun, tidak dipedulikan sama sekali oleh Aqilla.
"Woi! Lo dengarin mami ngomong gak, sih?" bentak Galaksa. Dan hasilnya sama saja seperti Fani. Aqilla tidak peduli sama sekali.
"Benar-benar tu anak," cerca Galaksa, merasa kesal dengan tingkah Aqilla yang akhir-akhir ini seperti kelewatan batas.
"Sudahlah, hal sepele saja kalian ributkan," timpal Reno. Setelah itu, dia berlalu dari sana, meninggalkan Fani dan Galaksa dengan tatapan anehnya terhadap Reno.
Sedangkan, Aqilla yang mencari keberadaan Lainah semenjak tadi, tak kunjung menemukan gadis itu di rumahnya ini. Bahkan, ketika dia memeriksa kamar Lainah saja, dia sama sekali tak menemukan keberadaan gadis itu di sana.
"Bi," panggilnya di saat melihat bi Ningsih yang lewat di depan gudang.
"Iya, Non?" tanya bi Ningsih.
"Kak Angel ke mana ya, Bi?"
Seketika, wajah bi Ningsih berubah menjadi muram. Membuat Aqilla mengernyit heran.
"Loh, Bibi kok kaya sedih gitu? Sebenarnya, ada apa, Bi?"
"Sudah dua minggu non Lainah tidak pulang, Non." Sontak, Aqilla membulatkan matanya terkejut.
"Du-dua minggu, Bi? Memangnya kak Angel tidak mengabari Bibi?"
"Tidak Non. Bibi pun bingung mau cari non Lainah ke mana lagi. Bibi sudah mencoba untuk mencari non Lainah di sekolahnya, tapi tidak ada satupun orang-orang yang tahu akan hal itu. Bibi bingung, Non."
"Ya sudah. Nanti biar Aqilla cari kak Angel lagi ya, Bi. Aqilla coba minta tolong papi."
"Baik Non."
"Ya sudah, Bibi lanjut kerja aja. Aqilla mau istirahat dulu," ucapnya yang langsung diangguki oleh bi Ningsih.
...
"Pi," panggil Aqilla, menghampiri Reno yang sedang sibuk menonton televisi di ruang keluarga.
"Kenapa?" tanya Reno dingin.
"Kita cari kak Angel, yuk! Kata bibi, sudah dua minggu kak Angel tidak pulang, Pi." Mendengar itu, Reno mendengus.
"Udahlah Qila. Dia sudah besar, dia pasti bisa jaga diri sendiri. Lagian, gak mungkin ada yang mau culik dia. Pasti anak itu sedang bersenang-senang diluar sana."
"Papi! Papi kenapa, sih? Kak Angel itu memiliki keterbatasan, Pi! Bagaimana kalau benar dia diculik? Dia itu keponakan Papi! Gak seharusnya Papi malah bersikap seperti ini sama dia. Kak Angel itu orang baik, Pi. Apa sih, yang Papi permasalahan dengan dia lagi? Mengenai matanya? Iya? Kalau memang iya, kenapa tidak suruh aja Kak Angel membuka kain itu?"
"Apa-apaan ini?" potong Fani, tiba-tiba datang.
"Mi, kak Angel hilang. Su-"
"Lalu? Apa itu penting buat Mami? Ya enggaklah. Kalau bisa, biarkan anak itu mati sekalian. Biar gak nyusahin kita lagi."
"Mi!"
"Apa? Kamu gak suka? Yaudah, Mami juga tidak peduli, karena itulah faktanya."
"Akh! Mami sama Papi sama aja! Sama-sama gak punya hati!" Setelah mengatakan itu, Aqilla langsung saja berlari menuju kamarnya dengan air mata yang sudah mulai menitik dari pelupuknya.
"Aqilla!" bentak Reno, namun tidak dipedulikan oleh Aqilla.
Sesampainya di kamar, Aqilla langsung saja mengunci dirinya di dalam sana. Membaringkan tubuhnya begitu saja. Lalu, terisak dengan begitu bebasnya.
"Kak Angel, Kakak di mana? Aqilla kangen, Kak!"
To be continued ...
🔑for you🔑
Terima kasih untuk matahari yang sudah menjadi mentari di pagi hari dan menjadi senja di sore hari. Walaupun itu hanya sesaat, tapi itu jauh lebih indah daripada sosok pelangi yang pergi dan datang tanpa kepastian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Me but Myself (End)
Teen FictionJudul Awal : Temaram Kisah gadis Indigo Prekognision yang mampu menatap kejadian-kejadian yang akan terjadi berikutnya. Namun, kelebihan yang dimiliki dirinya, malah menjadi kekurangan yang harus membuat dia terkucilkan dari semua orang terdekatnya...