16

562 79 7
                                    

"Apa kamu yakin, Aldo?" ujar seorang Dokter yang sedang menatap pemuda yang terduduk dengan kepala tertunduk di depannya itu.

"Aku yakin," jawabnya mantap setelah menghela nafas berat, "Serahkan korneaku untuknya, Dokter. Mungkin cocok."

Dokter Oniel menatap dengan pandangan sendu pada pemuda berusia belia di depannya itu.

Pasti sakit sekali jika berada pada posisi Aldo. Hidupnya masih belia. Umurnya masih sangat muda. Hidup baginya seharusnya penuh dengan pesta dan tertawa. Masa depannya masih menantinya dengan sinar kehidupan yang indah.

Tetapi, Oh Tuhan, mengapa ia harus terdamparkan pada pilihan hidup yang demikian berat untuknya?

Antara cinta dan sahabat.

Ia akan merengkuh keduanya. Ia tak akan melepas keduanya. Cintanya tak akan memutuskan persahabatannya. Jalinan sahabat tak akan pula memudarkan pancaran kasihnya.

"Hubungi nomor ini," Aldo menyodorkan secarik kertas bertuliskan sederet angka, "Minta bicara pada yang bernama Boby dan katakan bahwa kamu adalah rekan setim dari dokter yang merawat Chika. Katakan bahwa sudah tersedia donor untuk matanya."

Oniel hanya terdiam. Melihat paras tampan itu rasanya sudah membungkam mulutnya rapat-rapat. Mendengar kata demi kata yang terlontar dari mulut itu rasanya sudah membuat Oniel kehilangan kalimat yang ingin terucap.

Andai saja Oniel bisa lebih cepat menemukan donor jantung itu... Andai saja Oniel bisa lebih cepat menyembuhkan pemuda bernama Azizi itu...

"Satu lagi, Dokter," ujar Aldo sebelum ia bangkit dan beranjak pergi, "Rahasiakan soal identitas donornya pada semuanya."

Ia telah merengkuh mereka. Dengan jantungnya, ia membuat sahabatnya bisa menggenggam kembali harapan yang selama ini luluh darinya. Dengan matanya, ia bisa membuat pujaan hatinya kembali melihat indahnya dunia.

Cinta dan Sahabatnya.
Tak akan ia biarkan salah satu dari mereka hilang dari genggamannya.

~

Detak jarum jam terus berputar mengiringi larutnya sang malam. Pukul sebelas malam menjadi waktu yang sewajarnya bagi setiap manusia untuk tertidur.

Namun tidak bagi Azizi. Pemuda itu masih terjaga sekalipun hatinya terus meneriakkan dirinya untuk segera terlelap. Keinginannya tak serasi dengan otaknya yang selalu memikirkan sesuatu, yang membuatnya barang tak bisa untuk merasa mengantuk.

Azizi langsung menoleh ke arah pintu kamar saat dilihatnya pintu berwarna coklat tua itu terbuka. Seseorang yang barusan masuk, tengah menutup pintu itu dari dalam, dan kemudian melangkah menuju Azizi. Cahaya lampu kamar yang termatikan membuat sosok orang itu tak tampak jelas hanya dengan sinar bulan yang menerobos jendela kamar Azizi.

Namun tak perlu ada cahaya, Azizi tahu siapa yang kini tengah menuju ke arahnya.

"Ada apa, kak?" ujar Azizi sembari bangkit dari tidurnya dan menyalakan lampu yang berada di meja di sampingnya.

"Kirain kamu udah tidur" ujar Jinan sembari tersenyum lembut, "Aku pengen lakuin apa yang dulu pernah kamu lakuin sama aku deh."

Azizi menaikkan sebelah alisnya, pertanda bahwa dia terheran.

"Ini," ujar Jinan sembari meletakkan telapak tangannya di dahi Azizi dan mengelusnya sejenak, "kamu selalu gini kan tiap ke kamar aku?"

Azizi tersenyum kecil.

Iya. Selalu, dulu Azizi selalu melakukannya. Selalu ia mengelus sejenak dengan lembut dahi kakanya, seolah ia ingin agar Jinan semakin terbuai dan larut dalam alam mimpi. Selalu dan sering Azizi diam-diam mengunjungi Jinan saat larut malam, seolah ingin selalu melihat wajahnya yang damai saat tertidur.

True FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang