Sudah menjadi suatu hal yang biasa bagi Zee menghampiri gadis cantik yang kini tengah terduduk di kursi di bawah pohon di tempat biasa kemaren mereka bercengkrama. Mengajaknya berbincang-bincang sekedar untuk menemani gadis itu menunggu jemputan dari keluarganya.
Meski tak lama, tapi lama kelamaan hal itu sudah menjadi kebiasaan. Meski hanya beberapa menit bersama, namun bisa merubah beberapa aspek dari kehidupan masing-masing.
Nyaris tak ada hari tanpa bertemu satu sama lain. Nyaris tak ada hari tanpa sekedar bersapa. Nyaris tak ada hari tanpa berbicara dan tertawa.
Semua terjadi begitu saja. Dan keduanya sama-sama menikmatinya."Ahahaha," Azizi tertawa lirih saat ia mendengar cerita dari Chika, "Aku malah punya satu cerita yang lebih memalukan dari itu."
Chika mengangkat kedua alisnya, pertanda bahwa ia mulai tertarik akan ucapan Azizi. Dan tentu saja, ekspresi yang ditunjukkan gadis itu membuat Azizi senang.
"Apa?" ujar Chika.Azizi menggeser tubuhnya untuk lebih dekat ke Chika. Perlahan, ia sandarkan kepalanya ke pundak kiri gadis itu.
Meski sedikit kaget, namun lama kelamaan Chika membiarkannya. Perasaan nyaman dan tenang, selalu merasuk ke relung jiwanya tiap kali pemuda di sampingnya ini berada di dekatnya. Hangat. Namun juga menyejukkan. Mirip angin yang berhembus disore hari."Aku gak akan kasih tau," ujar Azizi sembari tersenyum kecil. Membuat Chika mau tak mau sedikit menekuk wajah sebal.
"Kamu curang!"
Azizi tertawa lirih. Tertawa di saat tiba-tiba hatinya merasa sakit. Tertawa di saat pikirannya sontak memikirkan yang lain.
Perlahan muncul keinginan kuat di hati ini. Muncul keinginan yang tanpa ia sadari keberadaannya. Keinginan yang saat itu menyentuh otaknya.
Ya, Keinginan untuk menjaganya. Keinginan untuk mendekapnya. Tak Azizi relakan jika dia pergi. Tak akan ia biarkan melihatnya rapuh. Tak akan didiamkannya bintangnya itu memudar. Akan ia genggam. Akan ia simpan. Hanya miliknya.Dalam hati, Azizi menahan pilu. Di balik tawa lirihnya, dia meredam perih.
Tuhan, adakah waktu baginya? Adakah harapan itu akan terkabul kali ini? Sekali saja!"Sekali saja!" batin Azizi, "Sekali saja, jangan biarkan harapan ini terlepas dari genggamanku. Sekali saja."
~
Chika menatap ke depan dengan pandangan kosong. Ia kini tengah berdiri di teras Bimbel, menunggu jemputan. Ingin sekali dia menunggu jemputan di bawah naungan pohon rindang tempat biasa yang menjadi favoritnya itu, Namun tak ada yang bisa ia mintai tolong.
Lagi lagi ia harus keluar lebih lambat karena beberapa muridnya meminta waktu tambahan padanya untuk menjelaskan pelajaran lebih jauh lagi.
Namun keheningan itu terpecah oleh pekikan kecil Chika saat ia merasakan dua pasang tangan kini tengah melingkari perutnya.
Seulas senyum kecil tersungging di bibir Chika. Tentu saja ia tahu, siapa manusia yang berani memeluknya secara diam-diam begini. Siapa orang di bumi ini yang ia biarkan untuk merengkuhnya, untuk selalu mengagetkannya dengan pelukan curian yang kerap ia lakukan"Azizi?" ujar Chika sembari memegang kedua telapak tangan Azizi yang merengkuhnya dari belakang.
"Kamu kok akhir-akhir ini pulang telat?" ujar Azizi sembari meletakkan dagu di atas pundak gadis itu.
Ketika angin semilir berhembus, Chika merasakan tangan Azizi semakin erat menekan ke perutnya. Semakin hangat mendekapnya. Semakin nyaman pula Chika merasakannya.
Namun bukan angin itu yang menyebabkan Azizi mengeratkan pelukannya. Bukan karena angin itu pula Azizi semakin dalam menyandarkan kepalanya di pundak gadis itu.
Perasaan nyaman. Perasaan tak ingin merubah keadaan. Biar tetap seperti ini. Biar selamanya menjadi begini.Ingin ia pegang tangan dengan jari lentik itu selamanya. Ingin ia rapat-rapat mendekap kepala itu di depan dadanya. Ingin ia mengungkapkan semua. Semua! Betapa ia tengah merasa sebagai orang yang bodoh dan linglung. Betapa Azizi tengah merasa tersiksa tetapi bahagia oleh perasaan asing ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
True Friend
FanfictionSaat makin kuatnya tautan tangan itu, saat makin eratnya Azizi menggenggam jemarinya, Chika menunduk dalam sambil merasakan debaran rasa di dalam dadanya. Akhirnya ia biarkan. Kalah akan dorongan kuat dalam dadanya. Biar saja tetap seperti ini. Chi...