6

646 80 3
                                    

"Jadi benar, ini semua perbuatan bapak lo?" tanya Aldo lirih sembari menatap pemuda yang kini juga tengah melangkah, di sampingnya.

Betapa Aldo merasa iba pada Azizi. Belum cukup sahabatnya itu menanggung duka dan nyaris putus asa terhadap kehidupannya, sakitnya, dan kepergian Ibunya, dan sekarang Aldo harus melihat betapa memprihatikannya keadaan temannya itu.

Tak hanya wajahnya saja yang berhias bercak biru lebam akibat pukulan, namun lengannya juga. Sesekali terlihat olehnya saat Azizi mengeluarkan keluhan sakit lirih. Bahkan dalam satu hari ini, dia sudah mendapati Azizi mimisan dua kali sembari memegang kuat-kuat daerah dada kirinya.
Namun Aldo sama sekali tak berani menampakkan rasa iba, apalagi perhatian secara berlebihan pada Azizi. Bukan karena apa, hanya saja Aldo tahu siapa Azizi. Seberapa kuat keinginannya agar tak ada seorangpun yang memberinya tatapan iba. Seberapa besar kemauannya agar tak ada seorangpun yang memberinya perlakuan berbeda.
Akan ia tanggung sendiri. Akan ia simpan sendiri.

"Tepatnya, monster" ujar Azizi sembari menatap ke depan.

Gedung Gen-Star sudah terlihat beberapa meter lagi di depan sana.
Sesekali Azizi menahan rasa sakit yang menderanya.
Saat rasa sakit itu datang di dalam sini, betapa perihnya rasa itu terasa. Betapa panasnya, seakan dada Azizi terbakar oleh api di dalam sana. Betapa ngilu, seolah beribu belati tengah mencabik-cabiknya.
Meski sudah dua tahun Azizi mengidapnya, namun Azizi tetap saja tak bisa terbiasa dengan rasa sakit ini. Terlalu sakit. Terlalu nyeri. Bahkan rasa nyeri itu semakin parah saat ia menerima pukulan Gracio kemarin. Pukulan yang tepat mengarah ke daerah dadanya.

Sakit! Nyeri! Seakan setiap ia menarik nafas, maka rasa itu akan ikut terasa.

"Aldo, lo dipanggil Pak Hidan," ujar seorang gadis saat Aldo dan Azizi baru memasuki lobi.

"Azizi, gue pergi bentar ya?" ujar Aldo sembari melangkah menuju ke arah gadis yang Azizi baru ingat bernama Ashel itu.
Tak berapa lama, kedua remaja itu langsung beranjak pergi.
Baru juga dua langkah Azizi berjalan, ia refleks menoleh saat mendengar satu teriakan kecil datang dari arah sampingnya.
Saat melihat siapa yang kini tengah berlari lincah menghampirinya, saat melihat siapa yang kini memberikan senyuman lucu padanya, Azizi mau tak mau ikut melengkungkan bibirnya.

Dialah Christy, namun Christy tidak sendiri. Ia tengah berlari ke arah Azizi sembari menyeret tangan dari seorang gadis yang ikut berlari dengan tergesa-gesa di belakangnya. Seorang lelaki berjas rapi mengikuti mereka dari belakang.

"Christy! Tunggu," ujar gadis itu dengan kewalahan dalam mengimbangi tarikan Christy.

"Kak!" ujar Christy yang dengan langsung menempelkan kepalanya pada perut Azizi dan melingkarkan kedua tangan kecilnya ke pinggang Azizi.

"Kamu ada di sini?" ujar Azizi sembari meletakkan telapak tangannya pada kepala Christy.

Entah sejak kapan, Azizi merasa dekat dengan bocah kecil ini. Kelucuannya, kepolosannya, dan kelincahannya mau tak mau membuat hati dingin Azizi luruh juga. Padahal, kapan sih, Azizi bisa menerima keberadaan anak kecil di kehidupannya? Hanya menyusahkan, itulah pendapat Azizi tentang makhluk mungil bernama anak-anak.

Christy menengadahkan kepalanya ke atas. Sejenak, kedua mata lucunya membelalak kaget saat melihat beberapa lebam tertoreh di wajah Azizi.

"Kakak kenapa?" tanya Christy cemas, "Sakit?"

Azizi tersenyum kecil, lalu menggeleng pelan,
"Kalo iya, kamu bisa obatin?" canda Azizi.

"Eh-Christy…," sebuah suara lirih dan lemah menyentakkan Christy dan Azizi.
Dan Azizi baru sadar bahwa ia telah menghiraukan keberadaan dua orang yang sedari tadi berada di dekat mereka. Seorang gadis dan seorang pria berdasi.
Gadis. Gadis yang bahkan sekarang lehernya masih terkalungi oleh kalung itu. Kalung Azizi.

True FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang